Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
DI surat kabar tempat saya bekerja pertama kali sebagai wartawan di Jakarta, beredar satu versi cerita tentang satu teman wartawan yang menjadi pengikut Lia Aminuddin. Lia Aminuddin atau Lia Eden ialah perangkai bunga kering yang kelak mengklaim dirinya sebagai nabi dan titisan Bunda Maria penerima wahyu dari Jibril. Lia Eden meninggal dunia pada 9 April 2021.
Ceritanya, suatu hari sang teman memindahkan buku-bukunya dari mejanya di lantai bawah ke lantai paling atas. Kawan-kawan lain bertanya mengapa dia melakukan itu. Dia menjawab Lia Aminuddin mengabarkan Jakarta bakal dilanda banjir besar. Ketika harinya tiba, banjir tidak terjadi, hujan pun tidak. Ketika kawan-kawan mempertanyakannya, dia menjawab enteng itu karena Lia Eden dan para pengikutnya termasuk dirinya berdoa supaya banjir tidak terjadi.
Jika itu benar, Lia Aminuddin telah menyelamatkan manusia dari bencana banjir. Sekurang-kurangnya menurut para pengikutnya, pantaslah Lia Eden menyebut dirinya nabi, penerima wahyu dari Jibril. Bukankah para nabi ialah penyelamat? Musa menyelamatkan umatnya dari terjangan Laut Merah. Yesus juru selamat. Muhammad pembawa syafaat.
Akan tetapi, umat para nabi agama-agama arus utama tak sudi nabi mereka disamakan, disaingi, oleh manusia biasa seperti Lia Aminuddin. Karena itu, Lia Eden pun dua kali dihukum penjara atas tuduhan penistaan agama.
Padahal, belum tentu para nabi merasa disaingi nabi lainnya. Para nabi memang tidak bersaing. Muhammad mengatakan dia tidak membawa ajaran baru, tetapi meneruskan ajaran nabi-nabi sebelumnya. Dalam kisah Isra Mikraj, Musa menyuruh Muhammad kembali kepada Tuhan untuk meminta keringanan ibadah salat dari 50 waktu menjadi 5 waktu per hari. Kiranya ada etika kenabian bahwa sesama nabi dilarang saling menyaingi.
Bukan para nabi yang saling bersaing, melainkan pengikut mereka. Persaingan antarumat beragama sering kali memicu konflik. Perang Salib merupakan puncak kompetisi antara muslim pengikut Muhammad dan kristiani pengikut Yesus. Begitu pun konflik Islam-Kristen di Maluku.
Lia Eden tidak berniat menyaingi agama-agama arus utama. Dia ingin melanjutkan ajaran Yudaisme, Kristianitas, dan Islam serta menyatukan agama-agama besar lain seperti Buddhisme, Hindu, dan Jainisme. Bahasa kerennya, Lia membawa ajaran sinkretisme.
Terlahir sebagai muslim, Lia Eden meninggal dunia dan jenazahnya dikremasi serupa penganut Hindu. Mungkin dia berempati betul betapa sulit saat ini mencari lahan permakaman di Jakarta menyusul banyaknya orang meninggal dunia karena covid-19. Abu jenazahnya tidak memerlukan tempat luas untuk menyimpannya.
Di Indonesia bukan cuma Lia Eden dengan komunitas Salamullah-nya yang mengaku sebagai nabi. Ada Ahmad Musadeq dengan Gerakan Fajar Nusantara-nya. Ada pula Sensen Komara yang mengaku mendapat wahyu dalam mimpinya. Beberapa sosok lain juga mengaku sebagai nabi. Mereka biasanya, selain divonis menista agama, dianggap gila. Musadeq bahkan dituduh makar.
Mereka dituduh menista agama karena ajaran mereka sesat, berbeda dengan ajaran agama arus utama. Kalau ajaran mereka sesat, semestinya biarkan saja, toh ia tidak bakal laku di pasar agama-agama.
Oleh karena itu, janganlah merasa terancam kalau ada yang mengaku nabi. Terancamlah kalau ada yang tiba-tiba mengaku anak kandung atau istri Anda. Seorang motivator habis kariernya setelah ada yang mengaku anak kandungnya. Seorang guru besar terancam kariernya gara-gara seseorang mengaku sebagai istrinya.
Lia Eden tidak mengancam siapa-siapa. Akan tetapi, kadang pengikut mereka banyak dan bukan orang sembarangan. Pengikut Lia Eden ada penyair hebat, aktivis, wartawan, intelektual. Jangan-jangan agama-agama besar khawatir pasar mereka direbut agama-agama baru itu?
Mirza Gulam Ahmad bisa disebut nabi pembawa ajaran Ahmadiyah. Atas nama kebebasan beragama, kita di Indonesia membela pengikut Ahmadiyah, juga Syiah, yang sering kali mendapat perlakuan diskriminatif dari Islam arus utama dan pemerintah. Pun atas nama kebebasan beragama kita membela agama-agama asli Nusantara.
Kita semestinya memperlakukan Lia Aminuddin sebagai sosok yang teguh memperjuangkan keyakinan mereka. Oleh karena itu, kita semestinya membelanya atas nama kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara menjamin kebebasan warga negara beragama dan berkeyakinan. Negara juga menjamin kebebasan warga negara menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan keyakinan mereka.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved