Kebijakan Gubernur Jabar 50 Murid dalam Satu Kelas Dinilai Tidak Ideal

Despian Nurhidayat
05/7/2025 07:38
Kebijakan Gubernur Jabar 50 Murid dalam Satu Kelas Dinilai Tidak Ideal
Sejumlah peserta didik baru mengikuti upacara bendera saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMP Negeri 1 Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (15/7/2024)(ANTARA/ADENG BUSTOMI)

KOALISI Barisan Guru Indonesia (Kobar Guru Indonesia) yang terdiri dari Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PB PGSI) , Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, Persatuan Purnabakti Pendidik Indonesia (P3I), Perkumpulan Guru Sekolah dan Madrasah Swasta Jawa Tengah, Perkumpulan Pendidik Geografi Nusantara (Pendiks Geonusa), Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI Lampung) memberikan tanggapan terkait kebijakan Gubernur Provinsi Jawa Barat tentang petunjuk teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) yang menetapkan satuan pendidikan menengah dapat menerima calon Murid sebanyak-banyaknya 50 Murid disesuaikan dengan hasil analisis data luas ruang kelas yang akan digunakan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Ketua Dewan Kehormatan Pengurus Besar Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI), Soeparman Mardjoeki Nahali, mengatakan bahwa dirinya memahami niat baik Gubernur Jawa Barat yang berinisiatif untuk melakukan pencegahan terhadap kasus anak putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Akan tetapi usaha pencegahan anak putus sekolah semestinya dilakukan dengan memperhatikan sejumlah aturan yang ada dan memperhatikan efektivitas pada kondisi belajar anak dan kondisi kerja guru.

“Menetapkan jumlah maksimum 50 murid per kelas tidak sejalan dengan prioritas rasio murid dan guru yang diatur didalam standar pengelolaan dan sistem penerimaan murid baru itu sendiri. Idealnya jumlah murid jenjang pendidikan menengah hanya 36 murid per kelas,” ungkapnya, Sabtu (5/7). 

Masalah anak putus sekolah sebenarnya menjadi bukti bahwa selama ini pemerintah belum sepenuhnya serius menyelesaikan hak anak atas pendidikan. Sementara kebutuhan akan sekolah setiap tahun semakin bertambah. Soeparman menyarankan agar pemerintah mengefektifkan koordinasi dengan sekolah swasta dalam SPMB terpadu.

“Karena jika mendirikan sekolah baru atau ruang kelas baru akan memerlukan waktu yang cukup lama, maka salah satu cara terbaik untuk mengatasi kurangnya daya tampung murid baru adalah dengan melibatkan sekolah swasta. Pemerintah tinggal memastikan kerja sama dengan sekolah swasta untuk menanggung pembiayaan bagi murid yang disalurkan ke sekolah swasta maka persoalan daya tampung akan teratasi. Sekolah swasta akan menyambut baik kerja sama ini,” tuturnya. 

Mengenai tidak efektifnya pembelajaran pada kelas yang berukuran besar, Soeparman mencontohkan persoalan yang sama yang pernah terjadi di Australia. Organisasi guru Queensland Teachers Union (QTU) pernah memublikasikan aksi massa guru di Australia yang menuntut pemerintahnya untuk mengurangi ukuran kelas. 

Dalam rilisnya tercatat bahwa sejak tahun 1950-1970 QTU berhasil menurunkan ukuran kelas dari 50 menjadi 40 murid. Tahun 1971, 1974 dan 1975 menjadi 36, 34 dan 32 murid. Tahun 1979 sampai 2003 menjadi 30 murid per kelas. Sampai kini ukuran kelasnya berkisar 25-28 murid.

“Tuntutan QTU agar pemerintahnya menerapkan ukuran kelas yang ideal bukan semata agar guru memperoleh kondisi kerja yang baik, tetapi sesungguhnya juga untuk kepentingan terbaik anak agar memperoleh kondisi belajar yang ideal”, tegas Soeparman.

Koalisi Barisan Guru Indonesia mengusulkan kepada pemerintah agar bijak dalam menghadapi tuntutan komunitas sekolah swasta. Karena solusi atas kekurangan daya tampung sebenarnya sudah diatur di dalam Permendikdasmen nomor 11 tahun 2025 tentang SPMB yaitu dengan melibatkan sekolah swasta. Oleh karena itu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Muti harus mengingatkan Pemerintah Daerah untuk merealisasikan mekanisme solusi yang sudah dicanangkannya.

“Kami sangat mendukung jika Menteri, Gubernur Jawa Barat dan Forum Kepala Sekolah Swasta Jawa Barat bertemu untuk mencari solusi demi kebaikan bersama sekaligus menjaga ekosistem pendidikan yang harmonis agar SPMB secara nasional dapat memberikan kepastian kepada setiap anak untuk memperoleh haknya bersekolah dengan pelayanan yang terbaik,” imbau Soeparman.

Di tempat yang sama, Dewan Pembina Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung, Iwan Hermawan, membenarkan masalah daya tampung ini menjadi persoalan krusial sejak lama. “Kalau daya tampung tidak diselesaikan saat ini maka persoalan pendidikan kita ke depan akan tetap sama. Akan selalu ada anak-anak yang tersingkirkan. Bukan hanya di Jawa Barat, tetapi di seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar”, tegas Iwan yang merupakan purnabakti pendidik dari SMA Negeri 9 Bandung.

Di lain pihak, Ketua Perkumpulan Guru Sekolah dan Madrasah Swasta Provinsi Jawa Tengah, Muhzen memberikan dukungan kepada Forum Kepala Sekolah Swasta yang membuat surat terbuka untuk mengingatkan Presiden, jajaran pemerintahan pusat dan daerah, serta seluruh komponen pendidikan bahwa penetapan kebijakan pendidikan haruslah memperhatikan harmonisasi ekosistem pendidikan. 

Ia mengingatkan agar surat terbuka forum kepala sekolah swasta Jawa Barat segera diakomodir pemerintah dengan cara membuka dialog sehingga semuanya dapat diselesaikan dengan baik.

“Saya berharap hal-hal yang dikhawatirkan komunitas sekolah swasta dapat diberikan solusinya. Jangan sampai kebijakan di satu daerah akan berimbas pada daerah-daerah lain. Ingat bahwa sekolah swasta ini berperan penting dalam gerakan kemerdekaan bangsa ini. Oleh karena itu keharmonisan antara satuan pendidikan negeri dan swasta merupakan daya dukung ekosistem pendidikan yang baik untuk memajukan pendidikan bangsa ini,” tegas
Muhzen.

Penambahan kuota murid menjadi maksimum 50 orang per kelas juga akan berdampak pada kualitas pembelajaran. Wakil Koordinator Advokasi Pendidik Geografi Nusantara (Pendiks Geonusa), Laili Hadiati, mengakui bahwa untuk mengajar dengan jumlah murid 36 orang per kelas saja sebenarnya guru sudah mengalami kesulitan. Jika seorang guru per minggu harus mengajar 5 sampai 8 kelas sesuai bobot jam tatap mukanya, maka guru tersebut harus melayani pembelajaran 180 sampai 288 murid. Jika ukuran kelas menjadi 50 murid maka jumlah murid yang dilayani ikut bertambah.

“Bayangkan jika guru juga dibebani dengan tugas-tugas tambahan atau ada guru yang harus menangani sendiri mata pelajarannya karena sekolahnya kekurangan guru. Saya yakin pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning) yang menjadi pilot proyek Menteri Pendidikan tidak akan berjalan efektif,” tutur Laili. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya