Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Menggagas Kampanye Digital

Cecep Darmawan Guru Besar Ilmu Politik dan Pengurus Pusat Kajian Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Universitas Pendidikan Indonesia
25/9/2020 03:00
Menggagas Kampanye Digital
(Dok. Pribadi)

KONTROVERSI kampanye pilkada serentak di masa pandemi kian menguat. Sorotan publik tidak hanya tertuju pada kesiapan kampanye pilkada, tetapi faktanya beberapa punggawa di KPU juga terpapar covid-19.

Kini pilkada di masa pandemi seakan anomali. Utamanya, karena regulasi yang dikeluarkan KPU justru memperbolehkan bentuk-bentuk kegiatan kampanye yang sangat rentan terhadap penyebaran covid-19.

Dalam Pasal 57 PKPU No 6 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah PKPU Nomor 10 Tahun 2020 dinyatakan bahwa kampanye pemilihan serentak lanjutan dapat dilaksanakan dengan metode (a) pertemuan terbatas, (b) pertemuan tatap muka dan dialog, (c) debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon.

Selanjutnya, (d) penyebaran bahan kampanye kepada umum, (e) pemasangan alat peraga kampanye, (f ) penayangan iklan kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, dan lembaga penyiaran publik atau lembaga penyiaran swasta, dan/atau (g) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut, dalam Pasal 63 ayat (1) PKPU No 10 Tahun 2020 dinyatakan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g dapat dilaksanakan dalam bentuk (a) rapat umum, (b) kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik. Lalu, (c) kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai dan/atau sepeda santai, (d) perlombaan, (e) kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah, (f) peringatan hari ulang tahun partai politik, dan/atau (g) melalui media sosial.

Sementara itu, ayat (2) menyebutkan bahwa kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f dilakukan dengan membatasi jumlah peserta yang hadir paling banyak 100 orang dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019 (covid-19). Selain itu, juga berkoordinasi dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan/atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (covid-19) setempat.

Ketentuan-ketentuan jenis kampanye tersebut mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Kampanye konvensional seperti diuraikan dalam regulasi PKPU itu sangat berbahaya meski jumlah peserta kampanye dibatasi. Persoalannya, menyangkut penegakan aturan dan persoalan disiplin para penyelenggara, parpol, kandidat, dan simpatisan.

MI/Seno

Ilustrasi MI

 


Klaster baru

Kerentanan penyebaran covid-19 di masa pandemi ini menjadi keniscayaan. Beberapa klaster baru di institusi pemerintah justru bermunculan. Publik khawatir pelaksanaan pilkada dapat menjadi klaster baru penyebaran covid-19 secara masif.

Peraturan KPU pada dasarnya merujuk ketentuan UU No 6 Tahun 2020 yang masih memperbolehkan adanya bentuk- bentuk kampanye konvensional tersebut. Dalam UU No 6 Tahun 2020 hanya mengatur persoalan terkait dengan penundaan tahapan proses pelaksanaan dan pemungutan suara dalam Pilkada serentak 2020.

Oleh karenanya, secara eks plisit dalam UU No 6 Tahun 2020 tidak melarang berbagai bentuk kampanye sebagaimana diperinci dalam Peraturan KPU.

Persoalan lainnya ialah berbagai peraturan perundang- undangan pilkada belum meng adopsi, mengadaptasi, dan menyelaraskan dengan kondisi pandemi covid-19 secara integratif dan komprehensif.

Pasal 11 ayat (1) PKPU No 6 Tahun 2020 menjelaskan bahwa setiap penyelenggara pemilihan, pasangan calon, tim kampanye, penghubung pasangan calon, serta para pihak yang terlibat dalam pemilihan serentak lanjutan wajib melaksanakan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian covid-19, sekurangkurangnya berupa penggunaan masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu. Menyangkut sanksinya, Pasal 11 ayat (2) menegaskan bahwa apabila terdapat pihak yang melanggar kewajiban tersebut, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, atau PPS berhak memberikan teguran kepada pihak yang bersangkutan untuk mengikuti ketentuan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian covid-19.

Sementara itu, Pasal 11 ayat (3) menegaskan bahwa apabila pihak yang bersangkutan telah diberikan teguran, tetapi tidak melaksanakan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian covid-19, KPU provinsi, KPU kabupaten/ kota, PPK, atau PPS berkoordinasi dengan Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/ kota, Panwaslu kecamatan, atau Panwaslu kelurahan/ desa untuk mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan peruundang-undangan.

Ketentuan-ketentuan di atas belum menunjukkan pengaturan sanksi secara rinci, detail, jelas, dan tegas terkait dengan pelanggaran protokol kesehatan dalam pelaksanaan pilkada. Bahkan, KPU seakan-akan hanya menyerahkan kewenangan sanksi kepada Bawaslu. Padahal, Bawaslu tidak akan bisa menyimpulkan rekomendasi sanksi yang dapat ditindaklanjuti KPU, jika berbagai jenis sanksi tersebut tidak diatur dalam PKPU secara tegas.


Revisi

Berdasarkan problematik tersebut, ada beberapa saran kepada pemerintah ataupun DPR sebagai pembentuk UU untuk segera melakukan revisi terhadap UU No 6 Tahun 2020 sehingga dapat mengatur pelaksanaan kampanye pilkada yang memperhatikan protokol kesehatan secara rinci dan tegas. Itu karena jika hanya dilakukan revisi terhadap PKPU, belum cukup kuat untuk mengatur regulasi pelaksanaan kampanye di masa pandemi.

Bahkan, jika hanya melakukan revisi terhadap PKPU terkait dengan aturan kampanye justru berpotensi bertentangan dengan UU No 6 Tahun 2020. Oleh karena itu, para pembentuk UU harus bekerja sama dengan berbagai pihak lainnya untuk merevisi regulasi kampanye yang mampu beradaptasi dengan kondisi pandemi covid-19.

Di samping itu, penyelenggara pemilu harus merumuskan model kampanye pe milu yang tepat sesuai dengan kondisi pandemi covid-19. Hal ini penting guna mencegah penyebaran covid-19 sehingga pelaksanaan pilkada tidak menimbulkan klaster baru yang masif.

Penyelenggara ataupun peserta pemilu dapat memaksimalkan model kampanye digitial (digital campaign) dengan memanfaatkan berbagai platform digital seperti media sosial. Selain itu, berbagai pihak juga dapat memanfaatkan saluran media massa, seperti surat kabar, radio, dan televisi untuk melakukan kampanye ataupun sosialisasi kepada masyarakat.

Melalui berbagai platform media sosial itu, penyelenggara dapat melakukan sosialisasi sekaligus edukasi atau pendidikan politik kepada masyarakat terkait pilkada.

Begitu pun para kandidat dan parpol pendukung melakukan kampanye digital secara cerdas, efektif, dan efisien melalui media sosial ataupun media massa. Dengan demikian, dibutuhkan pendekatan, strategi, dan inovasi para peserta pemilu dalam pelaksanaan kampanye pilkada.

Hal ini penting agar keselamatan berbagai pihak, baik penyelenggara, peserta atau bakal calon, maupun masyarakat pendukung dapat terjaga. Dengan demikian, pesan politik berupa visi, misi, dan program dari para calon kepala daerah dapat tersampaikan secara efektif. Selain itu, pelaksanaan pilkada pun berjalan dengan sukses dan rakyat selamat.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya