Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada Terdakwa Gregorius Ronald Tannur atas kasus femisida, telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya dan menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan serta meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Komisioner Tiasri Wiandani menyampaikan kekecewaan pihaknya atas vonis bebas tersebut, mengingat rangkaian perlakuan terdakwa, CCTV yang beredar, dan hasil visum et repertum yang menunjukkan adanya luka pada hati akibat benda tumpul dan bekas lindasan pada ban mobil Terdakwa hingga berujung menyebabkan korban berakhir dengan kematian.
“Upaya terdakwa untuk menolong korban bukan berarti menghilangkan fakta bahwa terdakwa tidak melakukan penganiayaan, bahkan seharusnya dapat dilihat upaya pertolongan yang dilakukan terdakwa terlambat atau lalai yang menyebabkan korban tewas,” ujarnya seperti dilansir dari Keterangan Pers yang diterima Media Indonesia pada Minggu (28/7).
Baca juga : Maraknya Kasus Femisida Wujud Kegagalan Negara Ciptakan Ruang Aman bagi Perempuan
Komnas Perempuan sejak 2017 telah melakukan pemantauan pemberitaan kematian perempuan. Pada 2023 terpantau 159 kasus dengan indikator femisida. Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim (intimate partner femicide/IPF) yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
Pada 2023 femisida intim mencapai 67% dari keseluruhan kasus femisida yang diberitakan, termasuk dalam relasi pacaran seperti yang terjadi pada korban dan terdakwa. Dikenali bahwa femisida intim dalam relasi perkawinan atau pacaran menjadi puncak dan eskalasi dari berbagai kekerasan dan ketidakadilan berbasis gender yang dialaminya.
Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan bahwa sistem hukum di Indonesia belum mengatur femisida sebagai tindak pidana sendiri, namun dapat dijangkau dengan pasal-pasal pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan yang menyebabkan kematian dan kelalaian yang menyebabkan kematian.
Baca juga : Pembunuhan Perempuan Terus Terjadi, Mengapa?
“Sementara untuk pemeriksaan kasus, Hakim telah diberikan panduan untuk menggali berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dialami korban dan dampaknya melalui Perma 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum,” jelasnya.
Kendati demikian, Aminah mengapresiasi penyidik dan jaksa penuntut umum (JPU) yang telah mengkonstruksikan kasus ini dengan dakwaan yang berlapis mulai dari pembunuhan, penganiayaan yang menyebabkan kematian, dan tidak hanya dengan menuntut pidana, serta menambahkan untuk membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp 263,6 juta.
“Restitusi ini menunjukkan perspektif dan keberpihakan kepada keluarga korban khususnya anak korban yang kehilangan Ibu yang selama ini membiayainya. Kami mengharapkan pola penggabungan tuntutan pidana dan pembayaran ganti kerugian ini dapat diadopsi oleh jaksa penuntut umum lainnya,” imbuhnya.
Baca juga : Ayo Sadari Bahaya Femisida di Indonesia
Sebelumnya, peristiwa penganiayaan yang menyebabkan kematian ini terjadi pada Selasa, 3 Oktober 2023, dan pemberitaan kasus ini menunjukkan proses yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa terhadap korban yaitu pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit.
“Rangkaian penganiayaan ini menunjukkan bahwa ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya,” kata Aminah.
Sementara itu, Komisioner Theresia Iswarini menjelaskan kebijakan yang diberikan untuk pemulihan keluarga korban femisida mengacu pada hasil pengembangan pengetahuan di berbagai negara, merupakan tahapan penting dalam proses penanganan kasus pembunuhan perempuan. Kebijakan tersebut berupa pemberian pendampingan psikologis, peer support serta bantuan finansial kepada keluarga korban.
“Kita memerlukan kebijakan pemulihan pada keluarga korban femisida karena dapat menjadi kunci untuk keluarga korban femisida yang terkena dampak secara psikis agar dapat memulihkan dirinya. Juga restitusi dan bantuan finansial dari pemerintah juga berguna sekurangnya untuk mencegah kemiskinan absolut yang mungkin muncul akibat hilangnya perempuan dalam suatu keluarga, ujarnya mempertegas pentingnya pemulihan keluarga korban,” pungkasnya.
Setelah membunuh istri, pelaku mendatangi rumah tetangganya pada tengah malam dan secara terbuka mengakui perbuatannya.
Seorang perempuan berinisial RK, berusia 25 tahun, diduga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga tewas. Pelaku diduga adalah suaminya sendiri, JN, berusia 36 tahun.
Vance Luther Boelter didakwa membunuh legislator Melissa Hortman dan penembakan terhadap senator negara bagian Minnesota, John Hoffman.
Kemudian, terdakwa menghampiri korban untuk meminta sebatang rokok dan dijawab korban tidak ada.
PELAKU AS, 21, membunuh atasannya yang merupakan bos sembako berinisial ALS, 64, di Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat, karena tersinggung dengan perkataan korban.
POLISI mengungkap motif di balik pembunuhan tragis yang terjadi di Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Komnas Perempuan memandang kematian Juwita dikategorikan femisida.
Komnas Perempuan juga telah menggagas pedoman untuk membangun organisasi yang inklusif serta pedoman bebas kekerasan berbasis gender yang telah menjadi rujukan banyak pihak.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan yang disengaja karena faktor gendernya.
Ketersediaan data tentang kasus femisida menjadi hal yang sangat penting sebagai pintu masuk proses analisis kerentanan perempuan.
Pantauan dari tahun ke tahun, jenis kasus femisida tertinggi adalah femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi.
Berdasarkan data Jakarta Feminist, pada tahun 2023 ada sebanyak 180 kasus femisidan di 38 provinsi dengan total 187 korban dan 197 pelaku.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved