Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Haruskah Tunggu Publik Berteriak Baru Kemudian Bertindak

Eko Suprihatno, Editor Harian Media Indonesia
12/2/2023 21:00
Haruskah Tunggu Publik Berteriak Baru Kemudian Bertindak
Eko Suprihatno, Editor Harian Media Indonesia(MI/Iis)

INGATAN publik tentu masih belum sirna ketika aparat Kepolisian Polda Metro Jaya menetapkan almarhum Muhammad Hasya Attalah Syaputra sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, 6 Oktober 2022.

Sontak hal itu memantik kegaduhan publik. Mereka mulai meradang karena kecelakaan yang melibatkan purnawirawan polisi AKBP Eko Setio Budi Wahono tersebut seperti ada yang disembunyikan. Keluarga korban yang awalnya bisa menerima musibah tersebut akhirnya menuntut Kepolisian untuk membuka kembali kasus.

Dukungan media massa dan juga kencangnya suara di media sosial (medsos) tak urung membuat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan penyelidikan kembali. Entah apa jadinya kalau publik tidak  ikut campur menekan institusi ini.

Terbukti, ketika dilakukan rekonstruksi kembali, Polda Metro Jaya akhirnya mengakui ada maladministrasi dalam penetapan mahasiswa Universitas Indonesia itu sebagai tersangka. Maladministrasi dalam proses penetapan tersangka inilah yang berujung sidang kode etik terhadap penyidik. 

Kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko di Jakarta, Kamis (9/2), Adanya maladministrasi itulah yang membuat sidang kode etik digelar. Bahkan sidang sudah dilakukan pada Selasa (7/2). Sayangnya, Trunoyudo masih belum mengungkapkan hasil dan berapa penyidik yang menjalani sidang tersebut. Pengungkapan adanya sidang kode etik itu diungkapkan Trunoyudo di Tangerang Selatan, Banten, Senin (6/2) dan sudah sesuai Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Kita tentu bisa bernafas lega ketika status tersangka almarhum Harsya direkomendasikan dicabut, dan nama baiknya dipulihkan. Tetapi yang bikin gemas adalah ketika publik menganggap Kepolisian seperti menunggu tekanan bertubi-tubi baru kemudian bergerak. Kita tentu masih belum lupa kasus pembunuhan Brigadir J yang ketika itu mereka seperti mengistimewakan PC, istri mantan Kadiv Propam Polri Irjen FS. PC tidak ditahan hanya karena alasan kemanusiaan dan punya anak kecil yang masih butuh pengasuhan.

Menahan atau tidak menahan seorang tersangka adalah penilaian subjektif penyidik, dan itu dibenarkan. Hanya saja publik menilai alasan terhadap PC bisa dibilang mengada-ada. Terbukti di platform-platform medsos warganet langsung menyodorkan beragam kasus pidana yang menimpa perempuan, dan yang bersangkutan ditahan walau memiliki anak kecil. Kalau sudah begini, ya, jangan salahkah publik bila kemudian beranggapan Kepolisian punya diskresi mengistimewakan sesuatu bila menyangkut korps dan keluarganya.

Mengulik kembali peristiwa yang menimpa Hasya, bisa dibayangkan bagaimana kondisi psikologis keluarga ketika anak mereka yang sudah di liang kubur saja masih bisa ditetapkan sebagai tersangka. Di sejumlah media massa terungkap seperti dikatakan Dwi Syafira, ibunda Hasya, purnawirawan tersebut terkesan menantang ketika ditanyakan siapa yang menabrak anak mereka.

Fakta maladministrasi seperti yang diungkapkan Kombes Trunoyudo itu apakah lantas mengalihkan status tersangka kepada sang purnawirawan? Barangkali masih dini untuk diterapkan karena hal tersebut merupakan urusan penyidik sebagai pemilik kewenangan. Sama berwenangnya ketika mereka melabelkan Hasya sebagai tersangka. Penyidik Polres Jakarta Selatan beralasan penetapan tersebut sebagai akibat Hasya tidak bisa mengendalikan sepeda motornya, dan kemudian terjatuh. Ia tewas akibat terlindas mobil SUV yang dikendarai sang purnawirawan.

Ketika aparat mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Perkara Nomor B/42/i/2023 kepada keluarga korban pada Senin (16/1), saat itulah diketahui Hasya menjadi tersangka. Penetapan itu sungguh ajaib karena Pasal 77 KUHP telah menggariskan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia. Logikanya, manusia hidup yang jadi tersangka saja kalau kemudian meninggal, perkaranya diakhiri.

Pascakasus FS seperti dilansir mediaindonesia.com, Jumat (3/2), citra Kepolisian memang ambruk walau tak mencapai titik nadir. Kredibilitas mereka terjun bebas. Seperti diunggah dataindonesia.id (21/10/2022), berdasarkan hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan publik kepada Polri mulai mengalami penurunan sebesar 2% poin dari 72% menjadi 70% pada Agustus 2022. Angkanya kemudian anjlok hingga 17% poin menjadi 53% pada Oktober 2022. Langkah cepat Kepolisian berbenah akhirnya mulai menampakkan hasil lumayan bagus. Hal itu terlihat ketika Desember 2022, survei menunjukkan tingkat kepercayaan publik mencapai 62,4%.

Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, lembaga ini memang yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Seperti termaktub dalam Pasal 14 (1); Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas; Huruf G; Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kita sepakat bahwa Kepolisian tak boleh dilemahkan. Kita juga sepakat bahwa Kepolisian harus menjadi lembaga yang mengayomi masyarakat.Semoga beragam peristiwa yang terjadi membuat aparat Kepolisian bertindak profesional dan proporsional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya