Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

100 Hari Penolakan UU Pertanian, Petani India Blokade Jalan

Atikah Ishmah Winahyu
07/3/2021 11:01
100 Hari Penolakan UU Pertanian, Petani India Blokade Jalan
Ribuan petani India memblokade jalan tol di Kundli, negara bagian Haryana memperingati 100 hari penolakan UU Pertanian, Sabtu (6/3/2021).(Prakash SINGH/AFP)

RIBUAN petani India melakukan pemblokiran jalan tol besar-besaran di tepi New Delhi pada Sabtu (6/3) untuk menandai hari ke-100 protes terhadap undang-undang pertanian. Para petani berdiri di atas traktor dan mengibarkan bendera warna-warni sementara para pemimpin mereka meneriakkan slogan-slogan melalui pengeras suara di atas panggung darurat.

Ribuan dari mereka telah bersembunyi di luar perbatasan New Delhi sejak akhir November untuk menyuarakan kemarahan terhadap tiga undang-undang yang disahkan oleh Parlemen tahun lalu. Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan, undang-undang diperlukan untuk memodernisasi pertanian. Tetapi para petani menilai kebijakan itu akan membuat mereka lebih miskin dan bergantung pada perusahaan besar.

Samyukta Kisan Morcha, atau Front Petani Bersama, mengatakan blokade berlangsung selama lima jam.

"Bukan hobi kami memblokir jalan, tapi pemerintah tidak mendengarkan kami. Apa yang bisa kami lakukan?" kata Satnam Singh, seorang anggota kelompok itu.

Para petani tetap tidak terpengaruh bahkan setelah kekerasan meletus pada 26 Januari selama bentrokan dengan polisi yang menewaskan satu pengunjuk rasa dan ratusan lainnya luka-luka. Tapi mereka akan segera mengalami masalah.

Selama 100 hari, Karnal Singh tinggal di belakang sebuah trailer di sepanjang jalan raya arteri yang menghubungkan utara India dengan New Delhi. Dia berkemah di luar ibu kota ketika cuaca sedang musim dingin dan kabut asap. Sekarang kota ini bersiap menghadapi suhu musim panas yang terik yang bisa mencapai 45 derajat Celcius (113 Fahrenheit).

Tetapi Singh, seperti banyak petani lainnya, tidak terpengaruh dan berencana untuk tetap tinggal sampai undang-undang dicabut sepenuhnya.

"Kami tidak ke mana-mana dan akan berjuang sampai akhir," kata Singh, 60, saat duduk bersila di dalam tempat penampungan sementara di belakang truknya.

Suasana di perbatasan Singhu, salah satu lokasi protes, ramai pada hari Jumat dengan banyak petani menetap di sekitar mereka untuk jangka panjang. Dapur sup besar yang memberi makan ribuan orang setiap hari masih beroperasi. Para petani memadati kedua sisi jalan raya dan ratusan truk telah diubah menjadi kamar, dilengkapi dengan pendingin air sebagai persiapan untuk musim panas. Kipas listrik dan AC juga dipasang di beberapa trailer.

Para petani mengatakan protes akan segera menyebar ke seluruh negeri. Namun, pemerintah berharap mereka akan kembali ke rumah setelah musim panen besar di India dimulai pada akhir bulan. Karanbir Singh menepis kekhawatiran tersebut. Dia mengatakan, komunitas mereka termasuk teman dan tetangga di desa, akan cenderung bertani sementara dia dan yang lainnya melanjutkan protes.

"Kami akan saling membantu satu sama lain untuk memastikan tidak ada pertanian yang tidak dipanen," kata Singh.

Namun tidak semua petani melawan kebijakan tersebut. Pawan Kumar, seorang petani buah dan sayuran sekaligus pendukung Modi, mengatakan dia siap memberi kesempatan bagi pemerintah.

"Kalau ternyata (undang-undang) tidak menguntungkan kami, maka kami akan protes lagi," ujarnya.

"Kami akan memacetkan jalan, dan membuat protes itu semakin besar. Kemudian lebih banyak orang biasa, bahkan pekerja akan bergabung. Tapi jika ternyata bermanfaat bagi kami, kami akan menjaga mereka," lanjutnya.

Beberapa putaran pembicaraan antara pemerintah dan petani gagal mengakhiri kebuntuan. Para petani telah menolak tawaran dari pemerintah untuk menunda undang-undang tersebut selama 18 bulan, dengan mengatakan mereka menginginkan pencabutan total.

baca juga: Twitter Hanya Blokir Sebagian Akun Terkait Protes Petani India

Undang-undang tersebut tidak menjelaskan secara rinci apakah pemerintah akan terus menjamin harga untuk tanaman esensial tertentu, sistem yang diperkenalkan pada tahun 1960-an untuk membantu India menopang cadangan pangannya dan mencegah kekurangan.

Para petani juga khawatir bahwa undang-undang tersebut menandakan bahwa pemerintah akan menjauh dari sistem. Dan sebagian besar petani hanya menjual ke pasar yang disetujui pemerintah. Mereka khawatir itu akan membuat mereka bergantung pada perusahaan yang tidak memiliki kewajiban hukum lagi untuk membayar mereka dengan harga yang dijamin. (France24/OL-3)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya