Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
KASUS femisida saat ini masih dianggap sebagai kasus pembunuhan umum. Padahal berbeda dengan kasus pebunuhan lainnya, femisida merupakan pembunuhan yang pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Saat ini data komperhensif terkait dengan femisida pun masih belum dimiliki Indonesia.
“Pendataan terpilah pembunuhan berbasis gender di Mahkamah Agung, Bareskrim dan BPS belum tersedia. Data pembunuhan perempuan dan laki-laki juga masih tercampur, dikenali sebagai pembunuhan umumnya,” kata Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat, Selasa (3/12).
Berdasarkan data Komnas Perempuan, kasus dengan indikasi kuat femisida pada 2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 terpantau ada 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus, dan sepanjang tahun lalu terpantau 159 kasus. Pantauan dari tahun ke tahun, jenis kasus femisida tertinggi adalah femisida intim yaitu pembunuhan perempuan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi.
Rainy menambahkan selain femisida intim, kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan, dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.
Karakteristik femisida intim dicirikan dengan adanya peningkatan intensitas dan muatan kekerasan fisik, kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi, dan tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.
“Pembeda utama femisida dengan pembunuhan biasa adalah adanya motivasi gender. Umumnya femisida dilatarbelakangi oleh lebih dari satu motif. Dari motif yang teridentifikasi, cemburu, ketersinggungan maskulinitas, menolak bertanggungjawab, kekerasan seksual, menolak perceraian atau pemutusan hubungan,” tutur Rainy.
“Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Termasuk dari kasus-kasus yang terjadi beberapa hari ini,” tambahnya.
Rainy melanjutkan, undang-undang pun belum mengenali diksi femisida atau pembunuhan berbasis gender. Padahal, diksi itu sudah terdaftar dalam KBBI daring keluaran Pusat Bahasa.
Dari segi penegakan hukum, Rainy menyatakan bahwa pasal yang ada belum mengatur secara spesifik terkait femisida. Meskipun pembunuhan terhadap perempuan sudah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), namun belum terdapat pengertian femisida.
“UU TPKS (Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) selaku lex specialis sudah mengintegrasikan kekerasan seksual yang berakibat kematian, namun unsur gender tidak menjadi sanksi pemberatan dan tidak menggunakan diksi femisida. Demikian juga KUHP. UU TPKS perlakukan khusus sebagai delik biasa dan bukan delik aduan bagi penyandang disabilitas, anak dan kondisi tidak berdaya sakit berat di antaranya,” jelas dia.
Negara diharapkan segera membangun mekanisme pencegahan agar kekerasan dalam relasi personal ini tidak berakhir dengan kematian. Secara hukum, penanganan kasus femisida menggunakan ketentuan tindak pidana penghilangan nyawa atau tindak pidana yang menyebabkan kematian maka penting pendataan terpilah berdasarkan jenis kelamin dan motifnya dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Dengan begitu, diperlukan pula peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi femisida dan membangun penilaian tingkat bahaya bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. “Agar saat mengidentifikasi korban dapat menggali fakta terkait faktor-faktor seperti relasi kuasa, rentetan KDRT, ancaman dan upaya manipulasi yang dilakukan pelaku, atau kekerasan seksual. Sehingga dalam menerapkan pasal-pasal dalam KUHP, UU PKDRT, UU TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang), UU Perlindungan Anak atau UU TPKS yang mengakibatkan kematian pada perempuan korban, hukumannya diperberat,” pungkasnya. (M-1)
Berdasarkan data Jakarta Feminist, pada tahun 2023 ada sebanyak 180 kasus femisidan di 38 provinsi dengan total 187 korban dan 197 pelaku.
PEMBENAHAN mutlak diperlukan di sejumlah sektor untuk mendorong efektivitas penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
KETUA Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan terdapat implikasi jika tidak memaksimalkan UU TPKS.
SEJAK disahkan 9 Mei 2022, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum optimal ditegakkan dalam melindungi korban kekerasan seksual.
selama ini lebih dari 50% lembaga di Indonesia sudah memberikan layanan menggunakan UU TPKS.
Sanksi pemberatan harus dilakukan karena oknum-oknum tersebut seharusnya pihak yang harus memberikan perlindungan terhadap perempuan.
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyampaikan progres sisa peraturan turunan UU TPKS.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved