MK Didesak Segera Putus Uji Formil UU KSDAHE

Ihfa Firdausya
04/7/2025 16:31
MK Didesak Segera Putus Uji Formil UU KSDAHE
Pegunungan meratus di Kalsel.(Dok. MI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) belum kunjung memutuskan perkara uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Tim Advokasi Untuk Konservasi Berkeadilan yang menjadi pemohon uji materi itu menyebut MK telah melewati batas waktu.

Viktor Santoso Tandiasa dari Tim Hukum Pengujian Formil Undang-Undang KSDAHE menyebut uji formil MK memberikan batas waktu 60 hari untuk diputus. Berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), kata Viktor, hitungan 60 hari bukan sejak registrasi perkara atau keluar nomor registrasi, tapi sejak presiden memberikan keterangan.

“Dalam perkara ini presiden memberikan keterangan pada 28 April 2025. Jadi kalau dihitung 60 hari sejak presiden menyampaikan keterangan, maka seharusnya 28 Juni itu sudah batas waktu 60 hari MK harus memutus,” katanya dalam sebuah diskusi di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (4/7).

Ia menengarai beberapa faktor yang membuat pengambilan putusan untuk perkara ini molor. Selain banyaknya perkara yang masuk di MK, Viktor menduga ada tekanan politik di baliknya.

“Beberapa perkara yang terlihat secara nyata memang pengujian di MK ini lebih besar plot politiknya. Artinya tekanan politik itu juga cukup besar ke MK dalam penanganan perkara, meskipun MK seringkali memutus hal-hal yang terlihat progresif dan berani,” ujarnya.

Ia menilai kuasa tim prinsipal perlu mengirimkan surat ke Mahkamah Konstitusi untuk mengingatkan bahwa 28 Juli lalu adalah hari terakhir MK untuk memutus pengujian formil. “Sehingga nanti MK bisa lebih bergegas untuk segera memutus terhadap hal ini,” kata Viktor.

Para prinsipal uji formil Undang-Undang KSDAHE menekankan urgensi pembatalan uu tersebut. Salah satunya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara Fikerman Saragih menyebut undang-undang KSDHAE sangat berpotensi untuk mereduksi hak masyarakat, baik masyarakat adat maupun komunitas lokal yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pihaknya melihat urgensi negara untuk mengeluarkan undang-undang ini karena banyaknya tuntutan dari global maupun dalam negeri terkait perluasan kawasan konservasi. Menurutnya, kawasan-kawasan konservasi yang dipraktikkan negara justru bertentangan baik secara prinsip maupun secara budaya dengan apa yang telah dipraktikkan oleh masyarakat adat maupun komunitas lokal.

Fikerman mencontohkan praktik konservasi di Pulau Komodo malah mentransformasi masyarakat yang dulu nelayan menjadi guide pariwisata, pembawa kapal untuk pariwisata, dan sebagainya.

“Hal yang sama juga terjadi di wilayah Taman Nasional Wakatobi dan juga taman nasional yang ada di Manado. Jadi dari berbagai situasi faktual yang ada di lapangan, ternyata kawasan-kawasan konservasi yang diterapkan oleh negara ini justru merampas ruang-ruang masyarakat yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” ujarnya.

Masyarakat Adat Terancam

Salah satu contoh yang telah terjadi dari dampak langsung beleid ini adalah Penetapan Taman Nasional Meratus di Kalimantan Selatan. Direktur Eksekutif WALHI Kalsel Raden Rafiq Sepdian Fadel Wibisono mengatakan sejak September 2024 Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mengusulkan Taman Nasional Meratus di kawasan hutan lindung.

Hal itu dinilai menjadi suatu ancaman buat masyarakat adat. “Karena di dalam Taman Nasional Meratus yang diusulkan oleh pemerintah provinsi, banyak masyarakat adat yang tinggal di sana. Bahkan berdampak terhadap wilayah masyarakat adatnya,” katanya.

Ia menyebut Kalimantan Selatan sendiri sebenarnya sudah dibebani oleh izin-izin seperti Hutan Tanaman Industri, Hak Pengusahaan Hutan, pertambangan, perkebunan yang luasnya hingga 51% Kalimantan Selatan. “Kawasan hutan di Kalimantan Selatan itu luasnya tinggal 1 juta hektare. Yang diusulkan menjadi Taman Nasional itu 119 ribu hektare,” katanya.

Di dalam usulan Taman Nasional sendiri banyak wilayah adat yang masuk dalam usulan Taman Nasional. Sedangkan usulan Taman Nasional ini dengan alasan konservasi hutan, meningkatkan ekonomi di daerah dengan konsep konservasi.

Padahal, katanya, masyarakat adat mempunyai hukum adat yang mengatur hidup mereka. Mereka punya pola-pola ruang sendiri. Ada wilayah keramat yang dipercaya sebagai tempat leluhur, ada wilayah untuk berladang.

“Ada aturan juga yang mengatur bahwa pohon dengan diameter sekian tidak boleh ditebang. Sebenarnya secara konservasi masyarakat adat itu sudah sangat memperdulikan lingkungan,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Zenzi Suhadi mengatakan seharusnya perubahan dalam undang-undang konservasi membahas persoalan yang sudah ditimbulkan oleh undang-undang konservasi lama. Dalam hal ini masyarakat adat di Indonesia mengalami keruntuhan peradabannya karena pengetahuan, cara hidup, tatanan hidup masyarakat adat itu melekat dengan ekologinya.

“Kalau dia tinggal dalam kawasan hutan, peradaban itu melekat dengan ekologi hutan tersebut. Ketika dia dipisahkan dengan hutan masyarakat adat ini maka peradaban itu mengalami keruntuhan,” tuturnya.

Menurutnya, undang-undang konservasi seharusnya tidak hanya mengkonservasi satwa, tumbuhan, dan komponen abiotik dalam suatu wilayah, tetapi juga mengkonservasi hak dan peradaban manusia yang terikat dan menjangkir ekosistem tersebut.

“Kapasitas negara itu tidak akan sanggup menjaga kawasan hutan Indonesia. Tahun 2013, kami mencatat, dari 17 hektare juta hutan Indonesia yang rusak dalam kurun waktu 5 tahun, negara itu cuma bisa menegakkan hukum itu 17 ribu hektare. Artinya kapasitas negara menjaga hutan Indonesia itu hanya 0,1%,” ujarnya.  (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya