Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
JELANG pesta demokrasi Pilkada Serentak yang jatuh pada 27 November 2024 mendatang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengajak para perempuan untuk mendukung keterwakilan calon pemimpin daerah perempuan.
Plt. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu mengemukakan perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2024 serentak masih minim. Dijelaskan bahwa persentase perempuan sebagai calon bakal gubernur, walikota dan bupati saat ini yaitu 9,44 persen.
“Minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang Pilkada tentu menjadi keprihatinan yang mendalam sebab mengecilkan kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia khususnya dalam bidang politik. Hal ini akan berdampak pada perjuangan kepentingan perempuan dan anak menjadi minim,” jelasnya di Jakarta pada Senin (9/9).
Baca juga : Kementerian PPPA Minta Anak Tidak Dilibatkan dalam Aktivitas Politik Jelang Pilkada
Titi menekankan keterwakilan pemimpin daerah perempuan dan partisipasi politik perempuan merupakan hal penting dalam rangka memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, memberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan perempuan di berbagai bidang pembangunan.
“Minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam pilkada ini menjadi keprihatinan yang mendalam, sebab artinya mencegah kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia di dalam bidang politik,” jelasnya.
Menurut Titi, adanya faktor budaya patriarki yang masih mendominasi dalam masyarakat, membuat perempuan sulit untuk mencapai posisi tinggi sebagai pengambil kebijakan di dalam politik.
Baca juga : Pilkada di NTT Diikuti 11 Bakal Calon Kepala Daerah Perempuan
“Segala potensi rendahnya partisipasi ini juga menandakan perempuan masih terpinggirkan, banyak dipertanyakan kemampuannya, bahkan sering sekali dilihat sampai pada statusnya hingga distereotipkan sebagai orang yang tak mampu memimpin,” ujarnya.
Sementara itu, Dewan Pembina sekaligus Pengajar Hukum Pemilu, Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan ada berbagai tantangan bagi perempuan untuk terlibat aktif sebagai calon di perhelatan pilkada baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan.
“Hambatan dari sisi regulasi– masih ada barrier to entry atau pembatasan yang menghalangi untuk mengakses pencalonan (syarat ambang batas minimal dalam pencalonan baik dari jalur parpol maupun perseorangan). Jadi sangat sulit untuk muncul calon kepala daerah alternatif (perempuan) melalui jalur perseorangan,” jelasnya.
Baca juga : Akar Persoalan KDRT, Bisakah Diatasi?
Selain itu, Titi menjelaskan demokratisasi pada tataran internal partai politik sering kali belum efektif. Dikatakan bahwa ada hak veto atau hegemoni dari dewan pemimpin pusat atau DPP dalam pemberian rekomendasi pencalonan.
“Sekarang ini wajib ada rekomendasi DPP untuk pengajuan calon, jika tidak ada rekomendasi DPP maka tidak bisa mencalonkan, dan ini menghambat perempuan karena mereka harus mengetuk setiap pintu dari pengurus partai di kabupaten, kota, provinsi. Harus juga dapat rekomendasi dari DPP, itu (butuh) lobi-lobi dan biaya semua,” ungkapnya
“Sementara akses keuangan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ini terlalu birokratis dan terlalu elit sentris,” lanjutnya.
Masih adanya diskriminasi akibat konstruksi sosial dan budaya yang eksploitatif itu, menurut Titi juga menyulitkan perempuan untuk memenangi kompetisi sehingga terjadi stigmatisasi bahwa perempuan tempatnya di rumah, pemimpin itu adalah laki-laki, dan lainnya.
Indonesia ialah salah satu negara pihak yang ikut menandatangani dan mengadopsi Beijing Platform.
KPU harus bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM yang diatur dalam aturan 30 persen keterwakilan perempuan.
Jumlah perempuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada pemilu 2024 meningkat tipis berdasarkan hasil Pemilu DPR RI 2024.
komitmen parlemen terhadap perempuan hanya sedikit tampak pada pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
KPU membiarkan kesalahan partai politik yang menempatkan perempuan kurang dari 30% dari total caleg pada sebuah daerah pemilihan (dapil).
Keputusan MK terkait PHPU kepala daerah pasca-PSU semestinya bisa memberikan kepastian hukum dan terwujudnya ketertiban di daerah.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mengusulkan agar ke depannya anggaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
DIREKTUR DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati menilai Bawaslu tidak serius dalam menangani proses penanganan politik uang saat PSU Pilkada Barito Utara
Kejadian di Barito Utara menunjukkan adanya permasalahan mendasar terkait pencegahan dan penegakan hukum atas pelanggaran politik uang saat pilkada.
Putusan MK menekankan ketidakmampuan Bawaslu Kalimantan Tengah untuk menggunakan kewenangannya secara optimal dan kontekstual.
Refleksi ini penting untuk menyusun regulasi yang adaptif, inklusif, dan sesuai dengan dinamika sosial-politik masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved