Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
FEMISIDA mayoritas dilakukan oleh orang-orang terdekat. Demikian temuan kelompok Jakarta Feminist berdasarkan pemantauan mereka terhadap pemberitaan media arusutama dalam beberapa tahun ke belakang.
“Perempuan yang memiliki relasi intim dengan pelaku menjadi korban yang paling banyak dalam kasus femisida. Ada 37%, dan mereka kebanyakan adalah istri, pacar, selingkuhan, kekasih gelap, mantan dan teman-teman,” kata Project Officer Jakarta Feminist Nur Khofifah, Selasa (3/12).
Femisida adalah pembunuhan perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga pelaku merasa boleh berbuat sesuka hatinya. Berdasarkan data Jakarta Feminist, pada tahun 2023 ada sebanyak 180 kasus femisidan di 38 provinsi dengan total 187 korban dan 197 pelaku.
“Di 38 provinsi ini ada tiga provinsi yang kita tidak temukan data, ataupun berita terkait dengan femisida di dalamnya. Kami menduga ada banyak kelemahan, mulai dari tiak ada kata kunci yang tepat untuk melihat data kasus femisidan di beberapa wilayah, yakni Papua Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara,” beber Khofifah.
Ia melanjutkan, selain dilakukan orang terdekat, ada ada pula kasus femisida yang dilakukan di ranah relasi non-personal. Pelakunya mulai dari tetangga, teman, hingga orang yang sama sekali tidak dikenal korban. Khofifah menjelaskan, 26% motif pembunuhan dari kasus ini sebagian besar terjadi karena adanya problem komunikasi atau cekcok antara korban dan pelaku.
Cara pembunuhan yang dilakukan sebagian besar dengan cara sadis, baik dengan tenaga fisik ataupun menggunakan senjata tajam dan benda tumpul. Selain itu, ada pula pelaku yang terus melakukan aksi keji meski korban telah meninggal.
Sayangnya, berdasarkan penelusuran Jakarta Feminist, ditemukan bahwa hanya 38% pelaku yang dijerat hukum. “Di tahun 2023 bahkan kami menemukan satu kasus femisida yang pelaku divonis bebas oleh pengadilan. Artinya, dalam proses peradilan femisida ini, kita masih menemukan banyak kekurangan, terutama di dalam menegakkan hukum menjerat pelaku isu femisida ini,” beber dia.
Khofifah juga menyoroti, dari banyaknya kasus femisida, tidak ditemukan adanya pelaku yang dijerat juga dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS. “Ini kami sangat menyayangkan. Ketika berbicara terkait dengan keadilan atau hak korban dan keluarganya, hak atas kejadian femisida yang diberikan para penegak hukum tidak sama sekali memberikan identifikasi bahkan penjelasan terkait hukum untuk dijerat kepada pelaku,” pungkas dia. (M-1)
Pantauan dari tahun ke tahun, jenis kasus femisida tertinggi adalah femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved