Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Populisme Trump Membakar Demokrasi

Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group
08/1/2021 05:00
Populisme Trump Membakar Demokrasi
Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

SEJUMLAH pemimpin dunia diidentifikasi sebagai populis. Mereka, antara lain Presiden AS Donald Trump, Kanselir Austria Sebastian Kurz, Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Perdana Menteri India Narendra Modi.

Para pemimpin populis itu terpilih dalam pemilu demokratis, tetapi karena menerapkan populisme, mereka membawa demokrasi pada resesi dan kemunduran. Orban, misalnya, membawa demokrasi liberal ke demokrasi iliberal. Modi dengan populisme Hindu-nya membatasi hak-hak kaum muslim di India. Erdogan dengan populisme Islam-nya menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara brutal. Ini menjadi bukti betapa populisme bertentangan dengan demokrasi.

Para pemimpin populis biasanya menolak hasil pemilu demokratis ketika mereka kalah. Itulah yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Trump kalah dari Joe Biden dalam Pilpres AS 2020. Namun, Trump menolak kemenangan Biden. Trump menolak hasil pemilu demokratis.

Penolakan Trump atas kemenangan Biden memicu pendukungnya menduduki United States Capitol. Trump memobilisasi pendukungnya untuk menolak hasil pemilu demokratis. Mereka menggunakan kekerasan untuk menerobos Gedung Kongres AS itu. Sejumlah orang tewas dan belasan ditangkap dalam huruhara yang berlangsung 6 Januari 2020 itu. Trump menempatkan ‘rakyat’ pendukungnya berhadap-hadapan dengan Biden sebagai elite. Populisme ialah politik yang menempatkan rakyat berhadap-hadapan dengan elite.

Dunia menyindir Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi. Media-media internasional menurunkan judul, antara lain Demokrasi di Bawah Kepungan, Pendukung Trump Menghantam Jantung Demokrasi Amerika Serikat, Trump Membakar Washington, dan Kudeta Gila. Surat kabar Die Welt dalam tajuknya menyebut pendudukan US Capitol memalukan demokrasi Amerika Serikat. The Guardian menyebut peristiwa itu tantangan paling dramatis bagi demokrasi Amerika Serikat sejak perang saudara.

Pemberitaan berbagai media itu mengisyaratkan perilaku populis Trump dan pendukungnya menolak hasil pemilu demokratis telah mencederai demokrasi. Itu semua menunjukkan populisme bertentangan dengan demokrasi.

Di Indonesia, Prabowo Subianto menolak hasil Pemilu Presiden 2014 dan 2019. Selain memperkarakan hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi, Prabowo memobilisasi pendukungnya berunjuk rasa ke MK, Komisi Pemilihan Umum, serta Badan Pengawas Pemilu. Untungnya mereka tidak punya cukup nyali menduduki Gedung Parlemen. Mobilisasi massa itu memantik kerusuhan. Serupa Trump, Prabowo memosisikan ‘rakyat’ pendukungnya berhadapan dengan Jokowi sebagai elite.

Para pakar mengategorikan Prabowo sebagai tokoh populis. Indikatornya, antara lain Prabowo menggunakan populisme agama, idiom-idiom agama, untuk menyerang rivalnya, Jokowi. Prabowo memosisikan Jokowi sebagai elite berhadap-hadapan dengan umat. Menolak hasil pilpres menambah kental karakteristik populis Prabowo.

Pemimpin demokratis, meski kalah, segera mengucapkan selamat kepada pemenang, bahkan hanya berdasarkan hasil hitung cepat. Hillary Clinton mengucapkan selamat kepada Trump pada Pilpres 2016 di Amerika Serikat. Jusuf Kalla mengucapkan selamat kepada Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009 di Indonesia.

Para pemimpin populis menolak hasil pemilu demokratis biasanya dengan alasan rival mereka berlaku curang. Trump menuduh Biden curang. Prabowo menuding Jokowi curang. Itu artinya pemimpin populis menggambarkan rival mereka melanggar aturan atau tatanan yang ada. Ini sesungguhnya ajakan atau mobilisasi para pendukung mereka untuk menolak dipimpin rival mereka.

Perilaku menolak hasil pemilu demokratis dan menggambarkan rival mereka melanggar tatanan, menurut Levitsky dan Ziblatt, ialah perbuatan otoriter. Levitsky dan Ziblatt mengatakan itu dalam buku How Democracies Die. Memakai jalan pikiran kedua penulis, kita bisa katakan populisme dan otoritarianisme sebelas-dua belas, setali tiga uang, serupa.

Bahkan, banyak yang menyetarakan populisme dengan fasisme. Madeleine Albright dan Jason Stanley, misalnya, menyebut populisme tak ubahnya fasisme. Harian Italia La Repubblica menganalogikan pendudukan US Capitol di Amerika Serikat dengan naiknya Benito Mussolini ke tampuk kekuasaan Italia. Mussolini seorang fasis.

Karena populisme antidemokrasi, otoriter, dan fasis, kita selayaknya menolaknya. Mike Pence, calon wakil presiden pendamping Trump, sekalipun menolak perintah Trump menghalangi pengesahan kemenangan Joe Biden.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Berita Lainnya
  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.

  • Zohran Mamdani

    28/6/2025 05:00

    SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.

  • Memuliakan yang (tidak) Mulia

    26/6/2025 05:00

    ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.

  • Daya Tahan Iran

    25/6/2025 05:00

    HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.

  • Dunia kian Lara

    24/6/2025 05:00

    PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.

  • Presiden bukan Jabatan Ilmiah

    22/6/2025 05:00

    PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.

  • Bersaing Minus Daya Saing

    21/6/2025 05:00

    Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.

  • Sedikit-Sedikit Presiden

    20/6/2025 05:00

    SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.

  • Jokowi bukan Nabi

    19/6/2025 05:00

    DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.

  • Wahabi Lingkungan

    18/6/2025 05:00

    SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.

  • Sejarah Zonk

    17/6/2025 05:00

    ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.  

  • Tanah Airku Tambang Nikel

    16/6/2025 05:00

    IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.

  • Keyakinan yang Merapuh

    14/6/2025 05:00

    PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.