Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dinilai Ambigu, Aturan Jadwal Pilkada Ulang dengan Calon Tunggal Dipersoalkan di MK

Yakub Pratama Wijayaatmaja
14/10/2024 22:02
Dinilai Ambigu, Aturan Jadwal Pilkada Ulang dengan Calon Tunggal Dipersoalkan di MK
Warga mengikuti simulasi pemungutan suara dengan satu pasangan calon dalam Pilkada 2024 di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Minggu (15/09/2024).(MI/Usman Iskandar)

PELAKSANAAN pilkada ulang jika kotak kosong menang dari calon tunggal dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materi terhadap Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diajukan oleh Tim Advokasi “Pilkada Ulang Tepat Waktu". 

Gugatan ini diajukan oleh Muhammad Qabul Nusantara, Bayu Yusya Uwaiz Al Khorni, Febriansyah Ramadhan, dan Sunarto Efendi untuk meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus frasa “dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.” 

Berdasarkan Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, calon tunggal dinyatakan sebagai pemenang Pilkada jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen suara sah. Namun, calon tunggal dianggap kalah jika tak mencapai suara lebih dari 50 persen suara sah.

Baca juga : Penetapan Pemenang Calon Tunggal Pilkada Dipersoalkan di MK

Apabila calon tunggal kalah, maka yang bersangkutan bisa mencalonkan lagi di Pilkada tahun berikutnya atau Pilkada yang sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan

Frasa "dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan" dinilai berpotensi memperpanjang ketidakpastian pelaksanaan Pilkada ulang di daerah dengan calon tunggal, terutama jika kotak kosong menang.

Bim, sapaan akrab Muhammad Qabul Nusantara menjelaskan bahwa ketidakpastian ini dapat menciptakan kondisi penjabat kepala daerah dapat menjabat untuk jangka waktu yang lama tanpa adanya legitimasi demokratis.

Baca juga : Kotak Kosong Menang, Pilkada Ulang akan Digelar September 2025

“Penjabat kepala daerah bukanlah pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat. Kondisi ini sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kepala daerah harus dipilih secara 
demokratis,” kata Bim, kepada wartawan, Senin (14/10).

Lebih lanjut, Bayu Yusya menekankan bahwa frasa yang ambigu ini memberi ruang bagi pemerintah dan DPR untuk menunda Pilkada ulang, yang seharusnya dilaksanakan satu tahun setelah Pilkada serentak. 

“Ketidakpastian ini bisa memperpanjang kekosongan jabatan kepala daerah definitif, yang pada akhirnya merugikan hak masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Kita ingin memastikan Pilkada ulang terlaksana tepat waktu, bukan mengikuti jadwal yang masih tergantung pada kesepakatan perundang-undangan,” tandas Bayu.

Baca juga : Pilkada Ulang akan Digelar Setelah Sengketa Hasil di MK Rampung

Tim advokasi menyoroti bahwa frasa yang dipermasalahkan tersebut tidak hanya mengaburkan kepastian hukum tetapi juga membuka peluang bagi penundaan Pilkada ulang hingga lima tahun, mengikuti siklus Pilkada serentak berikutnya. 

Jika opsi ini yang diambil, daerah yang dimenangkan oleh kotak kosong harus menunggu hingga 2029 untuk menggelar Pilkada ulang, meninggalkan masyarakat di bawah kepemimpinan penjabat kepala daerah yang wewenangnya terbatas dan tanpa mandat demokratis.

“Ini bukan hanya soal teknis waktu. Ketidakpastian ini berimplikasi pada legitimasi pemerintahan daerah. Jika frasa tersebut tidak dihapus, maka penjabat kepala daerah bisa menjabat selama satu periode penuh tanpa melalui proses demokratis, dan ini tentu mengkhianati prinsip demokrasi yang dijamin oleh konstitusi kita,” ungkap Bim.

Baca juga : Pilkada Ulang Bakal Ganggu Makna Keserentakan

Gugatan ini juga mengingatkan bahwa pada Pilkada serentak 2024, terdapat 37 daerah yang hanya memiliki satu calon kepala daerah. Jika kotak kosong menang, maka daerah-daerah ini berpotensi mengalami ketidakpastian panjang terkait kapan Pilkada ulang akan dilaksanakan. 

Bim dan Bayu Yusya berharap MK menyatakan frasa “dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan memastikan Pilkada ulang dilakukan setahun setelah Pilkada serentak.

“Dalam kasus ini, ketidakpastian adalah musuh bagi demokrasi. Daerah harus dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat, bukan oleh penjabat sementara. Jika tidak ada perubahan pada undang-undang ini, masyarakat akan dirugikan karena hak mereka untuk memilih pemimpin secara langsung terabaikan,” pungkas Bayu.

Keberadaan penjabat kepala daerah juga dipandang lemah secara konstitusional, karena wewenangnya dibatasi dan tidak memiliki mandat langsung dari rakyat. Menurut Bim, ini dapat berdampak pada keberlangsungan pemerintahan yang seharusnya lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat lokal.

“Jika kondisi ini dibiarkan, kita akan menyaksikan fenomena di mana penjabat kepala daerah menjabat seperti kepala daerah definitif, hanya saja tanpa legitimasi demokratis. Ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi kita,” tutup Bim.

Gugatan ini diharapkan menjadi landasan bagi reformasi hukum yang lebih adil dan memastikan bahwa hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung dapat dilindungi dan dijamin sesuai dengan konstitusi. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya