Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
JELANG pesta demokrasi Pilkada Serentak yang jatuh pada 27 November 2024 mendatang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengajak para perempuan untuk mendukung keterwakilan calon pemimpin daerah perempuan.
Plt. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu mengemukakan perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada 2024 serentak masih minim. Dijelaskan bahwa persentase perempuan sebagai calon bakal gubernur, walikota dan bupati saat ini yaitu 9,44 persen.
“Minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam ajang Pilkada tentu menjadi keprihatinan yang mendalam sebab mengecilkan kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia khususnya dalam bidang politik. Hal ini akan berdampak pada perjuangan kepentingan perempuan dan anak menjadi minim,” jelasnya di Jakarta pada Senin (9/9).
Baca juga : Kementerian PPPA Minta Anak Tidak Dilibatkan dalam Aktivitas Politik Jelang Pilkada
Titi menekankan keterwakilan pemimpin daerah perempuan dan partisipasi politik perempuan merupakan hal penting dalam rangka memastikan hadirnya kebijakan-kebijakan yang mendukung, memberdayakan, dan memfasilitasi kebutuhan perempuan di berbagai bidang pembangunan.
“Minimnya partisipasi politik perempuan untuk maju dalam pilkada ini menjadi keprihatinan yang mendalam, sebab artinya mencegah kekuatan perempuan untuk memajukan bangsa Indonesia di dalam bidang politik,” jelasnya.
Menurut Titi, adanya faktor budaya patriarki yang masih mendominasi dalam masyarakat, membuat perempuan sulit untuk mencapai posisi tinggi sebagai pengambil kebijakan di dalam politik.
Baca juga : Pilkada di NTT Diikuti 11 Bakal Calon Kepala Daerah Perempuan
“Segala potensi rendahnya partisipasi ini juga menandakan perempuan masih terpinggirkan, banyak dipertanyakan kemampuannya, bahkan sering sekali dilihat sampai pada statusnya hingga distereotipkan sebagai orang yang tak mampu memimpin,” ujarnya.
Sementara itu, Dewan Pembina sekaligus Pengajar Hukum Pemilu, Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan ada berbagai tantangan bagi perempuan untuk terlibat aktif sebagai calon di perhelatan pilkada baik melalui jalur partai politik maupun perseorangan.
“Hambatan dari sisi regulasi– masih ada barrier to entry atau pembatasan yang menghalangi untuk mengakses pencalonan (syarat ambang batas minimal dalam pencalonan baik dari jalur parpol maupun perseorangan). Jadi sangat sulit untuk muncul calon kepala daerah alternatif (perempuan) melalui jalur perseorangan,” jelasnya.
Baca juga : Akar Persoalan KDRT, Bisakah Diatasi?
Selain itu, Titi menjelaskan demokratisasi pada tataran internal partai politik sering kali belum efektif. Dikatakan bahwa ada hak veto atau hegemoni dari dewan pemimpin pusat atau DPP dalam pemberian rekomendasi pencalonan.
“Sekarang ini wajib ada rekomendasi DPP untuk pengajuan calon, jika tidak ada rekomendasi DPP maka tidak bisa mencalonkan, dan ini menghambat perempuan karena mereka harus mengetuk setiap pintu dari pengurus partai di kabupaten, kota, provinsi. Harus juga dapat rekomendasi dari DPP, itu (butuh) lobi-lobi dan biaya semua,” ungkapnya
“Sementara akses keuangan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ini terlalu birokratis dan terlalu elit sentris,” lanjutnya.
Masih adanya diskriminasi akibat konstruksi sosial dan budaya yang eksploitatif itu, menurut Titi juga menyulitkan perempuan untuk memenangi kompetisi sehingga terjadi stigmatisasi bahwa perempuan tempatnya di rumah, pemimpin itu adalah laki-laki, dan lainnya.
PENELITI Gender dari Pusat Riset Politik BRIN Kurniawati Hastuti Dewi mengatakan, tindakan khusus sementara diperlukan untuk memperkuat keterwakilan perempuan di politik.
Meskipun keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 telah mencapai sekitar 21%, pimpinan AKD DPR masih didominasi oleh laki-laki.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian norma keterwakilan perempuan yang terdapat dalam UU MD3.
Indonesia ialah salah satu negara pihak yang ikut menandatangani dan mengadopsi Beijing Platform.
KPU harus bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi HAM yang diatur dalam aturan 30 persen keterwakilan perempuan.
Faktor pertama kenaikan PBB adalah semakin tidak terbendungnya pola politik transaksional dan politik berbiaya tinggi dalam Pilkada langsung.
Selama Pilkada 2024, TVRI menayangkan sebanyak 439 debat mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
SEKJEN Partai Gerindra Sugiono merespons usulan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat.
KOMITE Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) menolak wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah atau pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD
Titi Anggraini menyebut pilkada lewat DPRD tidak relevan lagi membedakan rezim Pilkada dan Pemilu setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi atau MK
KETUA Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya jauh lebih dulu mengusulkan agar bupati dan walikota dipilih oleh DPRD
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved