Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Walhi: Tambang di Raja Ampat Gambaran Kegagalan Pemerintah Lindungi Pesisir dan Pulau Kecil

Despian Nurhidayat
09/6/2025 11:20
Walhi: Tambang di Raja Ampat Gambaran Kegagalan Pemerintah Lindungi Pesisir dan Pulau Kecil
Area tambang nikel Raja Ampat di Pulau Gag.(Dok. Antara)

MANAJER Kampanye Pelaksana Hutan dan Pertanian Walhi, Uli Artha Siagian, mengatakan bahwa tambang di Raja Ampat merupakan gambaran dari sebagian besar pulau-pulau kecil dan pesisir Tanah Air yang selama ini dieksploitasi oleh pemerintah dan korporasi melalui aktivitas izin tambang dan juga perkebunan atau bisnis industri ekstraktif.

“Dalam konteks Raja Ampat, pertambangan nikel itu kemudian akan mengancam keselamatan pulau Raja Ampat yang 90%-nya itu adalah wilayah konservasi gitu,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Senin (9/6).

Lebih lanjut, berdasarkan catatan Walhi, terdapat empat izin usaha pertambangan nikel di Tanah Papua, di mana tiga izin usaha pertambangan di antaranya terdapat di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya dan kemudian di pulau tersebut ada kurang lebih 1.600 spesies ikan, 75% spesies karang yang terkenal di dunia, dan 6 dari 7 jenis penyu yang terancam punah.

“Ini menunjukkan betapa Raja Ampat itu memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi sekali, sekaligus menjadi wilayah yang rentan ketika pemerintah salah mengurus Raja Ampat dan pemberian izin eksploitasi pertambangan nikel itu merupakan bentuk kesalahan negara dalam mengurus Raja Ampat. Jika boleh dikatakan negara tidak mampu mengurusi bentang Raja Ampat secara baik dan benar,” tegas Uli Artha.

Dia meyakini seluruh hal yang dimiliki Raja Ampat akan hilang seiring dengan tingginya eksploitasi tambang nikel Raja Ampat. Bukan hanya kerusakan lingkungan yang akan terjadi, tetapi kemudian dampak yang lebih besar lagi akan dirasakan oleh seluruh masyarakat di Indonesia bahkan global.

“Karena akibat eksploitasi nikel di Kepulauan Raja Ampat, sekaligus juga terjadi pembongkaran hutan, lalu kemudian dampaknya itu merusak karang, maka itu akan berdampak pada pelepasan emisi dalam skala yang besar,” ujarnya.

“Kita bisa bayangkan misalnya, menurut catatan Walhi pada 2023 terdapat 300-400 hektare kerusakan wilayah di Raja Ampat dan kalau misalnya tutupannya adalah hutan, sudah sangat besar emisi yang dilepaskan dari pembongkaran hutan, lalu kemudian juga emisi yang dilepaskan dari pembongkaran tanah atau pengerukan tanah untuk diambil nikelnya, lalu kemudian juga kerusakan terumbu karang yang kemudian terdampak dari aktivitas pertambangan nikel tersebut,” lanjut Uli Artha.

Menurutnya tambang di Raja Ampat merupakan proses pelepasan emisi dalam skala yang besar dan ketika itu dilepaskan ke atmosfer akan menambah buruk iklim atau menambah besar krisis iklim.

“Jadi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat dan seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia itu akan menjadi wilayah yang pertama sekali tenggelam ketika krisis iklim ini semakin parah. Belum lagi kemudian juga soal dampak terhadap masyarakatnya,” jelas Uli Artha.

Warga Menolak Tambang Nikel

Berdasarkan catatan Walhi, ketika Walhi Papua turun ke Raja Ampat 1-2 tahun yang lalu, masyarakat dikatakan telah menolak tambang nikel secara tegas.

“Karena apa? Karena bagi masyarakat asli Papua, relasi mereka dengan tanah, relasi mereka dengan laut, relasi mereka dengan hutan, itu bukan hanya sekadar relasi ekonomi, tetapi ada relasi spiritualitas di sana, ada relasi budaya di sana. Bahkan bagi mereka, wilayah mereka adalah identitas. Ketika itu rusak, maka sama artinya dengan menghilangkan atau membunuh identitas mereka,” kata dia.

“Belum lagi juga cerita soal perampasan wilayah adat karena konteks teritorial adat ini, apalagi dia di pesisir dan laut, itu sangat luas sekali. Tentunya juga ada potensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia di sana ketika misalnya dampak lingkungannya semakin besar, lalu kemudian proses perampasan tanahnya terjadi atau perampasan wilayah adatnya terjadi dalam skala yang masif,” sambung Uli Artha.

Bagi Walhi, apa yang terjadi di Raja Ampat adalah gambaran dari kegagalan negara mengurus dan melindungi pesisir serta pulau-pulau kecil Indonesia.

“Sehingga kemudian ketika Raja Ampat ini heboh ditanggapi dengan berbagai macam respon oleh pemerintah. Salah satunya misalnya menghentikan sementara aktivitas pertambangan di sana. Menurut kami menghentikan sementara ini adalah langkah awal, bukan langkah terakhir,” urainya.

“Kami menantang sebenarnya pemerintah atau negara untuk tidak tunduk pada kepentingan korporasi, tetapi kemudian tunduk kepada mandat konstitusi yaitu menjaga keselamatan rakyat Indonesia, menjaga keselamatan wilayah kita, dan memastikan hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dipenuhi,” tandas Uli Artha.  (H-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya