Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Move On

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
29/4/2017 05:03
Move On
(Ilustrasi)

SALAH satu ciri kita sebagai bangsa ialah melankolis. Kalau sudah cinta pada sesuatu, ekspresinya begitu berlebihan.

Sebaliknya juga kalau benci, ekspresi kebenciannya juga berlebihan.

Dengan sikap 'baper' atau 'bawa perasaan', tidak usah heran bila kita sulit untuk bisa move on, bergerak maju.

Bangsa yang suka melukai dirinya sendiri adalah bangsa Indonesia.

Kesalahan yang telah terjadi di masa lalu selalu diingat dan diutak-atik.

Begitu sulitnya kita berkompromi dengan masa lalu dan begitu suka untuk berkutat dengan persoalan.

Padahal, apa yang terjadi di masa lalu sudah menjadi sejarah yang tidak bisa lagi diubah.

Bangsa lain lebih suka untuk melihat masa depan dan menjawab tantangan yang harus dihadapi.

Sejarah dipakai sebagai pembelajaran agar tidak terulang lagi di kemudian hari.

Dalam bidang ekonomi, kita pernah mengalami krisis keuangan hebat pada 1997.

Ketidakpercayaan kepada sistem politik diekspresikan dengan menarik uang secara besar-besaran dari bank.

Gerakan untuk menukar rupiah ke dolar AS membuat nilai tukar melemah dari semula Rp2.300 per dolar AS menjadi sempat menyentuh Rp17 ribu.

Likuiditas keuangan yang mengering membuat sistem perbankan dan ekonomi nasional di ambang kehancuran.

Dalam situasi yang pelik seperti itu, pemerintah harus mengambil langkah penyelamatan.

Maka diambillah langkah pengambilalihan semua bank oleh Bank Indonesia dan kemudian dikucurkanlah bantuan likuiditas Bank Indonesia kepada semua bank baik milik BUMN maupun swasta.

Ketika pemerintahan berganti dari Presiden Soeharto ke Presiden BJ Habibie, BLBI yang sudah telanjur dikeluarkan harus dikembalikan.

Para pemilik bank diminta menyerahkan harta mereka guna membayar BLBI yang sudah dikucurkan ke bank-bank mereka.

Hanya bank BUMN yang tidak perlu menyerahkan aset karena ketika itu 100% sahamnya masih dimiliki negara.

Para pemilik bank pada awalnya keberatan untuk membayar karena mereka tidak pernah tahu berapa dana yang dikucurkan BI dan ke mana pembayaran dilakukan.

Di tengah kebuntuan yang bisa membawa Indonesia ke jurang keambrukan, pemerintahan Habibie menawarkan penyelesaian di luar pengadilan.

Pemerintah menawarkan master settlement and acquisition agreement (MSAA) dengan meminta kerelaan pemilik bank menyerahkan harta mereka dan sebagai imbalan pemerintah memberikan release and discharge dari tuntutan pidana.

Untuk membuat pelaksanaan berjalan baik dan pemerintah tidak direpotkan dengan urusan teknis, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

BPPN kemudian menggunakan perusahaan internasional seperti JP Morgan dan Goldman Sachs untuk menilai harga aset yang diserahkan para pemilik bank agar sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi.

Dalam situasi serbakrisis, aset-aset yang diberikan dievaluasi dengan harga yang rendah.

Grup Salim, misalnya, harus menyerahkan 102 perusahaan untuk membayar kewajiban mereka.

Ketika dijual lagi di pasar karena kondisinya yang tidak kondusif, aset-aset tersebut terpaksa dijual di bawah harga penilaian perusahaan appraisal internasional.

Sampai akhir dibubarkannya BPPN, assets recovery yang didapat hanya sekitar 23%.

Namun, itu sudah jauh di atas assets recovery yang diperoleh Thailand dan Korea Selatan.

Kedua negara itu menganggap semua itu sebagai 'biaya krisis' yang tidak harus ditangisi lagi.

Ketika terjadi krisis keuangan di Asia Timur, AS dengan sombong mengatakan krisis itu merupakan akibat dari tidak diperhatikannya asas kehati-hatian dan buruknya tata kelola perusahaan.

Namun, 10 tahun setelah itu, akibat sikap rakus eksekutif perusahaan keuangan AS, krisis keuangan yang lebih besar menimpa negeri itu.

Bahkan krisis keuangan AS jauh lebih dahsyat daripada krisis 1997.

Dampaknya mengimbas ke seluruh dunia dan terutama Eropa yang banyak memegang surat berharga negara itu.

Setelah hampir 10 tahun berlalu, krisis 2008 masih kita rasakan akibatnya. Kelesuan ekonomi global terus berlangsung sehingga memunculkan sikap proteksionistis terutama di AS.

Sama seperti kita pada masa itu, AS dihadapkan pada situasi 'too big to fail'.

Demi mencegah keambrukan ekonomi 'Negeri Paman Sam', Presiden George W Bush terpaksa mengambil alih aset-aset perusahaan yang mengalami masalah.

Tidak tanggung-tanggung, pemerintah harus mengeluarkan dana talangan sampai US$700 miliar atau hampir 25 kali lipat dana BLBI.

Sama dengan BLBI, dana talangan yang dikeluarkan di AS harus ditanggung seluruh rakyat AS.

Namun, kita tidak melihat bangsa AS terjebak dalam situasi baper.

Semua kembali bekerja untuk mengembalikan kebesaran ekonomi AS.

Sampai sekarang tidak pernah kita mendengar ada pejabat atau pengusaha AS yang dimintai pertanggungjawaban hukum.

Mereka mencoba move on karena tidak ada manfaat melihat ke belakang dan mencari kambing.



Berita Lainnya
  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.

  • Rojali-Rohana

    26/7/2025 05:00

    SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.

  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?