Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Women’s March Jakarta 2024: Serukan Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi

Atalya Puspa
06/12/2024 16:57
Women’s March Jakarta 2024: Serukan Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi
Buruh melakukan aksi simpatik memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (3/12/2023)(ANTARA/Henry Purba )

WOMEN'S March Jakarta (WMJ) kembali digelar pada 2024 dengan tema Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki. WMJ 2024 menyoroti beragam bentuk ketidakadilan yang melumpuhkan kehidupan perempuan dan kelompok rentan di Indonesia. Kegiatan ini juga menjadi seruan untuk melawan kekerasan berbasis gender di tengah tahun politik yang dinilai gagal membawa perubahan bermakna.  

Koordinator WMJ 2024 dari Jakarta Feminist Ally Anzi menyatakan bahwa pergantian kekuasaan selama ini hanya menjadi ajang mempertahankan kekuasaan, tanpa mengutamakan perlindungan bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan. 

"Kekerasan berbasis gender dan seksual tidak pernah menjadi prioritas pemerintah, padahal kasus seperti kekerasan seksual di institusi pendidikan dan tempat kerja terus terjadi," ujar Ally, Jumat (6/12). 

Laporan Jakarta Feminist mencatat 180 kasus femisida pada 2023, namun hanya sebagian kecil yang ditangani serius. Catahu Komnas Perempuan juga melaporkan 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan di 2023. Menurut survei BPS, 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.  

Tuani dari LBH APIK Jakarta, kolaborator WMJ 2024, menyoroti lemahnya implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). "UU TPKS menjamin hak korban seperti akses kontrasepsi darurat dan aborsi, tetapi implementasi aturan turunannya belum ada," ungkapnya. Bias gender dan victim blaming dalam proses hukum juga memperburuk kondisi korban.  

Penegakan UU TPKS terhambat oleh sistem hukum yang belum berpihak kepada korban. Maidina dari ICJR menjelaskan banyaknya laporan yang ditolak polisi karena dianggap kurang bukti, sementara restorative justice sering kali dijalankan tanpa pengawasan, memaksa korban berdamai dengan pelaku.  

Selain itu, kelompok rentan seperti pekerja seks dan ragam gender menghadapi diskriminasi sistemik.

Evaluasi Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menunjukkan peraturan hukum di Indonesia belum optimal melindungi korban diskriminasi. Diperlukan kebijakan anti-diskriminasi yang komprehensif, termasuk pemberian sanksi ekonomi untuk memulihkan korban.  

Tantangan ini juga muncul dalam advokasi anak muda terkait Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Selain itu, kekerasan berbasis gender juga menjadi senjata dalam konflik politik dan ekonomi global, termasuk di Papua. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya