Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Peringatan, 70 Persen Populasi Dunia akan Dilanda Cuaca Buruk dalam 20 Tahun ke Depan

Ernest Narus
11/9/2024 07:51
Peringatan, 70 Persen Populasi Dunia akan Dilanda Cuaca Buruk dalam 20 Tahun ke Depan
Ilustrasi--Dua warga mengevakuasi barang milik mereka menggunakan perahu ketika banjir merendam di Desa Buhu, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Rabu (10/7/2024).(ANTARA/Adiwinata Solihin)

LAPORAN terbaru memperingatkan curah hujan ekstrem dan suhu yang membakar akan terjadi dalam dua dekade mendatang akibat perubahan iklim

Para ilmuwan di Norwegia memperkirakan hampir tiga perempat populasi global, sekitar 5,6 miliar orang, akan mengalami perubahan kondisi cuaca, jika emisi karbon tidak menurun.

Para ahli menemukan kawasan Spanyol, Italia, Maroko, Peru, India, Pakistan, dan Arab Saudi diperkirakan akan mengalami peningkatan suhu dan curah hujan yang 'jelas dan cepat'.

Baca juga : Inovasi Pengelolaan Risiko Bencana Hidrometeorologi

Bahkan dalam skenario paling optimistis sekalipun, lebih dari 1,5 miliar orang di seluruh dunia akan terkena dampak panas yang tak tertahankan, banjir bandang, dan banyak lagi.

"Pemotongan ini juga penting, tetapi untuk tahun-tahun mendatang kita terkunci pada masa depan yang lebih ekstrem," ungkap rekan penulis Bjørn Samset kepada MailOnline.

Para peneliti dari Pusat Penelitian Iklim Internasional CICERO di Oslo menggabungkan empat simulasi iklim besar untuk mengetahui seberapa banyak curah hujan dan suhu puncak yang mungkin berubah selama dua dekade berikutnya.

Baca juga : Gelombang Panas Melambat Akibat Perubahan Iklim, Memperpanjang Kesengsaraan

Sementara penelitian sebelumnya telah melihat bagaimana perubahan iklim dapat memengaruhi pola cuaca di tingkat negara, laporan ini mengambil perspektif yang lebih luas.

"Kami fokus pada perubahan regional, karena relevansinya yang meningkat terhadap pengalaman masyarakat dan ekosistem dibandingkan dengan rata-rata global, dan mengidentifikasi wilayah yang diproyeksikan mengalami tingkat perubahan yang substansial," papar Carley Iles, selaku penulis utama.

Di bawah konsep emisi tinggi ketika sedikit yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, metode ini menemukan bahwa sebagian besar wilayah dunia akan mengalami perubahan ekstrem.

Baca juga : DNA Gurita Ungkap Jejak Dampak Perubahan Iklim di Antartika

Dalam kasus ini, kawasan seperti Mediterania, Amerika Barat Laut dan Selatan, serta Asia Timur diperkirakan akan mengalami 'tingkat perubahan yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya selama dua dekade atau lebih'.

Secara kolektif, kawasan yang diperkirakan akan mengalami perubahan cepat dalam peristiwa cuaca ekstrem akan mencakup 70% populasi dunia (5,6 miliar) kecuali emisi dikurangi secara drastis.

Inggris, bersama dengan wilayah Eropa Utara lainnya, diperkirakan tidak mengalami perubahan suhu yang cepat tetapi dapat mengalami peningkatan signifikan dalam puncak curah hujan. 

Baca juga : Gawat, Pemanasan Global Bisa Buat Turbulensi Pesawat Makin Sering

Namun, laporan ini juga menunjukkan bahwa mungkin sudah terlambat untuk membatalkan beberapa konsekuensi perubahan iklim yang disebabkan manusia.

"Hal utama yang dapat diambil adalah seberapa cepat kondisi cuaca akan berubah di seluruh dunia selama dua dekade mendatang, terlepas dari adanya pengurangan emisi," ungkap Samset.

Dalam konsep emisi rendah ketika gas rumah kaca dipotong cukup cepat untuk memenuhi persyaratan Perjanjian Paris, 20% populasi dunia (1,6 miliar) akan tetap terpengaruh.

Jika emisi dikurangi, perubahan paling dramatis akan terbatas pada Jazirah Arab dan Asia Selatan.

"Pemotongan emisi berhasil, tetapi perubahan yang telah kita sebabkan begitu kuat sehingga akan mendominasi untuk beberapa saat lagi," tambah Samset.

Seperti yang ditunjukkan para peneliti, masyarakat dan ekosistem dapat menoleransi sejumlah variasi alam dalam hal cuaca.

Karena fluktuasi siklus dalam iklim dan pola musiman seperti El Niño , suhu puncak dan curah hujan berubah seiring waktu.

Akan tetapi, bila laju perubahan melampaui tingkat tertentu, hal ini dapat melampaui kemampuan adaptasi alam dan masyarakat manusia.

Jika dunia terus menjadi lebih panas dan basah pada tingkat yang diprediksi oleh para peneliti, ini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya peristiwa ekstrem.

Misalnya, pada 2021, wilayah Pasifik Barat Laut AS mengalami gelombang panas dengan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa itu mengakibatkan banyak lokasi pecahkan rekor suhu maksimum sepanjang masa hingga lebih dari 5 derajat Celcius.

Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa peristiwa ini tidak akan mungkin terjadi jika bukan karena dampak perubahan iklim.

Dalam laporan terbaru mereka yang diterbitkan di Nature Geoscience, para penulis memperingatkan bahwa dampak dari peristiwa seperti ini dapat mencakup kematian dan kehancuran.

"Gelombang panas dapat menyebabkan kematian berlebih pada manusia dan ternak, tekanan pada ekosistem, berkurangnya hasil pertanian, kesulitan dalam mendinginkan pembangkit listrik, dan gangguan transportasi," kata mereka. 

"Masyarakat tampaknya sangat rentan terhadap tingkat perubahan ekstrem yang tinggi, terutama ketika beberapa bahaya meningkat sekaligus." lanjut mereka.

Hal ini sangat mengkhawatirkan karena wilayah-wilayah diprediksi akan mengalami perubahan paling cepat adalah negara-negara berpendapatan rendah yang sangat rentan terhadap dampak cuaca ekstrem.

Laporan ini juga menemukan bahwa beberapa upaya untuk memerangi dampak manusia terhadap lingkungan justru dapat memperburuk cuaca ekstrem.

Misalnya, dalam proses yang disebut 'pendinginan permukaan yang diinduksi aerosol', polutan di udara menghalangi sebagian sinar matahari yang seharusnya mencapai Bumi.

Efek ini sebetulnya telah menjaga pemanasan global agar tetap terkendali selama 50 hingga 100 tahun terakhir dan telah menutupi sebagian dampak terburuk.

Langkah untuk menghilangkan polusi udara berbahaya akan memungkinkan lebih banyak radiasi mencapai Bumi yang menyebabkan lonjakan suhu lokal dan khususnya musim hujan basah.

Tentu saja, mengurangi polusi udara sangat penting bagi kesehatan masyarakat. Para peneliti tidak menyarankan polusi udara tidak boleh ditangani. 

"Pembersihan polusi udara yang cepat, sebagian besar di Asia, menyebabkan percepatan peningkatan suhu ekstrem yang terjadi secara bersamaan dan memengaruhi musim panas di Asia," ungkap Laura Wilcox, seorang ahli meteorologi dari Universitas Reading.

"Kini, pembersihan yang diperlukan mungkin bergabung dengan pemanasan global dan menimbulkan perubahan sangat kuat dalam kondisi ekstrem selama beberapa dekade mendatang," tutupnya. (Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya