Headline
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia
Puluhan ribu orang menandatangani petisi yang menyerukan agar Libanon ditempatkan di bawah mandat Prancis. Hingga Jumat (7/8) setidaknya 58.000 orang telah menandatangani petisi online yang dibuat oleh warga Libanon itu sejak Rabu (5/8).
Petisi itu berisikan keinginan untuk menempatkan Libanon di bawah mandat Prancis selama 10 tahun ke depan. Lantaran pemerintahan saat ini dinilai telah gagal dan tidak mampu mengelola negara itu.
"Pejabat Libanon jelas menunjukkan ketidakmampuan total untuk mengamankan dan mengelola negara. Dengan sistem yang gagal, korupsi, terorisme dan milisi, negara baru saja mencapai nafas terakhirnya," demikian bunyi petisi itu seperti dilansir Al Jazeera. "Kami percaya Libanon harus kembali di bawah mandat Prancis untuk membangun pemerintahan yang bersih dan tahan lama."
Baca Juga: Simpati dan Dukungan Mengalir ke Libanon
Namun, warga lainnya mengecam petisi tersebut sebagai sarana untuk melanjutkan kolonialisme Prancis.
Bertepatan dengan kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron membuat warga menaruh harapan baru. Banyak yang merasa tersentuh dengan kedatangan pemimpin dunia pertama ke kota yang hancur akibat ledakan itu.
Bahkan ketika Macron tiba di lokasi ledakan dan menyusuri jalan Gemmamyze, banyak warga mengerumuninya dan menyerukan perubahan rezim sambil berteriak, "Revolusi!" Ada juga yang berkata, "Anda adalah harapan kami satu-satunya."
Baca Juga: KBRI Beirut Pastikan Semua WNI di Libanon Aman dari Ledakan
Warga juga mengungkapkan keputusasaan mereka terhadap kondisi pemerintahan di negara itu. Seorang wanita bahkan menangis dan meminta agar Prancis tidak memberikan sumbangan secara langsung ke pemerintah. Lantaran dikhawatirkan bantuan itu justru akan kembali digunakan untuk korupsi.
Macron pun berusaha menenangkan dan merenspons. "Tidak, saya ingin menyerahkannya kepada kalian, melalui LSM, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi kita perlu mengubah sistem politik," ujarnya seperti dilansir ABC News.
Sebelumnya, di pusat Kota Beirut terjadi demonstrasi massa anti-pemerintah. Aksi itu sempat mengkhwatirkan pihak keamanan karena para demonstran mulai membakar dan merusak fasilitas publik. Kepolisian kota terpaksa membubarkannya dengan menembakan gas air mata. (Van/AlJazeera/ABCNews/OL-10)
Menlu AS Marco Rubio tegaskan kembali komitmen tak tergoyahkan Amerika Serikat terhadap keamanan Israel.
SEDIKITNYA enam orang tewas dan 10 lainnya terluka pada Kamis (7/8) akibat serangan pesawat nirawak Israel di Libanon timur.
PEMERINTAH Libanon dijadwalkan kembali menggelar rapat pada Kamis (7/8) waktu setempat untuk membahas langkah sensitif terkait pelucutan senjata Hizbullah.
ISRAEL melancarkan serangkaian serangan udara di Nabatieh di Libanon selatan pada Kamis malam (3/7).
PEMERINTAH Israel menyatakan kesediaannya untuk menjajaki perdamaian dengan Suriah.
Houthi mengumumkan telah meluncurkan rudal balistik Zulfiqar yang menargetkan sebuah lokasi "sensitif" di Israel selatan. Serangan itu diklaim telah berhasil mengenai sasarannya.
Langkah yang segera memicu reaksi keras dari Israel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).
Prancis memanggil Dubes AS, Charles Kushner, setelah surat kritik soal antisemitisme dan rencana pengakuan Palestina.
Ketegangan diplomatik antara Israel dan sejumlah negara Barat semakin memanas menjelang rencana pengakuan negara Palestina bulan depan.
Pada Selasa (19/8), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh Presiden Prancis Emmanuel Macron mendorong antisemitisme.
PRESIDEN Prancis Emmanuel Macron menegaskan keraguannya bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin siap mengakhiri perang di Ukraina.
Presiden Prancis Emmanuel Macron serukan peningkatan sanksi, jika Putin tidak serius soal perdamaian Ukraina.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved