Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Evaluasi Kebijakan Stunting

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
05/1/2023 05:30
Evaluasi Kebijakan Stunting
Ilustrasi MI(MI/Duta)

UPAYA penurunan stunting dilakukan dengan membuat peraturan baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten. Telah dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting yang menjadi landasan peraturan-peraturan di level pemerintah provinsi (pemprov) dan pemerintah kabupaten (pemkab). Implementasinya di lapangan ialah pembentukan tim percepatan penurunan stunting (TPPS) yang bersifat lintas sektor.

Selain membuat peraturan, pemerintah menggelontorkan dana untuk upaya penurunan stunting. Pada 2022 pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung program percepatan pencegahan stunting. Dana tersebut terdiri dari Rp34,1 triliun yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga, Rp8,9 triliun pemerintah daerah melalui dana alokasi khusus (DAK) fisik, dan Rp1,8 triliun DAK nonfisik.

Data terkait dengan stunting harus merupakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu sesuai dengan Perpres No 39 Tahun 2019 yang mengatur satu data Indonesia. Penyelenggaraan satu data Indonesia itu bertujuan memperoleh data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses dan dibagipakaikan, serta diperlukan. Data prevalensi stunting di Indonesia bersumber pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), dan Elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM). 

Pengumpulan data status gizi oleh tim SSGI melalui proses training enumerator (pengumpul data) terlebih dahulu. Enumerator yang dapat berpartisipasi harus memenuhi syarat pendidikan minimal D-3 gizi atau S-1 kesehatan/gizi. Para enumerator diberi pelatihan tentang kalibrasi, presisi, dan akurasi pengukuran status gizi (tinggi badan dan berat badan).

Sementara itu, E-PPGBM mengandalkan data yang dikumpulkan kader gizi di lapangan dan standardisasi alat ukur antropometri dinilai masih minim. Itulah sebabnya terdapat perbedaan prevalensi status gizi antara data versi SSGI dan data E-PPGBM; prevalensi stunting versi E-PPGBM umumnya lebih rendah kalau dibandingkan dengan versi SSGI.

Konvergensi stunting ialah intervensi yang dilakukan secara terkoordinasi, terpadu, dan bersama-sama menyasar kelompok sasaran prioritas. Konvergensi penanganan stunting level rumah tangga perlu mendapat perhatian khusus, bukan hanya konvergensi level wilayah (kabupaten/kecamatan/desa). Berdasarkan Studi Baseline Intervensi Stunting di Karawang (Khomsan 2022), diketahui bahwa program gizi sensitif pada konvergensi level rumah tangga masih cukup lemah.

Hal itu ditandai dengan rendahnya angka persentase keluarga balita stunting yang menerima program gizi sensitif di dua desa di Karawang. Hanya sebesar 2,4% keluarga balita stunting yang menerima bantuan penyediaan air bersih, 4,7% penerima bantuan bibit KRPL (kawasan rumah pangan lestari), 4,7% penerima program bantuan jamban sehat, 9,4% penerima PKH (Program Keluarga Harapan), dan 23,5% penerima BLT (bantuan langsung tunai).

 

Lesson learned

Keluarga balita stunting yang menerima bantuan program gizi sensitif harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria yang dimunculkan berfokus pada kemiskinan dan tidak secara spesifik menyebutkan rumah tangga dengan anak stunting sebagai calon penerima manfaat.

WHO (2000) menyatakan bahwa apabila suatu negara memiliki penderita malanutrisi sejumlah 15% atau lebih, bantuan makanan tambahan harus diberikan kepada bayi dan balita (terutama dari keluarga miskin). Saat ini di Indonesia prevalensi underweight 17% dan stunting 24,4% (SSGI 2021). Oleh karena itu, pemberian program bantuan makanan perlu difokuskan pada bayi dan balita.

Terdapat beberapa program yang dapat dijadikan lesson learned terkait dengan program penurunan stunting, contohnya inovasi di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, yang mengimplementasikan program pemberian makanan tambahan (PMT) terfokus kepada balita stunting dan ibu hamil KEK (kurang energi kronis) selama 90 hari berturut-turut, berdasarkan Peraturan Bupati Sinjai Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting di Desa.

Lesson learned selanjutnya ialah dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Pemkab Karawang mewajibkan seluruh kepala organisasi perangkat daerah (OPD), termasuk camat, menjadi bapak asuh bagi anak stunting dengan menyumbangkan dana sebesar Rp450 ribu per bulan per anak stunting dan tiap kepala OPD dan camat menjadi bapak asuh untuk 10 anak stunting.

Bantuan makanan untuk anak stunting dapat berupa pemberian telur tiap hari selama enam bulan. Pemberian telur dapat dijadikan sebagai makanan tambahan yang dapat mengentaskan warga dari prevalensi stunting pada anak hingga 47%, prevalensi underweight turun 74%, dan konsumsi makanan manis di kalangan anak juga turun (Ianotti et al, 2017).

Intervensi bantuan telur sebutir sehari kepada anak stunting hanya memerlukan Rp750 ribu/anak/tahun. Bila jumlah anak stunting per desa 40 anak, hanya dibutuhkan dana Rp30 juta/tahun atau 3% dari dana desa yang rata-rata sebesar Rp1 miliar per desa.

Faktor risiko stunting

dapat disebabkan anemia pada remaja putri dan ibu hamil. Prevalensi anemia di Indonesia sejak 2007 selalu mengalami peningkatan. Pada 2018 prevalensi anemia remaja putri mencapai 32%. Tingginya angka anemia pada remaja memerlukan perhatian khusus. Salah satu program pemerintah yang dilaksanakan untuk menekan angka anemia ialah pemberian tablet tambah darah (TTD). Akan tetapi, implementasi program pemberian TTD menemukan beberapa tantangan, di antaranya siswi (remaja putri) tidak mau mengonsumsi TTD sehingga terbuang mubazir dan monitoring kepatuhan minum TTD di kalangan siswi tidak dilakukan secara baik oleh guru.

Solusi yang dapat diterapkan untuk perbaikan program pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri ialah melakukan program sarapan bersama dan sekaligus minum TTD di sekolah seminggu sekali. Selain itu, sebagian dana BOS mungkin bisa dialokasikan untuk mendukung program TTD sehingga guru tergugah untuk menyukseskan program itu.

Selain anemia pada remaja, anemia pada ibu hamil masih menjadi sorotan. Anemia pada ibu hamil merupakan kekurangan berbagai macam zat gizi mikro yang menyebabkan masalah dalam kehamilan dan berpengaruh terhadap outcome kehamilan. Perbaikan status besi dengan pemberian suplementasi zat besi perlu penambahan zat gizi lainnya (multivitamin) karena penyebab anemia tidak hanya disebabkan defisiensi zat besi, tetapi juga oleh rendahnya zat gizi mikro seperti asam folat, vitamin A, vitamin B12, vitamin C, dan riboflavin. Anemia pada ibu hamil dapat diatasi dengan pemberian suplementasi zat multigizi. Ibu hamil yang sehat akan mengurangi risiko anak lahir stunting (panjang badan lahir <48 cm).

Target penurunan stunting menjadi 14% pada 2024 ialah pekerjaan rumah yang tidak ringan. Perlu upaya luar biasa untuk menjadikan isu stunting sebagai persoalan bangsa. Untuk itu, optimalisasi berbagai program harus dikawal dengan ketat agar waktu yang tersisa dapat digunakan sebaik-baiknya untuk melaksanakan program pengentasan warga dari stunting.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya