Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
ADA dua hal kontras yang saya terima di grup pertukaran pesan, pekan ini. Yang pertama, cuplikan video berisi argumen seorang yang dijuluki ekonom, Ichsanuddin Noorsy, tentang bahaya covid-19 yang menurutnya 'dilebih-lebihkan'. Singkat kata, ia meragukan validitas bahaya korona.
Infomasi kedua, saya mendapat berita duka gugurnya seorang tenaga kesehatan di Wisma Atlet, Liza Putri Noviana, karena tertular oleh covid-19. Liza Putri Noviana tak pernah beringsut sedikit pun menantang bahaya dengan merawat para penderita korona. Semua ia kerjakan dalam senyap, sejak Maret 2020, saat pertama kalinya Wisma Atlet Jakarta beralih fungsi menjadi tempat perawatan darurat covid-19.
Menurut saya, Liza gugur secara syahid. Meski sedih membaca berita tersebut, saya percaya orang yang wafat secara syahid berada di tempat sangat mulia di sisi Tuhan. Ganjarannya surga dengan level tertinggi. Jiwanya tenang. Ia menghampiri Tuhan dengan rela dan direlakan. Tak secuil pun pengorbanan Liza sia-sia.
Adapun Ichsanuddin Noorsy, ia mempertanyakan mengapa masyarakat ditakut-takuti dengan korona, dianjurkan untuk menerima vaksin (yang menurut analisis yang dibaca Noorsy bisa merusak otak), diminta beribadah di rumah. Padahal itu semua, kata dia, berlebihan. "Lihat di Amerika, di Eropa. Liga Inggris sudah ramai," kata dia.
Ia, yang selama ini menekuni bidang ekonomi, tiba-tiba merasa perlu bicara kesehatan dan risiko vaksin. Bahkan, ini yang membuat saya agak terkejut, ia memasuki ranah ilmu agama dengan mempertentangkan dua ajaran dalam Islam. Ia mempertanyakan penggunaan maqashid syariah (tujuan dikeluarkannya aturan aturan atau fatwa agama) dalam sejumlah larangan beribadah selama pandemi.
Dalam maqashid syariah, misalnya, dinyatakan bahwa bahaya harus dihindari dan ditiadakan. Adh-dhararu yuzalu, bahaya harus dihilangkan. Karena itu, demi menghindari bahaya virus covid-19 yang mematikan, para ulama menganjurkan salat Jumat di rumah meski dalam keadaan normal wajib di masjid. Saf-saf dalam salat harus direnggangkan demi menjaga jarak meski dalam aturan normal mesti rapat.
Itu semua dipertanyakan sang ekonom. Bukan hanya itu, malah dipertentangkan dengan ajaran lainnya dalam Islam soal kepasrahan kepada Tuhan. Komponen maqashid syariah, yakni hifdzun nafs (menjaga nyawa), ia pertentangkan dengan Quran surah Al-An’am ayat 162. Penggalan ayat itu bunyinya 'Innashalati wanusuki wamahyaya wa mamati lillahirabbil 'aalamiin' (sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam).
Saat mempertentangkan dua ayat itu, Noorsy mendapat tepukan riuh dari yang hadir. Dalam dugaan saya, ia sedang menuding bahwa mereka yang takut akan bahaya korona dan memilih beribadah di rumah belum masuk golongan orang-orang yang pasrah total kepada Tuhan. Apa yang ia tafsirkan atas ayat terakhir seolah-olah sudah merupakan tafsir yang solid, tidak goyah, apalagi salah.
Namun, ada baiknya kita membaca sejumlah tafsir dari ulama, yang memang menggeluti ilmu tafsir. Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al Misbah, misalnya, menyatakan ayat 162 itu merupakan anjuran agar kita ikhlas dalam beragama. Selain itu, ayat tersebut, menurut Quraish Shihab, bermakna ajakan Nabi kepada umatnya agar meninggalkan kesesatan.
Fakhruddin Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al Ghaib mengatakan ayat tersebut menjelaskan sikap ikhlas pada Allah dalam beribadah. Pasalnya, ibadah yang dilakukan tanpa ikhlas tak akan diterima Allah. Jadi, bukan berhubungan dengan kepasrahan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip utama maqashid syariah sebagaimana dinyatakan tokoh yang dijuluki ekonom tersebut.
Segala bentuk penyangkalan terhadap bahaya virus korona, apalagi yang diembel-embeli atau dijustifikasi dengan ayat-ayat dengan tafsir sembrono, kerap diikuti sebagian masyarakat. Bahkan, tak jarang mendapat tepukan riuh, emoticon jempol di media sosial, atau setidaknya anggukan kepala. Padahal nyata bahwa yang disampaikan itu dipenuhi argumen yang sesat dan menyesatkan.
Sebaliknya, perjuangan tak kenal lelah dalam senyap hingga nyawa jadi taruhannya justru kerap dicibir sebagian orang. Apakah kita memang ada di zaman edan? Sebuah era ketika akal sehat dikeluhkan, sebaliknya kegilaan disambut tepuk tangan. Saya memilih akal sehat. Bagaimana Anda? Semoga tidak ikut-ikutan melawan kewarasan.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved