Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Saat Madu Tak Lagi Berasa Manis

Denny Susanto
17/3/2021 09:51
 Saat Madu Tak Lagi Berasa Manis
Proses memanen madu oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan Selatan.(MI/Denny Susanto)

CUACA berangsur membaik. Hujan yang turun sejak pagi hari perlahan mulai berhenti. Rombongan kecil keluarga Suku Dayak dari Desa Alat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang sempat berteduh di sebuah pondok (pehumaan) ladang kembali melanjutkan perjalanan.
           
Setelah berjalan lebih dari setengah jam memasuki kawasan hutan Pegunungan Meratus, rombongan keluarga ini berhenti di dekat sebuah pohon berukuran besar. Rupanya mereka telah menemukan apa yang mereka cari yaitu sarang lebah hutan. Sementara anggota rombongan lain membersihkan belukar di sekitar akar pohon,  

Darsani terlihat komat kamit merapal bacaan mantra sembari sesekali melihat ke atas dahan pohon setinggi belasan meter tempat lebah bersarang. Usai membaca mantra Darsani meniupkan ke tanah, kemudian mengambil segenggam tanah dan ditempelkan ke pohon tempat lebah bersarang.

"Mantra ini kami sebut mengambil hakikat ke bumi. Bacaan mantra atau doa-doa khusus ini untuk perlindungan agar lebah tidak menyengat saat kita memanen madu. Lebah tidak akan bergerak jika bumi tidak bergerak," ujarnya.

Kegiatan panen (memuai) madu kali ini Darsani membawa serta anak laki-laki nya yang mulai beranjak dewasa, Sahrani, 21. Bagi masyarakat suku dayak meratus, seorang laki-laki dewasa harus memiliki banyak kebisaan selain berburu dan berladang termasuk memanen madu.

Ini merupakan pengalaman sekaligus pelajaran pertama bagi Sahrani memanen madu. Usai mempersiapkan peralatan panen, seperti lantak (ember) dan akar carikan (tanaman menjalar yang kulitnya dijadikan tali), Sahrani pun bergegas memanjat pohon. Sebelumnya mereka terlebih dahulu membuat api unggun menggunakan ranting pohon dan haduk sejenis serabut pohon enau untuk mengusir lebah dari sarangnya.

Madu hutan terus berkurang

Tak banyak madu dari lebah hutan yang bisa dipanen keluarga Darsani kali ini. Cuaca buruk dan rusaknya hutan menjadi penyebab semakin berkurangnya hasil panen madu hutan. Pohon-pohon hutan Meratus tidak berbunga sehingga tak ada nektar yang bisa dihisap lebah untuk dijadikan madu.

Biasanya panen madu ini dilakukan pada penghujung tahun bulan Oktober-Nopember seiring dengan mulai berbunganya pohon-pohon hutan dan dilanjutkan dengan datangnya musim buah-buahan lokal dari hutan meratus. Namun dalam beberapa tahun terakhir musim panen madu menjadi tak menentu.

"Lebah umumnya membuat sarang di dahan pohon damar, mangaris, loa gunung, durian bahkan jengkol. Dulu dalam satu pohon beberapa sarang madu dan hasil madunya tiap sarang bisa mencapai 10-15 liter. Sekarang ini madu sulit dicari dan hasilnya pun sedikit," ujar Sahran.

baca juga: Brebes Punya Gudang Bawang Merah Agar Bawang Tidak Cepat Busuk

"Tahun ini buah-buahan lokal tidak banyak berbuah karena kondisi cuaca buruk. Ini juga berpengaruh pada produksi madu alam," ungkap Irvan, Kepala Seksi Pemasaran dan Pengolahan Hasil Hutan dan PNBP Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan.

Mencari madu hutan menjadi penghasilan tambahan bagi masyarakat yang bermukim di Pegunungan Meratus, selain mata pencaharian utama mereka berladang dan berkebun. Beragam komoditas hasil hutan dari Pegunungan Meratus berupa pisang, karet, kemiri, kayu manis, durian dan buah-buahan lokal lainnya. Anomali iklam serta kerusakan lingkungan seolah membuat rasa madu yang tak lagi berasa legit. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya