Headline

Rakyat menengah bawah bakal kian terpinggirkan.

Protes Tere Liye

Djadjat Sudradjat Dewan Redaksi Media Group
12/9/2017 05:31
Protes Tere Liye
(MI/ROMMY PUJIANTO)

PROTES ala penulis Tere Liye soal pajak royalti yang tinggi punya vibrasi yang luas. Mestinya juga jalan keluar yang perseptif. Sebagai penulis yang merasa diperlakukan tak adil, Tere memaklumatkan berhenti menerbitkan buku-bukunya, termasuk menerbitkan ulang beberapa buku laris yang telah difilmkan.

Ia telah pula memutus kontrak dengan beberapa penerbit yang selama ini mencetak dan memasarkan buku-bukunya. Protes ini bukan semata untuk dirinya, melainkan untuk seluruh penulis Indonesia.

Protes Tere mendapat respons dari banyak pihak, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sri bahkan menugaskan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi untuk menemui Tere dan membereskan soal pajak penulis jika itu menyangkut pelayanan yang masih buruk.

Namun, jika itu menyangkut hukum, tentu butuh waktu. Belakangan, Sri menulis artikel khusus yang diberi judul 'Tentang Tere Liye'. Sri mengaku awalnya kaget merespons protes novelis produktif itu sebab baginya buku ialah sahabat sejati.

"Buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus dikombinasikan dengan riset, data, survei, bahkan kunjungan lapangan yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan.

Ada jerih payah tidak mudah (keringat, airmata, atau bahkan darah) yang nyata di balik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis itu sendiri," tulis Sri.

Protes Tere, yang hingga kini sudah menulis 28 novel, jelas punya dasar kuat. Pria kelahiran Lahat, Sumatra Selatan, 21 Mei 1979 itu seorang penulis yang juga akuntan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, satu almamater dengan Menteri Sri.

Artinya, ia paham hitung-hitungan pajak yang memberatkan itu. Selama setahun Tere mengaku kerap berkirim surat ke berbagai institusi termasuk Badan Ekonomi Kreatif dan Ditjen Pajak meminta waktu untuk diskusi soal pajak.

Namun, kata Tere, surat itu tak terbalas. Hasilnya pun nihil belaka. Maka, jalan terbaik, protes itu ia unggah di akun Facebook-nya. 'Kalian harus tahu, penulis buku adalah orang paling dermawan kepada negara.

Kalian harus sopan sekali kepada penulis buku, karena dia membayar pajak lebih banyak dibanding kalian semua', tulis Tere yang bernama asli Darwis. Yang disebut 'kalian' ialah beberapa penyandang profesi yang dikenai pajak lebih rendah daripada penulis.

Ia jelaskan hitung-hitungan pajak dengan ilustrasi berbagai profesi yang hidup dalam sebuah kompleks perumahan. Di situ ada dokter, akuntan, arsitek, artis terkenal, motivator, pengacara, pengusaha UMKM, dan tentu penulis.

Ia mengandaikan semua penghuni kompleks itu berpenghasilan sama per tahun, yakni Rp1 miliar. Ia anggap pula PTKP (penghasilan tidak kena pajak) aneka profesi itu sama, nol saja. Maka, dengan berbagai hitung-hitungan ditemukanlah total pajaknya, yakni Rp95 juta (25%).

Sementara itu pengusaha UMKM, tarif pajaknya Rp10 juta (1%). Berapa pajak penulis buku? 'Karena penghasilan penulis buku disebut royalti, maka apa daya, menurut staf pajak, penghasilan itu semua dianggap super netto.

Tidak boleh dikurangkan dengan rasio NPPN, pun tidak ada tarif khususnya. Jadilah pajak penulis buku: Rp1 miliar dikalikan layer tadi langsung. Rp50 juta pertama tarifnya 5 persen, Rp50 juta hingga Rp250 juta berikutnya tarifnya 15 persen, lantas Rp250 juta hinga Rp500 juta berikutnya tarifnya 25 persen.

Dan Rp500 juta hingga Rp 1 miliar berikutnya 30 persen. Maka total pajaknya adalah Rp245 juta,'tulis Tere seraya menambahkan betapa pun di kompleks itu, sang penulis 'rumahnya paling kecil, mobilnya paling sederhana'.

Di Indonesia, agaknya baru kali ini seorang penulis protes dengan cara yang berani. Selama ini keluhan soal pajak royalti dan rendahnya penghasilan penulis hanya menjadi 'gumam' berkali-kali. Tere menuntut pajak royalti penulis buku 1% dan bersifat final.

Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) bahkan meminta pemerintah mencabut pajak untuk industri penerbitan buku dan penulis. Sekadar informasi, di Indonesia setiap tahun terbit sekitar 20 ribu judul buku, kira-kira setara dengan Malaysia dan Vietnam.

Jangan lupa penduduk kita berjumlah 250 juta jiwa, Malaysia 31,19 juta jiwa, dan Vietnam 92,7 juta orang. Artinya untuk kita masih sangat rendah. Sementara itu dalam soal minat baca, berdasarkan studi Most Littered

Nation In the World yang dilakukan Central Connecticut State Univesity Maret 2016, Indonesia urutan ke-60 dari 61 negara. Jika protes Tere tak menemu jalan keluar, artinya pajak royalti tak berubah, ini menjadi ironi serius.

Ironi sebuah negeri di tengah rendahnya jumlah buku yang terbit dan miskinnya literasi warga, ada penulis produktif menghentikan penerbitan buku karena pajak yang tak adil. Padahal, membaca buku bisa membangun karakter bangsa.

Bukankah kini tengah dibincangkan pembangunan karakter bangsa? Lihatlah Jepang yang punya jejak cemerlang dalam soal penerjemahan dan penerbitan buku sejak Restorasi Meiji (1866-1869). Bangsa ini maju seperti Barat, tetapi tetap dalam penghormatannnya yang tinggi pada budaya sendiri.

Rasanya bijak jika Sri Mulyani mengundang para penulis buku di Lapangan Banteng untuk mendiskusikan soal pajak royalti buku. Memang ada Undang-Undang No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tetapi diskusi bisa menjadi harapan solusi.

Bagi Sri, seorang pecinta buku, rasanya amat mudah. Termasuk mungkin menerapkan diskresi untuk kebajikan bangsa.



Berita Lainnya
  • Dramaturgi Noel

    26/8/2025 05:00

    IBARAT penggalan lirik 'Kau yang mulai, kau yang mengakhiri' yang sangat populer dalam lagu Kegagalan Cinta karya Rhoma Irama (2005)

  • Noel Tabola-bale Sidak, Pemerasan

    25/8/2025 05:00

    CERDAS atau dungu seseorang bisa dilihat dari kesalahan yang dibuatnya. Orang cerdas membuat kesalahan baru, sedangkan orang dungu melakukan kesalahan itu-itu saja,

  • Noel dan Raya

    23/8/2025 05:00

    MUNGKIN Anda menganggap saya berlebihan menyandingkan dua nama itu dalam judul: Noel dan Raya. Tidak apa-apa.

  • Semrawut Rumah Rakyat

    22/8/2025 05:00

    SEBETULNYA, siapa sih yang lebih membu­tuhkan rumah, rakyat atau wakil rakyat di parlemen?

  • Kado Pahit Bernama Remisi

    21/8/2025 05:00

    TEMAN saya geram bukan kepalang.

  • Waspada Utang Negara

    20/8/2025 05:00

    UTANG sepertinya masih akan menjadi salah satu tulang punggung anggaran negara tahun depan. 

  • Mengakhiri Anomali

    19/8/2025 05:00

    BANGSA Indonesia baru saja merayakan 80 tahun usia kemerdekaan.

  • Topeng Arogansi Bopeng Kewarasan

    18/8/2025 05:00

    ADA persoalan serius, sangat serius, yang melilit sebagian kepala daerah. Persoalan yang dimaksud ialah topeng arogansi kekuasaan dipakai untuk menutupi buruknya akal sehat.

  • Ibadah bukan Ladang Rasuah

    16/8/2025 05:00

    LADANG ibadah malah dijadikan ladang korupsi.

  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.