Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PEMAHANAN yang salah mengenai proses belajar pada anak menjadi salah satu tantangan utama dalam dunia pendidikan. Banyak orangtua dan guru masih terjebak dalam dua pandangan.
Ada anggapan bahwa belajar hanya sebagai hobi yang dilakukan jika anak tertarik, sementara di sisi lain, ada yang menganggap belajar sebagai kewajiban yang dipaksakan tanpa memperhatikan kebutuhan emosional anak.
Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Kementerian Pendidikan Indonesia Nisa Felicia Farida menjelaskan bahwa kedua pandangan tersebut berbahaya.
"Belajar itu bukan hobi. Itu adalah keterampilan yang harus dibangun dulu. Jadi, kalau kita menganggapnya hobi, ada anak yang tidak suka belajar. Jadi, ini dua miskonsepsi yang sama bahayanya. Yang satu terasa mencari cara untuk memaksa, atau mencari cara untuk memanipulasi anak supaya mau belajar. Yang satunya lagi justru membiarkan anaknya nggak belajar karena menganggap ya itu bukan hobi," ungkap Nisa dalam acara Talkshow “Darurat Literasi-Numerasi: Orangtua Harus Gimana?” yang di selenggarakan Smartick Indonesia di Casakhasa Kemang, Jl Bungur, Jakarta Selatan, Sabtu (7/12)
Menurut Nisa, jika anak-anak dipaksa untuk belajar, hubungan antara orang dewasa dan anak akan rusak. Hal ini menciptakan hubungan kekuasaan, ketika orangtua tidak percaya bahwa anak sebenarnya ingin belajar.
Nisa juga mengungkapkan bahwa dalam sistem pendidikan, sering terjadi ketidakpercayaan antara berbagai pihak, termasuk terhadap guru. Ketidakpercayaan ini, secara tidak sadar, membuat guru juga menerapkan cara-cara memaksa kepada murid.
"Karena kami bekerja di sistem pendidikan, justru itu merasa dari pemerintah, pemerintah nggak percaya kepala sekolah, kepala sekolah nggak percaya guru, gurunya nggak percaya sama muridnya. Jadi selalu merasa cara yang harus dicari adalah cara-cara di mana memaksa. Bagaimana nih supaya gurunya mau belajar. Sehingga guru ke murid secara tidak sadar juga begitu." ujarnya.
Sering kali, guru memberi label kepada anak-anak dengan mengatakan mereka tidak mau belajar, padahal yang sebenarnya tidak disukai anak-anak adalah caranya, atau mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki kapasitas untuk belajar.
Nisa menceritakan bahwa dalam percakapan informal, orang tua sering berkata di depan anaknya, seperti "Aduh, enak ya anakmu, senang belajar, saya malah susah."
Komentar seperti ini bisa memberi kesan negatif kepada anak yang mendengarnya, yang mungkin merasa direndahkan atau dianggap tidak mampu belajar.
Inilah yang perlu diubah, miskonsepsi bahwa hanya beberapa anak yang bisa belajar dengan mudah.
Menurut Nisa, setiap anak berhak diberi kesempatan dan dipercaya untuk belajar, tanpa memandang apakah mereka lebih cepat atau lebih lambat dalam prosesnya.
Psikolog Klinis dan Keluarga Pritta Tyas menambahkan bahwa orangtua perlu memakai "kacamata detektif" dalam melihat anak. Bukan dengan cara menilai atau menghakimi, tetapi dengan memahami apa yang disukai dan tidak disukai anak, serta bagaimana cara mereka menikmati proses belajar.
“Kan judgment ya, kita pakai kacamata hakim, hakimi gitu ya. Tapi kita pakai kacamata detektif, yaitu kita lihat dulu, oh anak saya ini sukanya apa, dia nggak sukanya apa, kalau disuruh apa, dia rela menikmati, dan dia akan maju dalam hal-hal apa," ungkapnya.
Pritta Tyas memberi contoh, ketika melihat anaknya, ia menyadari bahwa anaknya cenderung menikmati aktivitas yang melibatkan tangan, seperti menggambar atau bereksperimen dengan tepung.
Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut lebih tertarik pada aktivitas yang melibatkan gerakan fisik. Dengan memahami hal ini, orang tua dapat memberikan dukungan yang lebih sesuai dengan minat anak pada usia tersebut. (Z-1)
Langkah yang dapat dilakukan orangtua dalam mendorong anak supaya terbiasa mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi antara lain melalui pembelajaran dari kebiasaan sehari-hari.
Orangtua dianjurkan untuk menyajikan camilan sehat seperti buah potong segar, jagung rebus, ubi kukus, bola-bola tempe, puding susu tanpa gula tambahan, atau dadar sayur mini.
Orangtua perlu memberikan contoh kepada anak dan menjelaskan pentingnya mengonsumsi makanan yang bergizi.
Instansi pendidikan berperan dalam menyediakan ruang aman bagi anak untuk dapat mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuan.
Meski berguna untuk hal positif seperti belajar jarak jauh, ponsel ini juga kerap menjadi pintu masuk untuk berbagai masalah terkait dengan era digital ini.
Pemakaian masker, khususnya di tengah kerumunan mungkin dapat dijadikan kebiasaan yang diajarkan kepada anak-anak.
Kebiasaan makan bergizi seimbang beragam dan aman pada anak bukan semata tentang apa yang disajikan, namun juga penanaman nilai gizi secara konsisten dalam keluarga.
Pertanian tetap menjadi sektor terbesar untuk pekerja anak, menyumbang 61% dari semua kasus, diikuti oleh jasa (27%), seperti pekerjaan rumah tangga.
Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia Gita Kamath mengatakan bidan merupakan inti dari sistem perawatan kesehatan primer, terutama bagi perempuan dan anak perempuan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved