Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Komnas Perempuan Catat Ada 290 Kasus Femisida dalam Setahun Terakhir

Ihfa Firdausya
10/12/2024 17:21
Komnas Perempuan Catat Ada 290 Kasus Femisida dalam Setahun Terakhir
(MI/Ihfa Firdausya)

KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan laporan Pemantauan Femisida 2024. Femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Pembunuhan itu didorong superioritas, dominasi, hegemoni, agresi maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik.

Dalam laporan tersebut, Komnas Perempuan mencatat 290 kasus femisida yang dipantau melalui pemberitaan media online pada periode 1 Oktober 2023 sampai 31 Oktober 2024. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa yang dipantau adalah peristiwa di tahun 2024, bukan berita di tahun 2024.

“Dari proses pemantauan itu, ada 73.376 berita kematian perempuan. Kemudian kami sortir berdasarkan tahun, peristiwa, lokasi, ditemukan 33.225 berita. Dari angka itu kami analisis, kami tarik berdasarkan indikator-indikator femisida, ditemukan ada 290 kasus femisida,” ujarnya dalam peluncuran laporan secara daring, Selasa (10/12).

Angka femisida 2024 itu lebih tinggi dari laporan tahun 2023 sebanyak 159 kasus, dan lebih rendah dari laporan 2022 sebanyak 307 kasus. Namun Siti menyebut bahwa Komnas Perempuan belum memiliki keajekan dalam melakukan pemantauan secara utuh terhadap media.

“Misalnya pada 2024 ini periode pemantauannya Oktober 2023 ke Oktober 2024. Di 2023, periode pemantauannya November 2022 ke Oktober 2023, pada 2021 Juni 2021 ke Juni 2022. Angkanya (2022) sepertinya tinggi dibandingkan tahun 2024. Namun indikator femisidanya menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan yang baru kami hasilkan di tahun 2021 dan 2022,” paparnya.

Ia menegaskan bahwa data tersebut belum ajek sehingga tidak menggambarkan keseluruhan kasus-kasus femisida yang terjadi di Indonesia. “Namun data ini kami harapkan menjadi basis bahwa femisida itu ada, bahwa ada data yang diperlukan lebih detail untuk mengenali femisida. Ini adalah upaya untuk mengangkat pengalaman perempuan atau kematiannya,” ujar Siti.

Dari 290 kasus femisida yang berhasil diidentifikasi, Provinsi Jawa Barat menempati urutan teratas  dengan 41 kasus, disusul Jawa Timur (38 kasus), Jawa Tengah (29), Sumatra Utara (24), Sumatra Selatan (15), Sulawesi Selatan (13), dan seterusnya. Siti menyebut bahwa data itu tidak dapat dilepaskan dari pemberitaan yang dihasilkan.

Namun sebaran kasus femisida berdasarkan provinsi ini juga selaras dengan data kasus kekerasan berbasis gender, yang mana provinsi-provinsi di Jawa, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan, juga menempati urutan yang tinggi.

“Ini juga menjadi ruang bagi kita untuk menelisik lebih jauh. Selain konteks bahwa mungkin karena jurnalis tidak memberitakan atau media online terbatas di luar provinsi-provinsi ini, tapi juga untuk melihat mengapa kekerasan berbasis gender dan femisida cukup tinggi di provinsi tersebut,” katanya.

Sementara itu, jenis femisida yang paling banyak terungkap di tahun 2024 adalah femisida intim, yaitu femisida yang dilakukan oleh suami yang mencapai 26% atau 71 kasus. Kemudian oleh pacar 17% atau 47 kasus, oleh anggota keluarga 11% atau 29 kasus.

“Selain femisida intim dan femisida oleh anggota keluarga, yang juga hampir sama dengan laporan sebelumnya adalah femisida di industri seks. Ini dilakukan oleh pengguna jasa seksual, terdapat 16 kasus atau 6%,” paparnya.

Sementara motif femisida terbesar juga sama dengan pemantauan tahun-tahun sebelumnya yaitu cemburu atau sakit hati. Kemudian disusul dengan yang tidak disebutkan, kekerasan seksual, dan perselisihan terkait layanan seksual.

Siti menyebut pihaknya masih mengalami keterbatasan pemantauan. Misalnya pemberitaan yang berulang dari satu kasus, perbedaan waktu berita ditayangkan dan waktu terjadinya femisida, kasus yang tidak terdeteksi melalui kata kunci, hingga konstruksi kasus tidak didapatkan secara utuh.

Ketua Bidang Resource Center Komnas Perempuan Retty Ratnawati menekankan bahwa ketersediaan data tentang kasus femisida menjadi hal yang sangat penting sebagai pintu masuk proses analisis kerentanan perempuan.

“Mengacu pada hal ini, Komnas Perempuan menginisiasi pemantauan data sekunder berupa pantauan media pada kasus pembunuhan terhadap perempuan. Hal ini dilakukan sebagai komplementer ruang kosong data yang seharusnya diupayakan oleh negara,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Retty menyebut bahwa saat ini istilah femisida sudah mulai dikenal. Hal itu terbukti dari munculnya berbagai inisiatif kampanye penghapusan femisida di media sosial, banyaknya pemberitaan yang memakai istilah femisida, hingga mulai munculnya sejumlah penelitian femisida di Indonesia.

“Namun capaian itu masih sangat kecil untuk mampu mencegah dan menangani femisida sebagai bagian dari kekerasan berbasis gender,” pungkas Retty. (S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya