Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Asosiasi Rumah Sakit Tekankan Kehati-hatian dalam Penerapan KRIS BPJS Kesehatan

Ihfa Firdausya
26/5/2025 19:14
Asosiasi Rumah Sakit Tekankan Kehati-hatian dalam Penerapan KRIS BPJS Kesehatan
Ketua Persi Bambang Wibowo.(Dok. Antara)

SEJUMLAH asosiasi rumah sakit menyampaikan rekomendasi terkait penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan. Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi), misalnya, berharap penyesuaian tarif dari implementasi KRIS dapat memenuhi nilai keekonomian rumah sakit.

Ketua Persi Bambang Wibowo menyebut pemberian insentif bisa dilakukan untuk rumah sakit yang sudah memenuhi kriteria-kriteria dalam KRIS. Termasuk disentif bagi yang belum memenuhi kriteria. Hal itu, katanya, akan mendorong rumah sakit untuk berpartisipasi.

“Kami harapkan ada masa transisi apabila diberlakukan, di mana semua rumah sakit bisa mengikuti tetapi yang belum memenuhi 12 kriteria ada disentif. Kalau yang sudah memenuhi ada insentif. Kalau nanti tarifnya bagus, saya yakin teman-teman di rumah sakit akan mempercepat menyesuaikan dengan regulasi yang ada,” kata Bambang dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (26/5).

Ia juga mengingatkan agar kajian dampaknya perlu dilakukan lebih baik lagi. Termasuk kebijakan maksimum 4 tempat tidur yang dinilai masih membingungkan rumah sakit.

“Tentu dari sisi rumah sakit, 1 kamar dengan 2, 3, 4 tempat tidur itu cost-nya berbeda, investasinya tentu berbeda. Ini belum dari sisi peserta,” ungkap Bambang.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Iing Ichsan Hanafi mengamini kebingungan yang masih dialami pihak rumah sakit.

“Ada (yang berpikir) satu sisi kelas rawat inap standar itu satu kelas, tapi ada sisi yang lain masih ada satu, dua, dan tiga,” katanya.

Untuk itu, implementasinya perlu disiapkan dengan matang. Apalagi selain KRIS ada sejumlah kebijakan baru yang harus dihadapi rumah sakit, seperti sistem pengelompokan tarif layanan kesehatan baru Indonesia Diagnostic Related Group (iDRG), serta rumah sakit berbasis kompetensi.

“Tiga regulasi yang berjalan tentunya ini kami khawatir ketidaksiapan di faskes. Ini perlu dikaji ulang karena kemampuan teman-teman terutama (rumah sakit) soliter itu agak berat. Kami takutnya berdampak terhadap biaya yang kami keluarkan,” katanya.

Pihaknya juga mengkhawatirkan 12 kriteria KRIS yang ketat. “Dalam arti kata kalau beberapa item itu tidak terpenuhi tentunya ini akan berpengaruh terhadap PKS (kerja sama) teman-teman rumah sakit dengan BPJS. Ini juga mungkin perlu ada fleksibilitas. Jangan sampai nanti teman-teman rumah sakit ini tidak bisa bekerja sama dengan BPJS,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyebut dalam Perpres 59 tahun 2024 yang mengatur 12 kriteria KRIS, tidak ada pasal penghapusan kelas, kelasnya jadi tunggal, atau tetap tiga standarisasi kelas. Menurutnya, standarisasi kelas rawat inap bertujuan untuk peningkatan mutu dan akses.

“Sekarang kita bisa lihat kelas 3 seperti apa, kelas 2 seperti apa, kelas 1 seperti apa, tidak ada standarnya. BPJS berkeinginan adanya KRIS dengan 12 kriteria itu bisa meningkatkan mutu dan akses,” kata Ghufron.

“Jangan sampai aksesnya berkurang karena jumlah tempat tidurnya berkurang. Kita ingin mutunya meningkat, aksesnya meningkat, lalu ketahanan dana jaminan sosial tetap terjaga. Kita perhatikan harapan peserta maupun faskes sehingga tidak berpotensi menimbulkan penolakan-penolakan,” pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya