Headline

Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.

Paradoks Provinsi Berkinerja Terbaik

Hamim Pou, Pengamat Kebijakan dan Inovasi Daerah
27/8/2025 16:18
Paradoks Provinsi Berkinerja Terbaik
Hamim Pou, Pengamat Kebijakan dan Inovasi Daerah.(Dok. Pribadi)

INDONESIA tidak kekurangan peringkat—bisa tiap bulan muncul daftar provinsi "terbaik", "paling inovatif", atau "paling bahagia". Tetapi yang kita perlukan jauh lebih penting dari sekadar posisi singkat di atas podium; Indonesia membutuhkan skor konsistensi, seberapa tahan sebuah daerah mempertahankan perbaikan dalam jangka waktu panjang.

Saya menelusuri tujuh lensa kunci: kualitas hidup (IPM dan kebahagiaan), daya saing ekonomi (PDRB per kapita), ketimpangan (rasio Gini), mutu layanan publik (kepatuhan Ombudsman), integritas dan tata kelola (SPI KPK dan SAKIP), transformasi digital (SPBE), serta akses dasar seperti air minum, sanitasi, dan konektivitas internet sepanjang dekade 2014–2024.

Paradoks pertama muncul dari kualitas hidup. IPM nasional naik dari sekitar 68,9 pada 2014 ke 75,0 pada 2024—lompatan yang menunjukkan kemajuan konkret dan substansial. Namun, yang menarik adalah provinsi-provinsi di timur: Papua, yang dulunya tertinggal, menjulang ke 73,8 pada 2024; Papua Tengah merangkak ke kategori "sedang"; NTT tetap berjuang menaikkan capaian IPM-nya ke 69,1.

Semua provinsi IPM-nya meningkat, tetapi arah dan kecepatan perbaikan memberi narasi berbeda: berkembang berarti memperpendek jarak ketertinggalan, bukan sekadar berdiri di posisi lebih tinggi. Dalam bingkai kebahagiaan—walau data hanya tersedia hingga 2021—Maluku Utara berada di puncak indeks, menegaskan bahwa kualitas hidup bukan melulu soal angka ekonomi, melainkan perasaan kesejahteraan yang dirasakan warga.

Paradoks kedua terlihat dalam daya saing ekonomi. Ketika berbicara PDRB per kapita, Jakarta tetap stabil di tingkatan tertinggi: kota megapolitan dengan APBD triliunan rupiah menghasilkan ekonomi per kapita tertinggi, disusul Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Namun, kabar baiknya adalah penyempitan jurang: provinsi non-Jawa makin menebal kelas menengahnya lewat hilirisasi, konektivitas, dan investasi—ditopang pembangunan infrastruktur. Kalimantan Timur, misalnya, mencatat angka sekitar Rp212 juta per kapita pada 2024—meski tetap di bawah Jakarta, setidaknya menunjukkan bahwa pembangunan tengah mengalir lebih merata ke pinggiran.

Mengikis Disparitas

Paradoks ketiga adalah ketimpangan. Rasio Gini nasional turun dari 0,414 pada 2014 ke sekitar 0,379 di awal 2024, namun wilayah urban tetap menyimpan disparitas lebih tinggi daripada perdesaan. Artinya, krim ekonomi belum merata, dan kota besar masih menekan wilayah sekitar. Lompatan sesungguhnya akan terjadi ketika perumahan terjangkau, transportasi publik efektif, dan peluang kerja formal merata hingga pinggiran—barulah disparitas itu terkikis bukan hanya di grafik melainkan di dompet dan jadwal harian warga.

Paradoks keempat datang dari pelayanan publik. Ombudsman melaporkan lebih banyak provinsi berada di zona hijau kepatuhan pada 2024 dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi "hijau" di kertas tidak otomatis "hijau" di loket. Kualitas nyata layanan—kecepatan respons, aduan yang ditindaklanjuti, keadilan prosedural—sering tak sejalan. Karena itu, mulai 2025 setiap layanan penting perlu disertai Service Level Agreement (SLA) yang transparan, audit tersembunyi (mystery shopper), dan kompensasi otomatis—misalnya pengembalian biaya bila pelayanan melampaui standar waktu. Dengan begitu, standar pelayanan bukan sekadar janji melainkan akuntabilitas yang terukur.

Paradoks kelima berkaitan dengan integritas. Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK 2024 menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi besar dengan skor tertinggi, disusul Bali sebagai pemimpin kategori sedang. Sementara itu, tren SAKIP selama dasawarsa terakhir menunjukkan pergeseran dari orientasi input (belanja) ke outcome (hasil), menandakan budaya kerja yang makin berbasis akuntabilitas.

Reformasi birokrasi tidak lagi sekadar peta logika di dokumen melainkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan. Idealnya, SPI, SAKIP, dan SPBE disatukan ke dalam satu dasbor operasional di ruang kerja gubernur; jika salah satu skor turun, sistem secara otomatis memicu peninjauan dan perbaikan lintas OPD. Integritas harus dibangun sebagai desain bukan serangkaian seremoni.

