Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
KETIKA pertama kali datang ke bumi Nusantara pada 1602, VOC bermaksud untuk berdagang. Rempahrempah yang melimpah di negeri ini merupakan bisnis yang menggiurkan. Ketamakan membuat mereka ingin menguasai Nusantara, apalagi ketika VOC kemudian bangkrut dan pengelolaan negeri ini diambil alih pemerintah Belanda. Belanda menjadikan negeri ini sebagai wilayah jajahan mereka.
Rakyat dijadikan sapi perahan. Seluruh tanah di negeri ini dianggap milik mereka dan rakyat diwajibkan untuk membayar upeti. Raja-raja di seluruh wilayah Nusantara dijadikan kepanjangan tangan untuk menarik upeti dari rakyat. Ketidakadilan itulah yang menggugah para pemimpin bangsa ini untuk bangkit melawan. Perjuangan sejak 1908 mencapai puncaknya 37 tahun kemudian ketika Bung Karno dan Bung Hatta atas nama rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaan.
Belanda tidak begitu saja mau mengakui kemerdekaan kita. Melalui dua kali agresi, mereka mencoba kembali berkuasa di negeri ini. Namun, para pejuang bangsa tidak lagi takut terhadap intimidasi Belanda. Dengan gagah berani mereka melakukan perlawanan. Akhirnya, Belanda menyerah dan melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, 1949, mereka menyerahkan kedaulatan kepada bangsa Indonesia.
Setelah 71 tahun merdeka, kita harus sadar, tujuan kemerdekaan ialah untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara harus hadir untuk melindungi kehidupan segenap warga dan tidak boleh menebarkan rasa takut seperti VOC dulu. Tepatlah kalau Presiden Joko Widodo memerintahkan jajaran Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak memberikan penjelasan soal amnesti pajak yang sedang digalakkan pemerintah.
Amnesti pajak bukanlah langkah negara untuk membuat rakyat takut dan khawatir. Pada awalnya amnesti pajak digulirkan untuk menarik uang-uang milik rakyat Indonesia yang disimpan di luar negeri. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ketika itu menyebutkan, ada sekitar US$1 triliun uang yang disimpan di luar negeri. Uang itu dimanfaatkan negara lain untuk membangun negeri mereka. Kalau disimpan di Indonesia, uang-uang itu pasti akan bisa mempercepat pembangunan negeri ini.
Bersama DPR kemudian dibuatlah Undang-Undang Pengampunan Pajak. Begitu percaya dirinya dikatakan, akan ada uang segar yang kembali ke Indonesia sebesar Rp1.000 triliun dan pernyataan aset sebesar Rp4.000 triliun. Dengan perhitungan
tebusan 2% untuk dana segar dan 4% untuk pernyataan aset, negara akan mendapatkan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp165 triliun. Jumlah itu bahkan ditetapkan sebagai penerimaan pada APBN Perubahan 2016.
Ternyata, kenyataan tak semanis janjinya. Uang simpanan di luar negeri itu tidak sebesar yang diperkirakan. Seretnya aliran dana amnesti pajak dari luar negeri membuat sasaran bergeser dari pemilik simpanan di luar negeri menjadi semua warga negara yang belum membayar pajak dan mendeklarasikan aset. Keruan saja muncul kehebohan baru. Semua orang merasa terteror oleh niatan pemerintah mengejar target penerimaan uang tebus amnesti pajak. Para pensiunan, petani, serta pengusaha mikro dan kecil ketakutan aset mereka disita karena tidak punya dana untuk menebus harta
tersebut.
Presiden Jokowi menangkap kegundahan masyarakat. Pemerintah tentu tidak mau disamakan dengan VOC yang memeras rakyat. Setelah kemerdekaan, kita semua memiliki hak dan kewajiban. Kita berhak untuk mendapatkan pelayanan dari negara, tetapi secara bersamaan memiliki kewajiban untuk membiayai pembangunan negeri ini.
Agar tidak menjadi kontraproduktif, kita harus kembali ke tujuan awal amnesti pajak. Ini bukan dimaksudkan bagi kebanyakan orang yang sudah membayar pajak, melainkan kepada mereka yang belum membayar dan terutama lagi kepada mereka yang memiliki simpanan harta di luar negeri untuk membantu pembangunan negeri ini.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya cuma ingin bersikap realistis.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved