Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERIHAL 4 pulau yang sebelumnya milik Aceh dan kini mulai dimasukkan dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara semakin hangat menjadi topik berita berbagai media nasional dan lokal. Apalagi dikhawatirkan mengusik perdamaian Aceh.
Itu akibat terpicu oleh surat keputusan Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Tito Karnavian terkait pengakuan 4 pulau di Kabupaten Aceh Singkil itu milik Sumatera Utara.
Pihak Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menanggapi pernyataan Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan “ Kemendagri siap menghadapi gugatan Pemprov Aceh soal 4 pulau yang dialihkan ke Sumut”. 4 pulau kecil itu yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Ketek.
Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Marwan kepada Media Indonesia, Jumat (13/6) mengatakan, persoalan kepemilikan wilayah, terutama yang menyangkut batas administrasi antarprovinsi, tidak hanya berdampak pada aspek legal-formal. Tetapi juga berimplikasi luas terhadap aspek politik, tata kelola pemerintahan, dan kehidupan sosial masyarakat.
Dilatakannya, dari segi politik, konflik semacam ini berpotensi menimbulkan ketegangan antara dua daerah, yaitu Aceh dan Sumatera Utara yang dapat membuka ruang bagi rivalitas politik regional. Lebih jauh lagi, situasi ini dapat berkembang menjadi isu identitas dan sejarah yang sensitif.
Sehingga memperbesar potensi disintegrasi sosial dan mengurangi legitimasi pemerintah pusat. Apalagi Aceh sebagai daerah yang memiliki status otonomi khusus.
Dari aspek pemerintahan, tumpang tindih klaim administratif atas keempat pulau tersebut dapat menimbulkan kebingungan dalam perencanaan tata ruang, pengelolaan sumber daya, serta pelayanan publik. Hal ini berpotensi menghambat pembangunan dan menciptakan ketidakpastian hukum di wilayah bersangkutan.
Secara sosiologis, situasi ini berisiko menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat yang berada di wilayah perbatasan. Kecurigaan, prasangka, hingga potensi segregasi sosial antara komunitas Aceh dan Sumatera Utara.
Sehingga dapat menciptakan keretakan hubungan sosial. Baik di wilayah sengketa maupun di daerah lain yang memiliki ikatan dengan wilayah tersebut.
Karena itu, penyelesaian permasalahan ini tidak dapat dilakukan secara sepihak atau semata-mata melalui pendekatan administratif. Tentu memerlukan mekanisme penyelesaian komprehensif, berbasis pada data historis, sosiologis, yuridis, dan administratif yang sah.
Proses ini juga harus memperhatikan lebih serius ketentuan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.
Dikatakan Prof Marwan, pihak kampus USK, siap berkontribusi aktif melalui pemanfaatan keahlian yang dimiliki oleh sivitas akademika di bidang hukum, pemerintahan, politik, sosiologi, dan sejarah. USK juga berkomitmen mendukung proses mediasi serta penyusunan rekomendasi berbasis prinsip-prinsip keilmuan, objektivitas, dan integritas akademik.
“Kami meyakini solusi terbaik persoalan ini hanya dapat dicapai melalui pendekatan yang menjunjung tinggi keadilan, kedaulatan, serta keharmonisan antarwilayah. Dengan mengedepankan perlindungan hak-hak seluruh warga negara tanpa diskriminasi" tutur Marwan.
Ditegaskan, pentingnya penyelesaian secara adil, transparan, dan partisipatif, demi mencegah meluas dampak negatif di tengah masyarakat. Pendekatan damai serta bermartabat melalui dialog antar dua provinsi.
Pertemuan dialog ini perlu difasilitasi oleh pihak netral seperti kalangan akademisi, agar tercapai jalan terbaik. Guna membangun kepercayaan publik dan menciptakan solusi yang diterima oleh semua pihak.
“Harapan kami, pernyataan ini menjadi dorongan bagi para pemangku kepentingan, agar segera duduk bersama dan memulai dialog konstruktif. Tujuannya demi menyelesaikan persoalan ini secara damai dan bermartabat.
Upaya ini bukan hanya penting untuk menjaga keutuhan wilayah, tetapi juga sebagai fondasi dalam mewujudkan pembangunan inklusif dan berkeadilan bagi masyarakat setempat” jelas Prof Marwan.(H-2)
KOMISI II DPR RI menjadwalkan rapat kerja khusus dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta pemerintah daerah sebagai respons atas isu terkait penjualan dan sengketa pulau di Indonesi
43 pulau di Indonesia yang saat ini berstatus sengketa. Sebagian besar merupakan sengketa antardaerah di dalam negeri.
Kasus tumpang tindih wilayah seperti yang terjadi antara Sumatera Utara dan Aceh bukanlah satu-satunya. Beberapa provinsi lain juga menghadapi persoalan serupa.
Pada 2009 (4 November 2009) Gubernur Aceh saat itu mengonfirmasi kepemilikan empat pulau tersebut.
GUBERNUR Aceh, Muzakir Manaf, memastikan bahwa empat pulau yang sebelumnya menjadi sengketa dengan Provinsi Sumatra Utara ternyata mengandung potensi minyak dan gas (migas)
Kemendagri telah mengkaji ulang polemik kepemilkan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Dari hasil kajian, ditemukan novum atau bukti baru. Apa bisa ubah putusan?
Selain Reynanda, seorang warga bernama Muhammad Safari Siregar, 41, juga ditemukan meninggal lantaran terseret arus.
Jenazah Reynanda juga dievakuasi ke RSUD Abdul Manan Kisaran untuk proses lebih lanjut. Kedua korban kini telah dimakamkan oleh keluarga masing-masing.
INDONESIA Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar penggeledahan terkait kasus korupsi dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Sumut.
Pakar mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib memeriksa Gubernur Sumatra Utara (Sumut) Bobby Nasution terkait kasus korupsi proyek pembangunan jalan pada Dinas PUPR Sumut.
KPK menduga dana yang disiapkan untuk menyuap mencapai Rp46 miliar
PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatra Utara (Sumut) kenaikan penumpang di libur panjang Tahun Baru Islam 1447 H yakni Kamis (26/6) hingga Sabtu (28/6).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved