Seremonial Tak Cukup, PSI Minta Pemprov DKI Bongkar Akar Tawuran

Mohamad Farhan Zhuhri
04/8/2025 21:09
Seremonial Tak Cukup, PSI Minta Pemprov DKI Bongkar Akar Tawuran
Personel Kepolisian (kanan) memeriksa isi tas siswa SMA yang berkendara tidak menggunakan helm saat melintasi Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur.(ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dinilai belum menyentuh akar persoalan dalam upaya meredam maraknya aksi tawuran di ibu kota. 

Meski berbagai langkah teknis telah dijalankan, pendekatan yang dominan bersifat seremonial dan keagamaan dinilai hanya menjadi penahan sementara, bukan penyelesai masalah.

“Pak Pram itu sudah mengambil langkah-langkah teknis, tapi kalau kita runut penyebab tawuran, itu pertama adalah kemiskinan. Enggak ada anak orang kaya yang tawuran di jalanan,” ujar Anggota DPRD DKI dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Justin Adrian Untayana, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (4/8).

Justin menyebut ada tiga faktor utama yang selama ini mendorong aksi tawuran di kalangan remaja Jakarta. 

Selain faktor ekonomi dan tradisi, kini muncul motif baru seperti konten media sosial. Di era digital, kekerasan bahkan menjadi komoditas tontonan demi eksistensi daring.

Lebih lanjut, Justin menyampaikan, berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa tekanan sosial dan kondisi hunian menjadi pemicu laten. Ia mencontohkan seorang remaja yang terlibat tawuran dini hari karena tak bisa beristirahat di rumahnya yang sempit dan penuh sesak.

“Ini sandwich generation. Satu rumah sempit diisi banyak orang, tidur pun harus bergiliran. Ini masalah populasi, perumahan, dan tidak adanya kebijakan kontrapopulasi yang jelas,” tegas Sekretaris Komisi E itu.

Kritik PSI ini seolah menggarisbawahi bahwa pendekatan moral dan keagamaan yang kerap dikedepankan Pemprov DKI, tidak akan menyentuh struktur penyebab utama. Justin bahkan mendesak adanya pembaruan dalam kebijakan sosial, mulai dari pengendalian populasi, perbaikan perumahan, hingga penegakan tanggung jawab orang tua.

“Kegiatan agama itu bagus, positif, kita mendukung. Tapi kalau tidak atasi akar penyebab seperti kemiskinan, pengendalian populasi, perumahan, dan kontrol orang tua, tawuran nggak akan pernah berhenti,” katanya.

Ia pun mengusulkan agar Jakarta mulai berani menerapkan sanksi bagi orang tua yang lalai dalam mengawasi anaknya. Menurutnya, di negara-negara lain, pengawasan orang tua menjadi bagian dari sistem hukum sosial.

“Saya kira sudah waktunya menerapkan sanksi kepada orang tua yang abai. Kemarin di Pondok Kelapa, dini hari, anak di bawah umur menyiram air keras ke temannya. Ini butuh pengawasan ketat dari keluarga,” ujarnya.

Terkait pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Anti Tawuran oleh Pemprov DKI, PSI menyambut baik, tetapi menegaskan efektivitasnya harus dilihat dari hasil di lapangan. Ia juga menilai ancaman pencabutan Kartu Jakarta Pintar (KJP) tak lagi cukup menakutkan bagi pelaku.

“Untuk siswa-siswa, pencabutan KJP sudah tidak efektif. Mereka mati saja tidak takut. Orang tua harus memikul tanggung jawab lebih besar terhadap anak-anaknya,” ucap Justin.

Di tengah makin brutalnya aksi kekerasan remaja, PSI berharap Pemprov tak hanya terpaku pada simbolisme dan ritus pencegahan yang normatif, tapi berani menyusun ulang kebijakan sosial Jakarta dari hulunya. Karena tawuran bukan sekadar persoalan moral, ia adalah potret dari kota yang gagal membentuk ruang aman bagi remajanya. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya