Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MESKI keberadaan layanan terpadu untuk korban kekerasan seksual sudah ada di berbagai daerah, efektivitasnya di lapangan masih jauh dari harapan. Berbagai persoalan mendasar, mulai dari minimnya kesiapan aparat hingga budaya victim blaming, menjadi penghambat utama bagi layanan ini untuk memberikan perlindungan maksimal bagi korban.
Banyak petugas layanan terpadu yang masih kurang memahami perspektif korban atau cara menangani trauma. "Di daerah, masih banyak aparat yang memiliki pola pikir victim blaming. Korban malah ditanya, ‘Kenapa kamu pakai pakaian seperti itu?’ atau ‘Ngapain kamu malam-malam di sana?’ Pertanyaan seperti ini sangat tidak sensitif dan merugikan korban," jelas Aktivis Perempuan Helga Worotitjan saat dihubungi, Minggu (24/11).
Salah satu masalah utama dalam pelayanan terpadu adalah kurangnya pemahaman petugas tentang trauma dan lapisan kerentanan yang dialami korban. Ketika petugas tidak memiliki wawasan yang cukup, korban kerap merasa tidak nyaman atau bahkan enggan melapor. "Ini persoalan serius karena layanan terpadu seharusnya menjadi tempat pertama bagi korban untuk mencari perlindungan dan pemulihan," ujarnya.
Selain permasalahan internal, lemahnya koordinasi antarinstansi juga turut memperburuk situasi. Pelayanan terpadu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, seperti kepolisian, tenaga medis, psikolog, dan pendamping hukum. Namun, tanpa koordinasi yang jelas, pelayanan ini menjadi tidak efektif. "Anggaran dan infrastruktur juga belum memadai, sehingga beberapa daerah kesulitan menjalankan peraturan turunan UU TPKS," tambahnya.
Agar pelayanan terpadu dapat optimal, langkah-langkah perbaikan perlu dilakukan segera. Peningkatan kapasitas petugas melalui pelatihan berperspektif trauma, penambahan anggaran untuk mendukung operasional, serta kampanye budaya yang menghapus victim blaming adalah beberapa solusi yang dapat diambil.
Pelayanan terpadu tidak hanya soal menyediakan fasilitas, tetapi memastikan bahwa korban mendapatkan perlindungan yang layak. Keberhasilan UU TPKS akan sangat bergantung pada seberapa siap sistem ini mengakomodasi kebutuhan korban dengan empati, sensitivitas, dan keberpihakan. (Z-9)
SEORANG mahasiswi berusia 19 tahun korban kekerasan seksual di Karawang, Jawa Barat, dipaksa menikah dengan pelaku yang juga adalah pamannya sendiri.
SEJAK disahkan 9 Mei 2022, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum optimal ditegakkan dalam melindungi korban kekerasan seksual.
MENTERI Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi telah mengunjungi anak korban dugaan kekerasan seksual dan kedua orangtuanya.
Raja Faisal mendorong pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di setiap wilayah guna memberikan pendampingan kepada para korban.
Mayoritas korban enggan melaporkan kasusnya karena rasa takut dan malu, terutama karena pelaku berasal dari lingkungan terdekat.
Bupati Kebumen Lilis Nuryani mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berani melapor jika terjadi kekerasan.
Hingga kini, sudah ada 332 UPTD PPA yang tersebar di berbagai daerah. Namun, jumlah ini baru mencakup sekitar 60% kebutuhan nasional. Sebanyak 120 kabupaten/kota masih belum memilikinya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved