Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

PBB: Militer Myanmar Telah Membunuh Sekitar 70 Orang Sejak Kudeta

Atikah Ishmah Winahyu
12/3/2021 10:28
PBB: Militer Myanmar Telah Membunuh Sekitar 70 Orang Sejak Kudeta
Pengunjuk rasa berlarian usai ditembakan gas air mata(AFP)

PELAPOR khusus PBB untuk Myanmar mengecam pihak militer atas pembunuhan sedikitnya 70 orang sejak protes anti-kudeta meletus di negara itu. Penyelidik hak asasi manusia Thomas Andrews mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Kamis (11/3), Myanmar sedang dikendalikan oleh rezim yang membunuh dan ilegal.

Lebih dari setengah dari warga yang tewas berusia di bawah 25 tahun dan lebih dari 2.000 orang telah ditahan secara tidak sah sejak kudeta, kekerasan pun terus meningkat.

“Ada banyak bukti video tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat. Ada video tentara dan polisi yang secara sistematis bergerak melalui lingkungan, menghancurkan properti, menjarah toko, menangkap pengunjuk rasa dan pejalan kaki secara sewenang-wenang, dan menembak tanpa pandang bulu ke rumah-rumah orang,” kata Andrews.

Andrews menyerukan agar sanksi multilateral dijatuhkan pada para pemimpin militer senior dan sumber utama pendapatan negara, termasuk perusahaan milik militer dan perusahaan minyak dan gas Myanmar.

“Seharusnya tidak mengejutkan ada bukti yang berkembang bahwa militer Myanmar yang sama ini, yang dipimpin oleh kepemimpinan senior yang sama, sekarang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan,” tuturnya.

Beberapa jam kemudian, Myanmar menyangkal tuduhan tersebut.

"Pihak berwenang telah menahan diri sepenuhnya untuk menangani protes kekerasan," kata Sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri Chan Aye dalam video.

Baca juga: Aksi Represif Militer Myanmar Kembali Telan Korban Jiwa

Pernyataan tertulisnya juga mengatakan Myanmar sedang mengalami tantangan sangat kompleks dan menghadapi situasi yang sulit serta menegaskan kepemimpinan militer tidak ingin menghentikan transisi demokrasi yang mulai berkembang.

"Dalam hal ini, Myanmar ingin meminta pengertian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional tentang upayanya untuk menjaga kedaulatan, kemerdekaan politik, integritas teritorial, persatuan nasional dan stabilitas sosial di seluruh negeri," ujar Aye.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militernya menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Perebutan kekuasaan itu memicu protes besar-besaran di seluruh negeri.

Tentara telah membenarkan kudeta tersebut dengan mengatakan pemilu, yang dimenangkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi, telah dicurangi.

Dalam putaran terakhir bentrokan berdarah antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa pada Kamis, setidaknya tujuh orang dilaporkan tewas.

Diplomat Veteran Chan Aye pernah menjadi tangan kanan pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi, yang bertindak sebagai anggota dewan negara sebelum militer merebut kekuasaan.

"Ada pertanyaan, mengingat bahwa hatinya tidak ada dalam pidatonya, apakah dia berbicara di bawah tekanan, apakah dia takut akan pembalasan," kata James Bays dari Al Jazeera menunjuk ke nada bergumam Chan Aye.

Pernyataan diplomat itu sangat kontras dengan pidato bulan lalu yang dibuat oleh Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun yang mengecam kudeta militer, mendesak badan internasional tersebut untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk menghentikan para jenderal. Dia dipecat sehari setelahnya, sementara penggantinya mengundurkan diri segera setelah mendapat peran itu.

Pekan lalu, Andrews mendesak Dewan Keamanan PBB untuk kembali memberlakukan embargo senjata dan menyasar sanksi militer Myanmar.

Dewan Keamanan, yang mencakup pendukung tradisional utama Myanmar, Tiongkok, tidak mengindahkan seruan itu. Andrews menegaskan rakyat Myanmar tidak hanya membutuhkan kata-kata dukungan, tetapi juga tindakan yang mendukung.

“Mereka membutuhkan bantuan komunitas internasional sekarang,” tegasnya.

Andrews menyarankan negara-negara harus menemukan cara untuk memihak Dewan Keamanan yang terus-menerus diblokir dan menjatuhkan sanksi terkoordinasi.

"Keengganan beberapa negara untuk bertindak seharusnya tidak menghalangi tindakan terkoordinasi dari mereka yang ada," ujarnya.

Dia menyerukan pembentukan "Koalisi untuk Rakyat Myanmar" darurat untuk mengoordinasikan sanksi dan embargo senjata, dan juga berusaha untuk mengadili pejabat keamanan senior Myanmar di bawah yurisdiksi universal.(Aljazeera/OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya