Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Pandemi dan Ancaman Terhadap Demokrasi

Adiyanto
28/12/2020 17:43
Pandemi dan Ancaman Terhadap Demokrasi
Polisi berusaha melarang jurnalis mengambil gambar sidang terhadap citizen journalist, Zhang Zhan yang melaporkan terkait pandemi covid-19(Leo RAMIREZ / AFP)

SEJUMLAH langkah yang diberlakukan oleh pemerintah untuk memerangi pandemi covid-19 telah menekan kebebasan sipil di seluruh dunia. Rezim otoriter berusaha mengeksploitasi pembatasan sosial sebagai cara menopang kendali mereka atas masyarakat, kata kelompok hak asasi manusia.

Demonstrasi dikebiri, pemilihan umum ditunda, dan para aktivis mengalami represi.

Di Guinea, Afrika Barat, pemerintah melarang semua demonstrasi sampai pemberitahuan lebih lanjut dengan alasan mereka tengah memerangi covid. Di Hongaria, negara menetapkan keadaan darurat hingga Februari.

Di Nigeria, tindakan keras pemerintah terhadap mereka yang memprotes pembatasan sosial, telah menewaskan beberapa orang. Di Bolivia, pemilu ditunda selama beberapa bulan. Di Prancis, warga harus mengisi formulir sebelum diizinkan meninggalkan rumah mereka selama dua kali diberlakukannya lockdown, lebih dari tiga bulan terakhir.

Menurut Institut Internasional untuk Demokrasi dan Bantuan Pemilu (IDEA) yang berbasis di Swedia, sebanyak 61% negara pada akhir November 2020 telah menerapkan langkah-langkah untuk menekan laju penularan covid-19, yang bersinggungan dengan demokrasi dan hak asasi manusia.

"Ini melanggar standar demokrasi karena tidak proporsional, ilegal, tidak terbatas atau yang semestinya tidak perlu dalam kaitannya dengan ancaman kesehatan," katanya dalam sebuah laporan.

IDEA mengatakan kondisi meresahkan seperti itu kurang umum di negara demokrasi.

Kepala hak asasi PBB Michelle Bachelet juga telah memperingatkan hal tersebut.  “Karena ada juga kasus yang sangat mengkhawatirkan di mana pemerintah tampaknya menggunakan covid-19 sebagai kedok untuk pelanggaran hak asasi manusia."

Kelompok kebebasan pers yang berbasis di Paris, Reporters Without Borders mengatakan dalam sebuah laporan pada tahun 2020, bahwa langkah-langkah darurat yang diadopsi negara untuk mengatasi pandemi, secara nyata berkontribusi pada penutupan terhadap akses berita/informasi, dan mengakibatkan sejumlah jurnalis ditahan hingga terkadang dipenjara.

Menurut LSM AS, Freedom House, kondisi demokrasi dan hak asasi manusia telah memburuk di 80 negara sejak pandemi dimulai.

Sebagai contoh, lembaga itu mengutip Sri Lanka, di mana pemerintah mempercepat agenda otoriternya dengan mengontrol warga sipil dan memerintahkan menangkap siapa pun yang mengkritik atau bertentangan dengan kebijakan resmi pemerintah terkait virus korona.

"Kami telah melihat dalam beberapa bulan terakhir Presiden (Gotabaya Rajapaksa) mengonsolidasikan kekuasaan," ujar Bhavani Fonseka, peneliti senior di lembaga pemikir Pusat Alternatif Kebijakan di Kolombo, kepada AFP.

Di Tiongkok, tempat virus ini pertama kali muncul, pihak berwenang telah bertindak sangat koersif, dengan pembatasan ketat di berbagai area termasuk pengawasan besar-besaran dengan drone.

Di Mesir, Presiden Abdel Fattah al-Sisi yang dituduh oleh para aktivis memimpin secara otoriter lantaran telah menahan sejumlah lawan politiknya, pandemi ini menjadi kesempatan baginya untuk semakin menekan kebebasan.

"Pandemi itu hanya menawarkan kepada presiden sebuah kedok baru untuk mengesahkan dan memberlakukan undang-undang yang menindas. Selanjutnya mereka (pemerintah) akan memperkuat praktik yang sudah ada sebelumnya atau memperkenalkan kondisi baru yang lebih keras kepada warga biasa," kata peneliti Hafsa Halawa, dalam laporan bersama oleh Dewan Atlantik AS dan Lembaga pemikir ISPI Italia.

Darurat permanen

Dampak pada kebebasan tidak terbatas pada rezim otokratis. Ini juga dirasakan di negara-negara demokrasi liberal, meski dalam bentuk yang tidak terlalu mencolok.

Pembatasan sosial yang diberlakukan di sejumlah negara pada tahun ini, tidak akan terpikirkan oleh sebagian besar orang Eropa.

Keadaan darurat membawa risiko penyalahgunaan kekuasaan oleh eksekutif, bahkan mungkin tetap berlaku setelah keadaan darurat selesai. “Ini berarti pengawasan parlemen dan yudisial yang tepat, diperlukan untuk membatasi risiko,” kata parlemen Uni Eropa pada November.

Filsuf Italia Giorgio Agamben berpendapat  pemberlakuan keadaan darurat permanen secara sukarela, bahkan jika tidak dinyatakan dalam pengertian teknis,  telah menjadi salah satu praktik penting negara-negara kontemporer, termasuk yang dianggap demokratis.

Darurat kesehatan yang diumumkan di Prancis untuk memerangi pandemi dapat dibandingkan dengan keadaan darurat yang diberlakukan setelah serangan teror, kata Laureline Fontaine, profesor hukum publik di Universitas Sorbonne Nouvelle.

"Kami sudah terbiasa hidup tanpa kebebasan," katanya.

Krisis politik

Bahkan setelah vaksin atau hal lainnya berhasil meredam penyebaran virus, dampak ekonomi dari pandemi berisiko memicu ketidakpuasan yang pada gilirannya dapat memantik lebih banyak pengekangan.

Tidak mengherankan jika di Rusia, rasa frustrasi terhadap pemerintahan Presiden Vladimir Putin meningkat, sebagai konsekuensi ekonomi yang stagnan selama satu dekade.

"Konsekuensi kedua dan ketiga dari gangguan dan dislokasi yang ditimbulkan oleh pandemi mungkin dramatis," kata Andrei Kolesnikov dan Denis Volkov, dalam sebuah studi untuk Carnegie Moscow Center.

Di Timur Tengah, tanggapan yang buruk dari otoritas negara terhadap pandemi dan penguatan praktik otoriter, kemungkinan besar akan memperkuat dinamika dan alasan ketidakpuasan, Dewan Atlantik dan ISPI memperingatkan dalam laporan mereka. “Ini akan mengubah krisis pandemi ini dari krisis kesehatan menjadi krisis ekonomi dan politik," kata mereka. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya