Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KEKERASAN berbasis gender kerap menjadi isu yang kompleks, terlebih ketika berbiara dalam konteks perempuan adat. Ketua Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Devy Anggrainy menyatakan, kekerasan berbasis gender yang diahadapi perempuan adat tidak hanya mencakup kekerasan fisik dan psikologis, tapi juga perampasan hak kolektif, penghilangan ruang kelola dan marginalisasi struktural.
Ia menjelaskan, perempuan adat kerap menghadapi lapisan tantangan yang berakar pada marginalisasi wilayah kelola adat, perubahan kebijakan yang tidak berpihak, hingga krisis subsistensi yang semakin menghimpit mereka.
“Perempuan adat adalah mereka yang terikat pada kehidupannya di suatu wilayah dengan norma, aturan, serta tanggung jawab sosial tertentu. Peran mereka sering kali diabaikan, terutama dalam konteks pengelolaan wilayah yang komunal,” ujar Devy.
Ia menambahkan, perempuan adat memiliki peran besar dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya alam yang diwariskan secara turun-temurun. Namun, peran tersebut kerap tergerus oleh perampasan lahan adat, pembangunan masif, hingga eksploitasi sumber daya alam yang tidak melibatkan perspektif perempuan adat.
“Perampasan ini terjadi secara masif. Sebagai contoh, di Merauke, ada pembukaan lahan satu juta hektare. Ini ruang-ruang produktif perempuan adat yang hilang. Dampaknya bukan hanya sulitnya air bersih, tetapi juga menghilangkan kemampuan perempuan adat untuk menjalankan ritual dan memproduksi obat-obatan alami,” jelas Devy.
Menurut Devy, proses ini tidak hanya memiskinkan perempuan adat secara ekonomi tetapi juga meminggirkan peran mereka secara sosial dan politik. “Ketika peran perempuan adat tidak lagi terlihat, identitas mereka akan hilang. Secara politik, mereka tidak hadir,” katanya.
Sejak dideklarasikan pada 2012, Perempuan AMAN terus mendorong pengakuan atas perempuan adat dan hak kolektifnya. Salah satu langkah konkret adalah melalui engendering participatory mapping atau pemetaan partisipatif berbasis gender. “Pemetaan ini menempatkan kepentingan dan perspektif perempuan atas ruang-ruang hidup. Di beberapa tempat, seperti Jayapura, ada hutan perempuan yang pengelolaannya diserahkan kepada perempuan adat. Mereka yang menentukan siapa yang boleh masuk, kapan, dan apa yang boleh diambil,” ungkap Devy.
Selain itu, Devy menyoroti dampak bantuan sosial terhadap perempuan adat. Menurut dia, justri bantuan ini sering kali menghancurkan kemandirian perempuan adat. “Ketika air bersih sulit didapatkan karena kerusakan lingkungan, perempuan adat terpaksa membeli air. Ketergantungan seperti ini justru merusak kemampuan mereka untuk mengelola potensi wilayah adatnya,” ujarnya.
Salah satu upaya yang kini digalakkan adalah pendokumentasian pengalaman perempuan adat, termasuk kekerasan berbasis gender. Pendokumentasian ini tidak hanya menghasilkan data tetapi juga menjadi alat refleksi bagi perempuan adat untuk memahami dan memperjuangkan hak mereka. “Proses ini memungkinkan perempuan adat membangun posisi tawar dengan pemerintah. Misalnya, di beberapa tempat di Papua, perempuan adat kini sudah bisa duduk di para-para adat meskipun masih sebagai pendengar. Ini awal yang baik,” kata Devy.
Menurut dia, hal penting yang perlu dilakukan untuk mengatasi kekerasan berbasis gender ialah mendorong kembali Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. “RUU ini penting agar perempuan adat dan hak kolektifnya mendapatkan pengakuan yang layak. Tanpa itu, proses marginalisasi ini akan terus berlangsung dan menghancurkan kemandirian perempuan adat,” pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Aktivis lingkungan, gender, HAM, dan perempuan adat Arimbi Heroepoetri mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender pada perempuan adat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk pengabaian, peminggiran, dan minimnya penghargaan terhadap identitas serta peran perempuan adat. "Kekerasan itu selalu diasosiasikan dengan dipukul atau tindakan fisik. Padahal, pengabaian dan peminggilan juga merupakan bentuk kekerasan yang tidak terlihat," ujar Arimbi.
Arimbi menyoroti hasil pemetaan yang dilakukan oleh Perempuan AMAN di 28 desa, 24 komunitas, dan 9 provinsi dengan 537 responden. Temuannya menunjukkan bahwa perempuan adat sering kali tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah kekerasan berbasis gender.
"Kita perlu memberikan penamaan pada pengalaman-pengalaman ini agar mereka memahami bahwa apa yang mereka alami bukanlah sesuatu yang normatif," tambahnya. Ia juga menegaskan pentingnya dokumentasi berbasis komunitas untuk mendekonstruksi bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan adat.
Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemulihan trauma bagi korban kekerasan berbasis gender. Arimbi mengungkapkan bahwa penanganan korban sering kali hanya menyentuh aspek fisik tanpa menyentuh dampak psikologis dan sosial yang lebih mendalam. "Pemulihan bagi korban jarang ada, bahkan sering kali korban hanya menyimpan sendiri rasa sakitnya hingga bertahun-tahun," jelasnya. Ia juga mengkritik pendekatan penyelesaian berbasis keluarga atau adat yang kerap tidak memenuhi rasa keadilan korban.
Selain kekerasan langsung, perempuan adat juga menghadapi dampak struktural seperti hilangnya lahan dan ruang hidup yang mengakibatkan keterbatasan akses terhadap sumber daya. "Hilangnya ruang hidup itu juga berarti hilangnya pengetahuan dan ekspresi budaya," ujar Arimbi. Ia menekankan bahwa negara dan masyarakat perlu melibatkan perempuan adat secara aktif dalam pengambilan keputusan pembangunan, terutama karena masyarakat adat adalah tiang bangsa Indonesia.
Dalam konteks pembangunan nasional, Arimbi menyebut fenomena atap kaca, di mana perempuan adat sering kali terlihat namun tidak diakui secara substansial dalam proses pengambilan keputusan. Ia pun menyerukan dialog nasional untuk merumuskan langkah strategis dalam menangani kekerasan berbasis gender pada perempuan adat. “Kita perlu memastikan ada konsen yang terinformasi secara bebas sebelum membuat keputusan yang memengaruhi perempuan adat,” pungkasnya. (Ata)
Dunia Tanpa Luka dirancang untuk memberikan edukasi, meningkatkan kesadaran, serta mendorong tindakan nyata dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menghargai dan menghormati diri sendiri adalah langkah pertama untuk berkata tidak pada kekerasan dalam bentuk apapun.
Ketersediaan data tentang kasus femisida menjadi hal yang sangat penting sebagai pintu masuk proses analisis kerentanan perempuan.
16HAKTP adalah momen penting untuk meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap isu-isu yang dihadapi perempuan dan anak, termasuk ketidaksetaraan akses transportasi yang aman.
"Setiap saat tanah kami, tanah leluhur kami itu dirampas. Setiap saat tambang-tampang datang dalam bentuk bulldozer, PSN dalam bentuk bulldozer."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved