Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Mahkamah Kalkulator

Saur Hutabarat Dewan Redaksi Media Group
20/3/2017 05:02
Mahkamah Kalkulator
(ANTARA)

SEJUMLAH pakar hukum tata negara menilai MK, Mahkamah Konstitusi, telah berubah menjadi Mahkamah Kalkulator, dengan 'm' besar dan 'k' besar.

Bahkan, 'Kalkulator' lebih hebat daripada 'Mahkamah" yang disandang MK.

Penilaian itu disebabkan MK sebagai pengawal konstitusi telah menurunkan pangkat dan martabat mereka semata sebagai pelaksana undang-undang, bukan sebagai penjaga garda terdepan konstitusi.

Padahal, MK berwenang menguji undang-undang yang dipandang bertentangan dengan konstitusi.

Penurunan martabat MK itu gara-gara Pasal 158 UU Pilkada, yang menetapkan peserta pilkada tidak dapat mengajukan gugatan selisih hasil suara bila tidak memenuhi ambang batas selisih suara 0,5-2% dari perolehan suara yang ditetapkan KPUD.

Prinsipnya ialah dalam rentang persentase itu, semakin banyak penduduk, semakin kecil ambang batas selisih suara yang dapat disengketakan di MK.

Bagi provinsi berpenduduk sampai 2 juta, selisih suara pilgub paling banyak 2%.

Untuk provinsi berpenduduk lebih dari 12 juta, berlaku ambang batas paling banyak 0,5%.

Dengan logika 'kalkulator' yang sama, bagi kabupaten/kota berpenduduk sampai 250 ribu atau 0,25 juta, berlaku ambang batas paling banyak 2%.

Untuk kabupaten/kota berpenduduk lebih dari 1 juta, berlaku ambang batas maksimal 0,5%.

Apa alasan semua ambang batas 'kalkulator' itu?

Kenapa untuk provinsi batas jumlah penduduk 2-12 juta, untuk kabupaten/kota 0,25-1 juta?

Kenapa selisih suara paling banyak 2%, bukan 3%, 4%, atau 5%?

Jawabnya hanya pembuat undang-undang yang tahu, dan tentu yang menyetujuinya di DPR.

Akal sehat rakyat, yang punya hak suara, tidak perlu diindahkan.

Pasal kalkulator itu pertama kali muncul dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 Tahun 2014 yang diterbitkan 2 Oktober 2014.

Perppu itu lahir di masa Presiden SBY, menjawab protes warga, terutama melalui media sosial.

Mereka menolak keras perubahan pilkada dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung oleh DPRD.

Di masa Presiden Jokowi, perppu itu kemudian disahkan menjadi UU No 1 Tahun 2015 tanpa perubahan pasal kalkulator.

Dalam UU Pilkada yang terbaru, UU No 10 Tahun 2016, terjadi perubahan bunyi Pasal 158, tetapi tanpa perubahan isi ihwal ambang batas.

Yang berubah ialah semula hanya disebut gubernur, bupati, dan wali kota, tanpa wakil, kemudian ditambahkan sang wakil.

MK begitu patuh kepada pasal kalkulator yang mengatur ambang batas sengketa selisih suara itu, sampai-sampai mahkamah yang mulia itu melupakan alasan substansial kelahiran MK, antara lain agar hak konstitusional warga terjaga dari undang-undang yang 'serong'.

Bukankah hak suara ialah hak konstitusional warga? Ambang batas selisih suara mendewakan hasil, mengabaikan proses penyelenggaraan pilkada yang 'mencong' sehingga hak konstitusional warga terciderai.

Salah satu modus yang mencong itu, KPUD bersengaja tidak menyampaikan ribuan formulir C6 kepada pemilih.

Di Jepara, misalnya, lebih 53 ribu formulir C6 tak sampai ke warga dengan alasan ribuan warga meninggal, ribuan pindah alamat, ribuan tidak dapat ditemui petugas, ribuan tidak dikenal, ribuan pula dengan alasan 'dan lain-lain'.

'Ketidakberesan' proses penyelenggaraan pilkada itu terlindungi karena hasil perolehan suara yang ditetapkan KPUD tidak mencapai ambang batas 0,5-2%, sehingga yang dicurangi dalam proses itu tidak dapat menggugat ke MK.

KPUD-nya aman-aman saja berkat pasal kalkulator.

Berdalih formulir C6 bukan syarat memilih, bukan pula undangan untuk memilih, bukan alasan untuk siapa pun tutup mata, bahwa ada KPUD yang bersengaja dengan sistematis dan masif tidak memberikan formulir C6 agar ribuan warga 'tertentu' tidak tahu bakal ada pilkada sehingga terjadilah apa yang diinginkan, yaitu kemenangan salah satu pasangan calon kepala daerah dengan selisih perolehan suara tidak memenuhi ambang batas.

Bahwa pemberian formulir C6 merupakan momen sosialisasi yang efektif, karena adanya interaksi dan dialog langsung petugas dengan pemilih, cuma omong besar KPU.

Kecurigaan itu, yang tentunya disertai dengan bukti-bukti, mestinya dapat disengketakan di MK.

Hakim Mahkamah Konstitusi yang diklasifikasikan sebagai negarawan itu berani 'mengesampingkan' pasal kalkulator demi hak konstitusional warga yang ditengarai dimencongi.

Kiranya juga harus ada yang punya legal standing untuk mengeliminasikan pasal kalkulator itu sehingga MK dipulihkan sepenuhnya menjadi Mahkamah Konstitusi, bukan Mahkamah Kalkulator.



Berita Lainnya
  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.

  • Lebih Enak Jadi Wamen

    13/6/2025 05:00

    LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.

  • Enaknya Pejabat Kita

    12/6/2025 05:00

    "TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''

  • Ukuran Kemiskinan\

    11/6/2025 05:00

    BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan

  • Bahlul di Raja Ampat

    10/6/2025 05:00

    PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

  • Maling Uang Rakyat masih Berkeliaran

    09/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.

  • Menyembelih Ketamakan

    07/6/2025 05:00

    ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.

  • Uji Ketegasan Prabowo

    05/6/2025 05:00

    PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam

  • APBN Surplus?

    04/6/2025 05:00

    SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.

  • Pancasila, sudah tapi Belum

    03/6/2025 05:00

    NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.

  • Arti Sebuah Nama dari Putusan MK

    02/6/2025 05:00

    APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.