Paradoks keenam adalah transformasi digital. Jawa Tengah mencatat lompatan menonjol: skor SPBE naik dari sekitar 2,7 pada 2021 menjadi 4,3 pada 2024—tertinggi nasional. Ini bukan sekadar penambahan portal, melainkan integrasi data, single sign on, dan bahkan pendekatan prediktif dalam layanan sosial. Provinsi lain perlu membangun arsitektur digital yang benar-benar memudahkan warga, bukan menambah daftar aplikasi. Prinsip once only—data cukup sekali—dan layanan proaktif seperti bantuan sosial otomatis harus menjadi tolok ukur kematangan digital.

Paradoks ketujuh tampak pada akses dasar. Air minum layak kini menjangkau kira-kira 91 dari 100 rumah tangga; sanitasi di banyak provinsi telah menembus 80%; konektivitas internet melonjak dari kisaran belasan persen ke mayoritas penduduk dalam 10 tahun.

Tantangan berikutnya bukan lagi keberadaan akses, melainkan kualitasnya: kontinuitas suplai air, pengelolaan lumpur tinja yang aman, kestabilan jaringan, dan literasi digital. Tanpa kualitas, akses mudah berubah menjadi sumber frustrasi.

Dividen untuk Rakyat

Dari seluruh bukti, siapa yang konsisten unggul? Jawa Tengah menjadi rujukan yang mudah: integritas, SPBE, dan disiplin tata kelola yang membentuk operating system pemerintahan yang rapi. Jawa Timur, Jawa Barat, dan DKI Jakarta menyusul sebagai motor inovasi—layanan digital dan model pelayanan publik terus berkembang—meski PR ketimpangan urban masih berat. Siapa paling melompat? Papua, Papua Tengah, dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan percepatan signifikan dari landasan rendah; investasi infrastruktur dan kebijakan dasar mulai berbuah nyata.

Maluku Utara menyodorkan anomali positif pada kebahagiaan—modal sosial yang bisa ditumbuhkan menjadi "bahagia berkelanjutan". Pada titik ini, wajar jika penilaian semacam ini diperdebatkan, bahkan memantik kontroversi. Tidak elok, kata sebagian orang, menyandingkan Jakarta—provinsi/kota megapolitan dunia—dengan NTT atau Papua yang tantangannya ibarat bumi dan langit.

Saya mengakui, penilaian dalam tulisan ini masih seragam dan menyeluruh untuk mendapatkan potret nasional yang utuh. Namun, agar lebih adil dan relevan, ke depan kita perlu membagi provinsi berdasarkan kategori besar, sedang, dan kecil sesuai kapasitas fiskal, kepadatan, dan kompleksitas pelayanan. Kita juga harus menilai kualitas kerja dibanding kuantitasnya: membandingkan dampak sosial per rupiah belanja publik, bukan sekadar seberapa banyak uang dihabiskan atau berapa banyak aplikasi diluncurkan.

Apa yang bisa kita lakukan mulai sekarang? Pertama, tetapkan Scorecard Konsistensi 7×11: tujuh outcome utama—IPM, Rasio Gini, kemiskinan, pengangguran muda, kebahagiaan, literasi/konektivitas digital, dan akses air-sanitasi—dipantau selama sebelas tahun (2014–2024) dan dipadukan dengan tiga tuas tata kelola: SPI, SAKIP, dan SPBE. Publikasikan per triwulan agar publik dapat memantau dan mendorong perbaikan.

Kedua, bentuk Service Assurance Fund untuk memastikan setiap pelayanan publik mematuhi SLA; jika terlewat, kompensasi otomatis diberikan kepada warga atau pelaku usaha.

Ketiga, integrasikan layanan digital dan fisik untuk lima momen kehidupan—lahir, sekolah, bekerja/berusaha, sakit, dan pensiun/wafat—dengan pendekatan once only dan proactive delivery sehingga negara hadir sebelum warga meminta.

Agar diskusi publik makin cerdas, media nasional sebaiknya memperkenalkan Reform Dividend Index (RDI): ukuran berapa besar dividen sosial ekonomi—penurunan Rasio Gini, kenaikan IPM, penurunan kemiskinan—yang muncul 12–24 bulan setelah skor SPI/SAKIP/SPBE membaik. Dengan RDI, kita mengikat piala pada hasil; memisahkan reformasi yang benar-benar berjejak dari yang sekadar berjejal di etalase penghargaan. Jika data pemerintah daerah jernih dan terbuka, RDI akan menjadi kompas yang memperlihatkan siapa yang bekerja sistematis dan siapa yang hanya lihai berpromosi.

Dekade pertama adalah latihan membangun kebiasaan baik. Dekade berikutnya harus menjadi lompatan hasil—dari aplikasi ke pelayanan, dari kepatuhan ke keadilan, dari juara sementara ke kampiun konsistensi. Provinsi yang berani mengikat tata kelola, layanan, dan kesejahteraan dalam satu sistem akan memimpin republik ini. Yang lain? Akan sibuk menyiapkan panggung, sementara warga menagih perubahan.

Pada akhirnya, ukuran kemajuan tidak terletak pada sorak sorai penonton, melainkan pada dividen yang tiba di tangan rakyat—lebih aman, lebih mudah, lebih adil. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya