Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Partai Politik Disebut Masih Jadi Penghambat Pemenuhan 30 Persen Perempuan di DPR

Devi Harahap
09/7/2025 12:46
Partai Politik Disebut Masih Jadi Penghambat Pemenuhan 30 Persen Perempuan di DPR
DIREKTUR Sarinah Institute sekaligus sekaligus Mantan Anggota DPR RI periode 2004–2019 dari Komisi III dan XI, Eva Kusuma Sundari.(Dok. Antara)

DIREKTUR Sarinah Institute sekaligus sekaligus Mantan Anggota DPR RI periode 2004–2019 dari Komisi III dan XI, Eva Kusuma Sundari, hadir memberikan keterangan sebagai saksi dalam pengujian UU MD3 mengenai norma keterwakilan perempuan pada Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR RI.

Dalam kesaksiannya, Eva menjelaskan bahwa isu kesetaraan gender merupakan portofolio utama yang ia perjuangkan selama menjabat, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas keterwakilan perempuan yang mengantarnya masuk ke parlemen.

Ia menyoroti bahwa meskipun keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2024–2029 telah mencapai sekitar 21%, pimpinan AKD DPR RI masih didominasi oleh laki-laki. Bahkan, di sejumlah komisi dan badan, perempuan sama sekali tidak dilibatkan dalam struktur kepemimpinan, atau hanya ditempatkan secara simbolis.

“Kondisi ini, mencerminkan adanya hambatan struktural dan kultural dalam distribusi kekuasaan serta ketidakadilan sistemik yang hanya dapat diperbaiki melalui mekanisme hukum,” katanya dalam sidang perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 di Gedung MK pada Selasa (8/7).

Harus Dapat Afirmasi Positif

Eva menuturkan bahwa afirmasi untuk kuota perempuan di pimpinan seharusnya bisa menjadi norma positif karena dampaknya memperlihatkan tren yang positif terhadap kebijakan inklusif dan pro-kesejahteraan.

“Ketika perempuan memimpin, tone-nya ataupun dampaknya selalu pro-kesejahteraan. Contohnya Skandinavia kenapa bisa sampai seperti itu, karena perwakilannya perempuan di pimpinan tinggi parlemen itu tinggi,” jelasnya.

Eva menuturkan bahwa dibutuhkan waktu 150 tahun bagi partai politik di Skandinavia untuk punya kesadaran dalam menerapkan prinsip kesetaraan. Merujuk hal tersebut, ia mendorong agar dibuat aturan khusus yang dapat memaksa parpol di Indonesia untuk membangun perspektif mainstreaming gender mulai dari pencalonan hingga penempatan di AKD.

“Tapi kalau kita menunggu seperti di Skandinavia, tidak sampai-sampai karena kita yang sudah punya 30% walaupun imbauan saja itu tidak ditaati. Jadi, saya mendorong teman-teman partai untuk kenapa tidak dinormakan seperti Amerika Latin yang dalam waktu 20 tahun itu ketika dinormakan, dan formasinya kita mengikuti itu sebetulnya di banyak undang-undang,” tukasnya.

Kehadiran Perempuan Sangat Penting

Berdasarkan pengalamannya, Eva menyebut bahwa kehadiran perempuan dalam pimpinan AKD sangat penting untuk memastikan proses pengambilan keputusan yang tidak hanya sensitif terhadap isu keadilan sosial, tetapi juga mampu mengakomodasi suara-suara kelompok yang kerap terpinggirkan.

“Saya tidak diberikan kesempatan oleh partai saya saat itu untuk duduk di posisi pimpinan, meskipun saya telah melakukan berbagai persiapan substansi. Kesempatan itu tetap tidak saya dapatkan,” ungkapnya.

Eva berharap ke depan ada pembenahan agar prinsip kesetaraan gender dapat diwujudkan secara nyata, termasuk melalui pemberian kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi strategis dalam kepemimpinan dewan.

“Mekanismenya bisa pakai proporsional, kalau misalkan di satu komisi ada 7 orang untuk duduk di pimpinan baik ketua maupun wakil, maka 30% untuk perempuan. Kalau semua komisi itu mengikuti logika mekanisme proporsional ini pasti perempuan juga akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa duduk di AKD,” tukasnya.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan baik dalam kepengurusan parpol, pencalonan legislatif hingga pimpinan AKD di parlemen, tidak cukup hanya dengan menggunakan aturan pemenuhan 30% melainkan harus merombak sistem pemilu.  

“Menurut saya percuma saja sudah ada afirmasi di tingkat partai politik kepengurusan dan partai politik pencalonan pakai cyber 30% tapi pemilihannya terjun bebas dengan sistem proporsional yang terbuka. Kalau mau rekayasa afirmatif, mestinya juga sistem pemilunya direkayasa,” jelasnya.

Arief juga mempertanyakan mengapa jumlah pemilih perempuan yang lebih banyak dari laki-laki justru tidak berbanding lurus dengan tingkat keterpilihan perempuan di parlemen. Ia menduga masih ada praktik patriarki dalam pola pikir masyarakat dalam memilih perwakilan perempuan.

“Pemilih Indonesia lebih banyak perempuan daripada laki-laki tapi kenapa perempuan tidak memilih calon perempuan? Jadi kalau dari pemilunya, kelihatannya perlu kita rekayasa mulai dari sistem pemilihan umum jangan model proporsional terbuka tapi bisa direkayasa bagaimana sehingga masyarakat perempuan ini juga bisa berpihak untuk memilih perempuan,” tukasnya. (H-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya