Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
HAMPIR setiap pekan, publik dikejutkan dengan kasus-kasus femisida yakni pembunuhan sadis pada perempuan yang disertai kekerasan fisik dan seksual. Setiap tahun, kasus femisida terus meningkat seiring dengan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan bahwa meningkatnya kasus femisida akhir-akhir ini menunjukan adanya kegagalan negara dalam menciptakan ruang hidup yang aman bagi perempuan serta terjadinya penurunan nilai-nilai sosial di masyarakat.
“Berbagai kasus kekerasan yang marak terjadi belakangan ini menunjukkan sudah semakin terkikisnya nilai-nilai sosial pada pranata sosial mikro dengan melibatkan interaksi yang intens. Biasanya, kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh orang yang dikenal dekat oleh pelaku, kondisi ini juga mengindikasikan ketiadaan nilai atau yang biasa disebut sebagai anomie,” ujar Rissalwan kepada Media Indonesia pada Selasa (7/5).
Baca juga : Pembunuhan Perempuan Terus Terjadi, Mengapa?
Rissalwan menjelaskan Anomie adalah penyimpangan sosial dimana masyarakat tidak banyak memberikan petunjuk moral kepada individu atau komunitasnya sehingga hilangnya rasa kemanusiaan dan mudah melakukan perilaku sadisme bahkan kepada orang terdekat.
“Kondisi anomie ini tentunya sangat mudah terpicu untuk melakukan tindakan sosial yang diluar standar kemanusiaan, termasuk menghilangkan nyawa dan bahkan melakukan mutilasi untuk menghilangkan jejak penghilangan nyawa tersebut,” jelasnya.
Menurut Rissalwan, kasus pembunuhan sadis yang dilakukan laki-laki pada perempuan, termasuk suami pada istri, terjadi karena berbagai faktor, baik dalam skala kecil maupun besar, misalnya seperti kemiskinan, akses layanan dan kondisi kesehatan mental serta faktor kondisi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Baca juga : Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks
“Kasus femisida bukanlah perilaku budaya melainkan resultan dari interaksi sosial anonimitas antar individu yang berinteraksi secara intensif. Motif untuk tindak kekerasan ini bisa apa saja dan bisa saja motif kecil semata, tapi harus dipahami bahwa tindakan kekerasan tersebut merupakan puncak dari rangkaian rasa kesal berkepanjangan antara pelaku dan korban,” ujarnya.
Diketahui, sejumlah data menunjukkan mayoritas pelaku kekerasan merupakan orang terdekat, seperti suami, pacar, atau mantan suami/pacar. Data itu antara lain terdapat pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun 2022. Simfoni mencatat, dari 11.266 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan 11.538 korban, pelaku terbanyak adalah pasangan.
Terpisah, Koordinator Perubahan Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta Dian Novita mengatakan pendokumentasian data terpilah gender terkait korban femisida di Indonesia belum tersedia secara komprehensif dan masih dipetakan berdasarkan pada pemberitaan media.
Baca juga : Pahami UU TPKS untuk Lawan Kekerasan Seksual
“Untuk trend terkait Femisida ini kita melihat masih dari berita-berita yang terjadi di media dan belum pernah melakukan kajian tentang ini. Istilah Femisida sendiri masih sangat baru di masyarakat kita, istilah ini mulai banyak diperbincangkan setelah Komnas Perempuan menyampaikan laporan terkait femisida tahun 2017,” ujarnya.
Kendati demikian, hingga saat ini LBH Apik belum pernah menerima laporan terkait pembunuhan terhadap perempuan karena ketidakadilan gender seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran dan lainnya.
Sementara untuk kasus kekerasan terhadap perempuan secara umum masih tinggi. Tercatat pada tahun 2023, ada sekitar 1141 kasus yang dilaporkan dengan 3 kasus tertinggi yaitu 497 kasus kekerasan seksual, jenis KDRT sebanyak 201, dan kekerasan dalam pacaran sebanyak 141 kasus.
Baca juga : Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Didominasi KDRT
Menurut Dian, pemahaman tentang pembunuhan terhadap perempuan karena gender atau jenis kelaminnya masih dipahami sama dengan isu pembunuhan yang lain. Sehingga aparat penegak hukum memandangnya bukan dari segi kekerasan terhadap perempuan.
“Sehingga penegak hukum luput melihat keterhubungan kasus femisida dengan isu ketidaksetaraan gender, sehingga pencegahan dan penanganan awal tidak melihat akar dan sebab terjadinya pembunuhan tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Dian menjelaskan bahwa pihaknya juga mengalami hambatan untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan mulai dari substansi penegakan hukum hingga kelengkapan administrasi.
“Ada beberapa faktor kendala seperti substansi hukum yang belum dipahami aparat penegak hukum, pengambil kebijakan yang masih luput melihat isu spesifik kekerasan berbasis gender, dan faktor di masyarakat yang menganggap masalah kekerasan terhadap perempuan adalah masalah privat, aib yang harus ditutupi oleh perempuan untuk menjaga nama baik keluarga, sehingga minim support sistem untuk perempuan korban,” ungkapnya.
LBH APIK saat ini terus mendorong para pengambil kebijakan terutama Aparat Penegak Hukum (APH) untuk memperbaharui hukuman pidana yang berkeadilan bagi pelaku korban.
“Dorongan dan rekomendasi dari LBH APIK Jakarta salah satunya adalah agar DPR RI melakukan pembaharuan hukum pidana untuk pembunuhan yang menyertai kekerasan berbasis gender, untuk pemerintah melakukan kampanye yg masif untuk pengertian femisida dan pencegahannya,” jelasnya.
Terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Ratna Susianawati menjelaskan bahwa pihaknya akan terus mendorong aparat kepolisian dapat mengusut tuntas kasus tersebut dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku femisida sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Lagi-lagi perempuan yang jadi korban. Ini yang harus menjadi perhatian serius kita semua maka edukasi dan literasi untuk meningkatkan empati masyarakat harus terus dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, proses hukum terhadap pelaku harus ditegakkan dalam kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan dan kami akan terus melakukan pendampingan terhadap penanganan kasus,” imbuhnya.
Ratna menyatakan empati masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, keberanian untuk melapor bila mengetahui, mendengar, atau melihat terjadinya kekerasan di lingkungan sekitar mereka juga menjadi upaya penting untuk mengungkap kasus-kasus yang ada.
"Empati keluarga dan masyarakat karena persoalan ini butuh empati bersama. Harus ada kerja bersama, harus ada rasa yang dibangun oleh masyarakat, oleh siapapun yang melihat, mendengar. Makanya ada ruang aksesibilitas. Tidak harus dari korban (yang melapor), tetapi siapapun yang menduga, melihat, mengidentifikasi ada kasus itu," pungkasnya. (Dev/Z-7)
PERNYATAAN cawagub Jakarta nomor urut 1 Suswono, agar janda kaya menikahi pengangguran dianggap sebagai seksisme oleh Komnas Perempuan.
Contohnya, masih ada saja anggota Polri yang mengabaikan laporan korban.
Adapun pertimbangan penahanan tersebut salah satunya agar Rizky mengulangi perbuatan yang saka terhadap korban.
POLDA Metro Jaya akan melibatkan psikiater dan psikolog menangani trauma yang dialami korban sekaligus tersangka kasus KDRT di Depok, Jawa Barat, Putri Balqis.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pasutri Putri Balqis dan Bani Idham Fitriyanto Bayumi viral lantaran Putri yang menjadi korban malah ditahan oleh polisi.
KASUS kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pasutri di Depok, Jawa Barat, oleh Bani Bayumi terhadap suaminya Putri Balqis telah terjadi berulang kali (voortgezet delict), sejak 2016.
Femisida yang terpantau paling banyak terjadi di ranah rumah tangga atau personal yang dilakukan dalam dalam relasi keluarga, perkawinan maupun pacaran.
Komnas Perempuan menyampaikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung pembunuhan merupakan bagian dari femisida. Data PBB mengungkap 80% dilakukan oleh orang terdekat
Pada 2023 femisida intim mencapai 67% dari keseluruhan kasus femisida yang diberitakan, termasuk dalam relasi pacaran seperti yang terjadi.
Di ranah hukum, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan ditangani sebagai tindak pidana sebagaimana umumnya.
Selama 20 tahun usia UU PKDRT, berbagai kelemahan UU tersebut sudah banyak dipelajari. Terutama sejumlah tren makin berkembang seperti fenomena femisida yang berawal dari KDRT.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved