Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SAYA protes. Orangtua saya lebih memanjakan abang saya ketimbang saya. Nyaris segala keinginannya dipenuhi. Padahal, abang saya itu rasanya lebih bandel daripada saya.
Saya protes kepada orangtua saya, tapi cuma di dalam hati. Mengapa anak yang lebih nakal justru lebih dimanjakan daripada 'anak manis'? Bukankah mestinya 'anak penurut' yang dimanjakan dan anak nakal dihukum? Tidak adil!
Begitu menjadi orangtua, saya berbuat serupa yang orangtua saya lakukan. Saya lebih memanjakan satu anak saya yang lebih bandel jika dibanding dengan anak saya lainnya yang lebih penurut. Saya memanjakan anak yang lebih bandel untuk menarik hatinya supaya, syukur-syukur, berubah menjadi anak baik. Saya memperlakukan anak manis saya secara biasa-biasa saja karena saya berpikiran dia penurut dari sononya, tidak bakal berbuat macam-macam, tak mungkin memberontak.
Tidak salah memanjakan anak nakal, toh mereka anak kita juga. Akan tetapi, bila salah cara memanjakannya, ia bisa menjadi bumerang, mengundang petaka. Bila setiap kenakalan disogok dengan memanjakannya, anak jadi makin nakal. Perkara kecil cukup jadi alasan baginya untuk ngambek. Dikasih hati, dia menuntut jantung. Anak lainnya yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung bisa saja iri kemudian berbuat nakal untuk menarik perhatian orangtua supaya dimanjakan pula.
Negara ini menghadapi 'kenakalan anak-anak'-nya di sejumlah wilayah. Kenakalan itu berupa keinginan memisahkan diri dari keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara memanjakan Timor Timur dulu dengan mengguyurkan begitu banyak duit. Cara memanjakan seperti itu belum tentu tepat. Buktinya tuntutan memisahkan diri tetap bergaung. Perlakuan spesial kepada Timtim itu bikin iri provinsi lain yang selama ini loyal kepada NKRI. Alhamdulillah, rasa cemburu tak sampai membuat provinsi lain ikut ikutan nakal menuntut pemisahan dari NKRI.
Negara kemudian memanjakan Timtim dengan menghadiahinya referendum. Kita merelakan Timtim lepas lewat referendum. Cara memanjakan seperti ini pas banget mengingat Timtim bukan bekas jajahan Belanda karenanya bukan bagian Indonesia, tetapi kita menganeksasinya.
Timtim seperti kerikil tajam di dalam sepatu. Telapak kaki luka bila memijaknya terus-menerus. Daripada terus-terusan melukai dan menyakiti, lebih baik dikeluarkan saja kerikil itu dari sepatu NKRI kita.
Kita memanjakan Aceh dengan mengizinkan pembentukan partai politik lokal. Perjuangan bersenjata bersalin rupa menjadi perjuangan politik. Cara memanjakan seperti ini tepat karena dengannya eskalisasi kekerasan menurun signifikan. Bagaimana dengan cara memanjakan melalui keleluasaan menerapkan syariat agama di Aceh? Ah, sudahlah, panjang ceritanya.
Negara memanjakan Papua dengan menggerojokkan dana otonomi khusus triliunan rupiah saban tahun. Cara ini belakangan dikritik dan kiranya perlu dievaluasi. Bisik-bisik, elite menjadi penikmatnya, bukan rakyat. Provinsi lain boleh jadi cemburu. Beruntung, tidak ada yang ikut ikutan bandel sampai menghendaki pemisahan dari NKRI.
Pemerintahan Jokowi-JK memanjakan Papua dengan menggenjot pembangunan infrastruktur di sana. Ini tepat mengingat infrastruktur di provinsi tersebut terlupakan, tertinggal begitu jauh. Provinsi lain tak perlu cemburu karena pemerintah menyebar pembangunan infrastruktur secara proporsional.
Papua lagi ngambek. Penyebabnya makian rasis kepada orang Papua di Surabaya dan Malang. Ngambek lalu berubah jadi gejolak. Terjadi tindakan anarkistis di Papua. Berlangsung tuntutan referendum segala.
Sangat mungkin ada aktor yang memprovokasi dan menunggangi sehingga ngambek jadi gejolak. Negara tak boleh memanjakan 'anak-anak nakal' yang memprovokasi dan menunggangi gejolak Papua dengan membiarkan mereka begitu saja. Negara mesti hadir menindak mereka. Di situlah letak kewibawaan negara.
Kita ingin negara memperlakukan Papua secara proporsional. Perlakukan dia serupa negara memperlakukan provinsi-provinsi lain. Tidak adil memanjakannya secara berlebihan. Perlakuan proporsional membuat Papua tidak gampang ngambek. Perlakuan adil menjadikan Papua dewasa. Perlakuan adil dan proporsional bikin Papua tetap NKRI.
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved