Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KABAR dari Jawa Barat itu, yang programnya sudah berjalan hampir sebulan lamanya, seperti gemerisik yang tak sedap di tengah khidmatnya dunia pendidikan. Gubernur telah melibatkan seragam loreng dalam urusan mengatasi tawuran pelajar. Sebuah solusi yang datang bukan dari meja-meja diskusi para pendidik, bukan dari para psikolog yang memahami lika-liku jiwa remaja, melainkan dari barak-barak yang akrab dengan perintah dan kepatuhan.
Dan yang membuat miris, gagasan ini bak gayung bersambut dengan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengamininya bahkan mendapatkan ilham akan memperluas ke daerah-daerah di Indonesia. Pernyataan Menteri HAM yang menyatakan bahwa pengiriman anak ‘nakal’ ke barak militer sebagai bagian dari metode pendidikan nasional yang tidak melanggar HAM, hanya karena ketiadaan pelanggaran fisik, adalah pandangan yang problematik dan perlu dikritisi secara mendalam.
Argumentasi ini abai terhadap dimensi psikologis dan kebebasan individu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Membentuk karakter anak melalui indoktrinasi dan pengekangan dalam lingkungan militeristik, alih-alih melalui dialog dan pemahaman, berpotensi merampas hak mereka atas perkembangan kepribadian yang bebas dan kreatif.
Konotasi ‘tidak melanggar HAM’ hanya karena tidak ada kekerasan fisik adalah penyempitan makna HAM yang berbahaya, karena hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung kebebasan berpikir dan berekspresi juga merupakan hak fundamental yang harus dilindungi.
ADA APA DENGAN PENDIDIKAN KITA?
Kita bertanya, tentu saja, apa gerangan yang melatarbelakangi pilihan yang terasa janggal ini. Apakah ruang-ruang kelas kita telah menjelma menjadi ‘medan laga’ yang hanya bisa diredam dengan kehadiran atribut keamanan? Ataukah kita telah kehilangan kepercayaan pada kekuatan dialog, pada kemampuan akal budi untuk mencari jalan keluar dari setiap kebuntuan?
Keputusan melibatkan atribut militer dalam lingkungan pendidikan bukan sekadar persoalan menegakkan disiplin atau penyeragaman. Hal itu hendaknya tidak dianggap remeh. Lebih dari itu, kebijakan ini menyentuh fondasi filosofis dan tujuan luhur pendidikan itu sendiri.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang aman dan memberdayakan bagi generasi muda untuk mengembangkan potensi diri secara utuh, termasuk kemampuan berpikir kritis, berempati, dan menyelesaikan konflik secara konstruktif. Memasukkan simbol-simbol militer, yang identik dengan hierarki, kepatuhan tanpa tanya, dan potensi kekerasan, berisiko menggeser fokus pendidikan dari pengembangan nalar dan kemanusiaan menjadi penekanan pada disiplin eksternal yang kaku.
Hal ini perlu dibahas secara mendalam karena implikasinya jangka panjang terhadap karakter dan kualitas sumber daya manusia bangsa. Jika generasi muda terbiasa dengan penyelesaian masalah melalui demonstrasi kekuatan, bagaimana mereka akan mengembangkan kemampuan negosiasi, mediasi, dan pemahaman akar masalah secara mendalam?
Paulo Freire, seorang pemikir pendidikan yang jauh dari hiruk pikuk barak militer, pernah mengingatkan kita tentang ‘pendidikan gaya bank’. Sebuah sistem di mana murid dipandang sebagai bejana kosong yang dijejali pengetahuan dari atas. Sebangun dengan kebijakan ini, dengan aura kekerasan yang inheren dalam simbol-simbol militer, justru memperkuat bayangan itu.
Alih-alih mengajak para pelajar untuk merenungkan sebab dan akibat untuk bersama-sama mencari akar masalah tawuran yang mungkin bersemi dari ketidakadilan atau frustrasi, kita seolah hendak membungkam mereka dengan kehadiran otoritas yang angkuh dan tak terbantahkan.
GAGASAN YANG MEMATIKAN GAGASAN
Para ahli pendidikan zaman ini, yang memahami betul peta persaingan global, tentu akan mengerutkan dahi. Dunia hari ini membutuhkan manusia-manusia yang lentur, yang mampu berpikir kritis, berkolaborasi, dan berinovasi.
Sekolah seharusnya menjadi taman persemaian bagi benih-benih gagasan, bukan barak latihan yang menuntut kepatuhan tanpa tanya. Bagaimana mungkin kita berharap lahir sumber daya manusia unggul jika ruang belajar diwarnai oleh ketegangan dan rasa takut, bukan oleh kebebasan untuk bertanya dan bereksperimen?
Mungkin kita perlu menarik napas sejenak dan merenungkan: apa yang sebenarnya kita inginkan dari pendidikan? Apakah sekadar ketertiban semu yang dipaksakan dari luar, ataukah kedewasaan berpikir dan bertindak yang tumbuh dari pemahaman dan kesadaran diri? Membawa militer ke sekolah, atau pelajar ke barak, alih-alih menumbuhkan kesadaran, justru berpotensi menanamkan benih ketakutan dan ketergantungan pada kekuatan eksternal.
Tawuran pelajar adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan yang holistik. Ia mungkin berakar pada masalah keluarga, lingkungan sosial, atau bahkan kurikulum pendidikan yang kurang relevan. Menyelesaikan simtom dengan menghadirkan kekuatan militer sama halnya dengan mengobati demam tanpa mencari tahu penyebab infeksinya. Ia mungkin meredakan panas sesaat, tetapi penyakitnya akan terus menggerogoti.
Kita berharap, tentu saja, para pengambil kebijakan sudi menoleh ke belakang, membaca kembali risalah-risalah tentang pentingnya dialog dan pembebasan dalam pendidikan. Kita juga berharap mereka mau mendengar suara para ahli yang memahami bahwa masa depan bangsa ini bertumpu pada generasi muda yang cerdas, kreatif, dan memiliki nalar kritis, bukan pada generasi yang terbiasa dengan komando dan kepatuhan buta. Apalagi kita kerap menggunakan jargon-jargon fantastik, seperti generasi emas, bonus demokrasi, yang semuanya itu mengerucut pada entitas orang muda.
APA YANG PERLU DIDISKUSIKAN LEBIH LANJUT?
Diskusi mengenai isu ini perlu menyentuh beberapa aspek krusial. Pertama, kita perlu mengkaji secara mendalam akar penyebab tawuran pelajar. Apakah masalah ini semata-mata persoalan kenakalan remaja, ataukah ada faktor-faktor struktural yang lebih dalam seperti ketidakadilan sosial, tekanan ekonomi, atau kurikulum pendidikan yang kurang relevan dengan kebutuhan siswa?
Kedua, kita perlu mengevaluasi efektivitas pendekatan militer dalam mengatasi tawuran. Apakah kehadiran seragam loreng benar-benar mampu menyelesaikan akar masalah, ataukah hanya menciptakan ketertiban semu yang bersifat sementara?
Pada kenyataannya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menemukan sejumlah permasalahan hingga kejanggalan dalam pelaksanaan program pendidikan karakter di barak militer tersebut. Di antaranya, pertama, ancaman tidak naik kelas. Anak-anak yang menolak mengikuti program diancam tidak akan naik kelas, yang menunjukkan adanya praktik intimidasi dan pemaksaan.
Kedua, ketidaknyamanan peserta. Banyak anak merasa tidak betah dan ingin keluar dari lokasi pelatihan, bahkan ada yang mencoba melarikan diri, meskipun tidak ditemukan kekerasan fisik.
Ketiga, dalam proses pemilihan siswa bermasalah, KPAI mempertanyakan ketidakjelasan terkait dengan penentuan siswa ‘nakal’ yang dikirim ke barak, dengan adanya kasus sekolah tanpa guru Bimbingan Konseling (BK) yang merekomendasikan siswa.
Keempat, ketidaktahuan alasan pengiriman. Sekitar 6,7% anak yang dikirim ke program tidak mengetahui alasan mereka berada di sana, menunjukkan proses seleksi peserta yang bermasalah.
Kelima, pembina belum paham perlindungan anak. Tidak semua pembina di barak memahami prinsip dasar perlindungan anak (child safeguarding), meningkatkan risiko pelanggaran hak anak dalam lingkungan semi-militer.
Keenam, absennya standard operating procedure (SOP) jaminan kesehatan. Program ini belum memiliki SOP jaminan kesehatan yang baku, serta ketiadaan tenaga medis dan ahli gizi tetap di lokasi, menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan peserta.
Aspek krusial yang ketiga dan yang paling penting, kita perlu merumuskan solusi alternatif yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan yang memanusiakan. Solusi seperti apa yang dapat memberdayakan siswa untuk menyelesaikan konflik secara damai, membangun resiliensi, dan mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri dan orang lain?
PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN
Selayaknya pendidikan merangkul kebebasan pikiran, hak untuk bertanya tanpa gentar, dan kemerdekaan untuk membentuk diri tanpa paksaan indoktrinasi. Barak, dengan disiplinnya yang kaku dan kepatuhan yang membutakan, justru mengancam filamen-filamen halus kemanusiaan itu, yaitu aspek-aspek psikologis, emosional, intelektual, dan spiritual yang esensial bagi perkembangan seorang individu yang beradab, dan memiliki kualitas kemanusiaan yang mendalam, mereduksi potensi anak menjadi barisan serdadu kecil yang bergerak atas komando, bukan atas kesadaran yang tumbuh dari pemahaman dan kebebasan memilih.
Sebab, pendidikan yang sejati adalah upaya memanusiakan manusia, bukan menjadikannya barisan serdadu yang siap bergerak tanpa bertanya. Dan ruang belajar seharusnya menjadi tempat di mana akal budi bertumbuh subur, bukan tempat di mana ketakutan bersemi. Semoga kita semua masih memiliki cukup kearifan untuk membedakan keduanya.
SAP memungkinkan investor untuk tidak hanya meraih imbal hasil, tapi juga ikut mendukung pendidikan anak-anak di daerah terpencil.
Sebanyak 45 jurnalis menerima BRI Fellowship Journalism 2025 untuk jenjang S2.
PENDIDIKAN yang berkualitas merupakan fondasi utama dalam membangun bangsa yang unggul. Dalam konteks itu, guru memegang peran sentral dalam dunia pendidikan.
DALAM beberapa tahun terakhir, konsep pembelajaran mendalam (PM) semakin mendapat perhatian dalam dunia pendidikan.
PERJALANAN studi ke Sydney pada 25 Mei-1 Juni 2025 memberikan saya kesempatan berharga untuk menyelami langsung sistem pendidikan Australia.
Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq mengajak semua pemangku kepentingan, terutama pemda dan dinas pendidikan, untuk bersama menguatkan sinergi untuk menyukseskan SPMB.
KOMPETISI bola voli profesional Pertamina Proliga 2015 akan dimulai di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (6/2) hingga Minggu (8/2) mendatang
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved