Headline

Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.

SPSI Jabar Sambut Baik Gagasan Dedi Mulyadi Terkait Upah Sektoral

Naviandri
12/8/2025 19:25
SPSI Jabar Sambut Baik Gagasan Dedi Mulyadi Terkait Upah Sektoral
Unjuk rasa pekerja di depan kantor Gubernur Jawa Barat(ISTIMEWA)

GAGASAN upah sektoral yang disampaikan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi disambut baik Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jabar.

SPSI menilai langkah ini bisa menghilangkan disparitas upah di wilayah Jabar.

Sebelumnya, gubernur menilai saat ini sistem upah minimum di kabupaten/kota (UMK) sudah tidak rasional dan perlu dievaluasi.

Dedi menyoroti perbedaan UMK yang besar antar wilayah yang saling berbatasan, seperti Purwakarta dan Karawang atau Bekasi dan Bogor. Selisih upah hingga Rp500 ribu di kawasan industri yang sama memicu ketidakseimbangan dan berdampak pada mobilitas tenaga kerja maupun iklim investasi.

Atas hal itu, Ketua SPSI Jabar Roy Jinto Ferianto, Selasa (12/8) menyatakan, buruh di perusahaan-perusahaan dengan jenis industri yang sama, bisa menerima nilai upah yang sama. Kendati demikian, disparitas upah saat ini sudah terlalu jauh antar industri di daerah satu dengan yang lainnya.

“Ambil contoh di Jabar antara tertinggi Kota Bekasi yang sudah di angka Rp5 juta lebih dan yang terendah yaitu Kota Banjar di angka Rp2 juta. Maka kalau kita berbicara industri sejenis, misalkan, garmen di Bekasi menerima upah Rp5 juta lebih, garmen di Banjar menerima upah hari ini Rp2 jutaan,” paparnya.

Dia mengingatkan, rencana penerapan upah sektoral di Indonesia harus dilakukan dengan kajian yang sangat komprehensif. Kebijakan yang bertujuan menyesuaikan standar upah berdasarkan sektor industri ini bisa menjadi solusi. Namun, hal itu berisiko memicu resistensi jika tidak mempertimbangkan disparitas upah antar wilayah yang sudah terlanjur lebar.

“Jika mengambil patokan dari yang tertinggi, misalnya Rp5 juta, tentu buruh setuju. Tapi bagaimana nasib mereka yang sudah menerima di atas Rp5 juta? Apakah harus turun atau tidak naik dulu sampai yang terendah menyusul? Itu kan jadi masalah,” ungkapnya.

Menurut Roy, persoalan paling rumit ada pada penentuan dasar upah sektoral, menggunakan standar upah minimum tertinggi atau terendah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

“Kalau sektor otomotif atau garmen nasional mengambil patokan upah dari Jabar yang tinggi, pengusaha di Jawa Tengah tentu keberatan untuk langsung naik dari Rp2 juta menjadi Rp5 juta. Sebaliknya, jika patokannya diambil dari upah terendah seperti daerah di Brebes yang hanya Rp2 juta sekian, buruh di daerah yang sudah menerima Rp5 juta, pasti menolak karena berarti harus turun,” terangnya.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Sugeng
Berita Lainnya

Bisnis

Wisata
Kuliner