Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
ADA dua jenderal yang membetot perhatian saya karena keteguhan hati dan ketegasan aksi. Yang pertama, Irjen Mohamad Fadil Imran, perwira tinggi polisi bintang dua, kini Kapolda Metro Jaya. Yang kedua, Jenderal Dudung Abdurrahman, mantan Pangdam Jaya, kini Kepala Staf Angkatan Darat.
Dua-duanya menghasilkan efek ketenteraman dan menghidupkan toleransi antarwarga yang majemuk. Saat kedua jenderal itu berkolaborasi di Jakarta, efeknya bahkan terasa secara luas hingga kini. Banyak yang berharap, efek tenteram penuh toleransi itu bersifat permanen dan terus-menerus hadir.
Kalau saya menyebut Fadil effect dan Dudung effect, bukan berarti para elite yang lain tidak melakukan ikhtiar yang sama untuk tantangan serupa. Mereka barangkali sudah melakukannya berkali-kali, tapi sepertinya belum ngefek. Atau, efeknya belum seterasa sekarang.
Titik mulanya ialah saat keduanya memimpin teritori Jakarta setahun lalu. Ketika itu, sebagai kapolda baru, Fadil Imran tancap gas tanpa ragu meringkus siapa pun yang bertindak intoleran. Pangdam Jaya, saat itu Dudung Abdurrahman, mendukung langkah serupa.
Dudung memerintahkan pasukannya menurunkan baliho-baliho raksasa simbol tantangan terhadap pemerintahan yang konstitusional. Dalam baliho itu juga tertera teks-teks bernuansa provokasi dan sikap intoleran.
Kelompok yang selama ini dirasakan oleh sebagian besar warga kerap membuat resah dan intoleran, tapi nyaris tidak tersentuh, dibawa ke ranah hukum oleh keduanya. Alhasil, kelompok itu dibubarkan. Pascatindakan tersebut, aksi-aksi polisional dan intoleran di Ibu Kota mulai turun. Ada efek psikologis berupa keberanian menyuarakan antikekerasan serta menolak tindakan dan sikap intoleran.
Fadil dan Dudung punya spirit yang sama; tidak ragu-ragu menegakkan prinsip-prinsip mendasar di Republik ini. Toleransi, antikekerasan, tidak main hakim sendiri, itu prinsip dasar yang mesti dilindungi. Bagi keduanya, tidak boleh ada toleransi untuk tindakan intoleran.
Sikap dan tindakan kekerasan serta intoleran tidak ada ruang dalam negara Pancasila. Padahal, Pancasila itu konsensus bersama. Meminjam bahasa almarhum Noercholish Madjid, Pancasila itu kalimatun sawa', titik temu berbagai identitas. Sebagai titik temu, ia mesti didudukkan dalam posisi titik temu. Fadil dan Dudung mendudukkan posisi itu.
Risikonya, dua-duanya dicap 'memusuhi umat Islam'. Kalimat sensitif itu kiranya sengaja ditabalkan agar Fadil dan Dudung ciut nyali. Akan tetapi, sasaran itu meleset. Keduanya punya nyali berlimpah untuk menaklukkan cap-cap itu. Kebetulan, keduanya muslim. Santri pula.
Baik Fadil maupun Dudung amat peduli pada pengembangan masjid yang menyokong moderasi beragama. Penganut moderasi ini mayoritas, tapi kurang bersuara. Sebaliknya, pihak-pihak penganut 'garis keras dan ekstrem' merupakan minoritas, tapi 'berisik'. Sudah berisik, kerap diberi panggung pula.
Maka, tidak mengherankan bila apresiasi diberikan kepada dua perwira tinggi ini. Awal pekan ini, Rabithah Ma`ahid Islamiyah/Asosiasi Pesantren NU (RMI-NU) DKI Jakarta menobatkan Fadil Imran sebagai tokoh moderasi beragama dan kebangsaan. Menurut RMI NU Jakarta, Fadil layak mendapatkan apresiasi itu karena mampu menciptakan kehidupan yang harmonis di DKI Jakarta. Fadil mampu meredam tensi antarkelompok yang sempat memanas karena adanya paksaan kepentingan atas nama ideologi dan agama tertentu.
Pekan lalu, saat dilantik menjadi KSAD, Dudung Abdurrahman kembali menegaskan komitmennya untuk menjadikan TNI Angkatan Darat institusi profesional dan garda terdepan membersihkan sikap-sikap ekstrem di tubuhnya. Sebab, mulai bermunculan prajurit yang tergoda mengikuti kelompok ekstrem, bahkan penebar teror.
Baguslah jika keduanya konsisten memperkuat prinsip-prinsip penting kebangsaan. Sebab, ancaman perusak kerukunan akibat sikap intoleran masih mengintai. Hasil survei terbaru dari INFID bersama jaringan Gusdurian mengonfirmasi itu. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa anak-anak muda memiliki penolakan yang tegas terhadap aksi kekerasan bermotif agama, tapi mereka sangat rentan untuk menjadi intoleran. Butuh efek Fadil dan Dudung selanjutnya.
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved