Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Korban Penganiayaan Bantah Lakukan Pemerasan

Yohanes Manasye
26/3/2021 11:55
Korban Penganiayaan Bantah Lakukan Pemerasan
Kapolres Manggarai Barat AKB Bambang Hari Wibowo(Dok Polres Manggarai Barat )

YOSEF Sudirman Bagu, korban penganiayaan oknum tentara dan polisi di Siri Mese, Desa Golo Poleng, Kecamatan Ndoso pada Selasa (16/2) lalu, membantah pernyataan Kapolres Manggarai Barat AKBP Bambang Hari Wibowo. Sebelumnya, dalam konferensi pers yang digelar di Labuan Bajo, Jumat (19/3) lalu, Bambang menyebut pihaknya tengah mendalami empat laporan polisi (LP) terkait Yosef. Salah satunya adalah dugaan pemerasan senilai Rp 150 juta terhadap pelaku penganiayaan. 

"Saya ini korban penganiayaan. Tidak mungkin saya yang menjadi korban ini melakukan pemerasan terhadap para pelaku yakni tentara, polisi, dan kepala desa," ujar Yosef, Kamis (25/3). 

Korban menyebutkan, saat ini sedang berlangsung upaya mediasi antara dirinya dengan pihak pelaku. "Tetapi yang menginginkan mediasi, yang berupaya melakukan pendekatan agar masalah ini diselesaikan secara damai adalah para pelaku," katanya. 

Yosef tegaskan, pihaknya menghargai niat pelaku untuk berdamai. Tetapi jika upaya tersebut dilakukan tanpa ketulusan dan justru menekan korban, ia lebih bersemangat lagi untuk terus mendorong kasus tersebut diselesaikan secara hukum.  Sebelumnya pengacara korban, Mensi Anam, menduga indikasi pemerasan yang disampaikan Kapolres Bambang merupakan "wunis peheng" yang menjadi salah satu syarat perdamaian secara adat Manggarai. 

Jika hal itu yang dimaksudkan sebagai pemerasan, Kapolres dinilai gegabah dan diduga menyampaikan sesuatu dengan mengacu pada informasi yang tidak utuh dari anak buahnya. 

Dalam budaya Manggarai, wunis peheng menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam ritus perdamaian. Wunis peheng merupakan denda pada pelaku demi menyembuhkan korban yang terluka fisik dan psikisnya serta tercoreng nama baiknya. Wujud wunis peheng berupa uang dan ternak yang jumlahnya bisa dinegosiasikan. 

Mensi menjelaskan, upaya mediasi dan tawaran wunis peheng pertama kali muncul saat pertemuan perwakilan korban dengan pelaku di Polsek Kuwus pada Jumat (5/3). Saat itu, Camat Ndoso Fransiskus Tote sebagai tokoh yang dituakan oleh Kepala Desa, tentara, dan polisi, hadir sebagai mediator. 

Setelah menyampaikan permohonan maaf kepada korban yang diwakili keluarga dan pengacara, mediator menyebutkan wunis peheng berupa uang Rp15 juta dan kambing tiga ekor. Untuk mencapai angka itu, masing-masing pihak pelaku menyediakan uang Rp5 juta dan satu ekor kambing. 

"Omong wunis peheng itu dimulai dari mulut mediator dengan menyampaikan bahwa TNI siapkan (uang) 5 juta dan 1 ekor kambing, polisi siapkan 5 juta dan satu ekor kambing, kepala desa menyiapkan 5 juta dan 1 ekor kambing," ujar Mensi. 

Proses mediasi tersebut tidak mencapai kesepakatan karena pihak korban menuntut pelaku harus membayar Rp150 juta. Selain itu, mediasi saat itu tidak dihadiri oleh semua pihak yang bermasalah. 

Kemudian mediasi berikutnya berlangsung di rumah keluarga korban di Ruteng, Manggarai. Lagi-lagi tidak mencapai kesepakatan karena pihak pelaku masih mempertahankan angka wunis peheng Rp15 juta meskipun pihak korban sudah menurunkannya menjadi Rp50 juta. 

Gagalnya kesepakatan saat itu, juga disebabkan karena tidak semua pelaku hadir untuk menyampaikan permintaan maaf dan mengakui kesalahan. Apalagi salah seorang pelaku, yakni polisi Bili Morgan menekan korban dengan menyebutkan pihaknya melakukan penganiayaan karena korban melakukan perlawanan terhadap aparat. Hal tersebut sontak membuat korban marah. 

"Kalau yang dimaksudkan (oleh Kapolres sebagai pemerasan) adalah mendiskusikan angka 150 juta atau 50 juta yang terakhir, menurut saya tidak pas. Kalau dalam konteks mediasi, menurut saya tidak memenuhi unsur pemerasan," kata Mensi. 

Menurut Mensi, pihak korban tidak ngotot dengan permintaannya terkait angka wunis peheng. Namun ia menuntut ketulusan para pelaku untuk menyadari kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf. 

baca juga: Gereja Akan Adukan Penganiayaan Warga ke Komnas HAM

"Bahwa wunis peheng dalam adat Manggarai itu merupakan bagian terakhir dari perdamaian. Tetapi pertama itu pengakuan bahwa kami bersalah, omong tentang permintaan maaf dan mereka bercengkerama dalam keintiman untuk memulihkan nama baik di antara para pihak," jelas Mensi. 

Mensi mengaku, para pelaku terus berupaya mendekati korban agar persoalan tersebut diselesaikan di luar proses hukum. Ia menyebut pihak yang paling sering membangun komunikasi untuk mendorong mediasi adalah Kodim 1612/Manggarai. Meski ada ruang mediasi yang telah dibangun selama ini, pihak korban akan tetap siap menempuh jalur hukum jika proses tersebut tidak mencapai kesepakatan.
(OL-3)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya