Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Ketua PB IDI: Saya Selalu Berusaha Memberi Nilai Positif, Hidup Mengalir Saja

Basuki Eka Purnama
29/8/2023 07:43
Ketua PB IDI: Saya Selalu Berusaha Memberi Nilai Positif, Hidup Mengalir Saja
Ketua PB IDI Muhammad Adib Khumaidi(MI/M IRFAN)

MUHAMMAD Adib Khumaidi terlahir bukan dari keluarga dokter. Namun, impian kedua orangtuanya agar ia menjadi dokter sukses diwujudkannya. Di sela-sela kesibukan sebagai dokter bedah dan pemimpin organisasi, ayah dari tiga anak itu memiliki hobi memelihara anggrek. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI)ini  pun mengaku tidak pernah memasang target untuk dicapai dalam hidup dan kariernya, semua dibiarkan mengalir saja.

Menjadi dokter apakah memang cita-cita Anda sejak kecil?

Sebenarnya enggak juga. Saat SMA kan saya jurusan Fisika. Kebetulan lebih suka teknik. Pada 1992, saat ingin kuliah, saya diterima di Sekolah Tinggi (STT) Telkom Bandung dan juga di Fakultas Kedokteran Unair Surabaya.  Tapi karena ada amanah keluarga, terutama keluarga dari ayah yang ingin ada anaknya yang jadi dokter, akhirnya saya pilih masuk Kedokteran. 

Baca juga : Para Dokter Menolak UU Kesehatan, Ini Alasannya Menurut Ketua Umum PB IDI

Jadi soal “darah dokter”, saya enggak ada. Cuma memang doanya orang tua yang ingin anaknya jadi dokter.

Apa harapan orangtua sehingga mendorong Anda jadi dokter?

Ayah saya saat itu menyampaikan bahwa dokter itu adalah sebuah profesi yang membawa dua manfaat sekaligus. Pertama, manfaat duniawi, yakni kalau melayani pasien dan pasien itu sembuh, kamu mendapatkan hasil,  katakanlah itu  gaji atau insentif. Tapi ada satu manfaat lagi,  aitu manfaat akhirat. Kalau pasien sembuh, dia bukan sekadar membayar saja, tapi akan mendoakanmu. 

Baca juga : Jejak Dokter Dalam Sejarah Berdirinya Kementerian Agama 

Jadi amanah orangtua itu bukan konteksnya bahwa jadi dokter nanti saya akan kaya, banyak duit, enggak. Tapi lebih ke aspek sosialnya, ibadah. 

Alhamdulillah, sebelum mereka berdua meninggal, mereka sudah tahu bahwa saya sudah masuk dalam level yang bisa membanggakan mereka, baik dari sisi ekonomi maupun sisi status sosial. 

Biaya kuliah kedokteran dinilai mahal. Anda merasakan itu juga? 

Baca juga : IDI Gelar Pengobatan Gratis Bersama Dokter Spesialis di Raja Ampat

Kami itu bukan dari keluarga mampu untuk membiayai sekolah di kedokteran. Tapi ada satu keuntungan karena saat kuliah saya aktif di organisasi. Sejak semester 4 atau 5 saya bisa mencari uang sendiri. 

Bagaimana cara Anda mencari uang padahal juga kuliah?

Sejak semester 5 itu saya sudah bisa khitan orang, bisa nyunat.  Kita sudah belajar khitan, dari semester tiga. Dari situ kan ada job gitu. Kan dulu belum ada UU Praktik kedokteran sehingga kita kadang-kadang sudah bisa menggantikan dokter.  Buat kami mahasiswa sebenarnya hal seperti itu membantulah.

Baca juga : IDI Siagakan Tenaga Kesehatan untuk Penanganan Korban Bencana Erupsi Gunung Marapi

Kalau dibilang orangtua waktu itu kesulitan pembiayaan, ya alhamdulillah ada saja rezeki sehingga mereka pun tidak merasa ada beban. 

Pengalaman sebagai aktivis sudah dijalani sejak kapan?

Sejak SMA, jadi pengurus OSIS, lalu saat kuliah aktif di organisasi  ekstrakurikuler HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).  Nah HMI itu yang kemudian menjadikan saya terus aktif di organisasi sampai ke tingkat nasional.

Baca juga : Kendari Jadi Tuan Rumah Rakernas IDI dan IIDI

Bagaimana cerita perjalanan Anda sebagai aktivis, jadi dokter, lalu masuk IDI dan jadi ketua umum?

Pada 2000, ada fase saya ikut program dokter PTT (pegawai tidak tetap). PTT-nya saat itu di Brigade Siaga Bencana. Ini kelompok dokter-dokter yang memang disiapkan untuk turun ke daerah bencana, langsung di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan. Saya termasuk angkatan I.

Saat itu sebenarnya saya maunya hanya  PTT saja, mau meniti jenjang karier sebagai dokter saja. Kebetulan saya lulusan Fakultas Kedokteran, pengen-nya di birokrat saja. 

Baca juga : IDI Mempertegas Peran dan Karya Nyata Dokter Bagi Masyarakat dalam HUT ke-73 

Tapi pada saat saya menjalani proses di PTT, itu sedikit mengubah mindset saya. Saya lalu merasa lebih senang jika nanti menjadi seorang spesialis. Saat itu pun saya sudah sedikit mengurangi waktu di kegiatan aktivis di HMI tingkat nasional. 

Tapi, ya sekali lagi, karena darah aktivis tadi, kami lalu membentuk organisasi baru, namanya Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia. Saat itu sekitar 2021. Di situ kemudian saya bertemu dan berinteraksi lagi dengan senior-senior saya di IDI. 

Saat mulai masuk IDI, saat itu ketua umumnya Profesor Faried (Faried Anfasa Moeloek, Ketua Umum PB IDI 2003-2006). Beliau itu tempat saya belajar banyak, bisa berdiskusi. Saya bisa menimba ilmu pada senior-senior di IDI pada saat itu. Itu yang jadi fondasi dasar dalam membentuk karakter saya di IDI hingga saat ini.

Baca juga : Ikatan Dokter Indonesia, Semakin Matang dan Mengakar

Apakah orangtua Anda juga aktivis?

Ibu saya ibu rumah tangga biasa. Ayah saya dulu cuma PNS di Departemen Agama. Kalau di kampung, ya, kiai kampung. Tapi beliau memang aktif di organisasi, beliau pernah wakil ketua MUI Lamongan, juga pernah jadi utusan golongan di DPRD tingkat II juga. Kemudian salah satu rais syuriah. Jadi, background saya di organisasi itu dari beliau. 

Sebagai mahasiswa aktivis, apakah saat itu mengganggu kuliah?

Baca juga : IDI dan Keniscayaan Perubahan

Ya ada satu fase di mana saya agak telat juga kuliahnya. Saya tidak menyalahkan organisasinya sampai kuliah telat. Mungkin karena saya saat itu enggak berkonsentrasi saja. 

Malah aktivitas saya di organisasi itulah yang kemudian membuat saya bertemu dengan teman-teman di tingkat nasional. Itulah yang kemudian yang membuat saya akhirnya ditarik juga juga ke tingkat nasional.

Malah, ada fase menguntungkan saat kita aktif di organisasi, yakni membuat kita lebih percaya diri. 

Baca juga : Diperingati Setiap 24 Oktober, Ini Asal-Usul Hari Dokter Nasional

Dulu saat dokter koas, ujiannya kan langsung, bertemu tanya jawab gitu. Karena kita aktif di organisasi dan sudah banyak belajar public speaking, itu membuat nilainya lebih bagus pada saat di klinis. Nilai pada satu semester A semua.

Apa alasan Anda memilih dokter spesialis bedah ortopedi? 

Kebetulan saya berada di kelompok emergency dan disaster pada 2003 yang akan berangkat ke Iran, ada gempa besar di sana. Ada 150.000-an orang meninggal.  Dari situ saya bersama dengan Prof Idrus diperintahkan untuk ke sana. 

Baca juga : Kalah Teknologi dari Negara Tetangga, Ini Cara IDI Kejar Ketertinggalan

Pada saat kita di sana yang diperbolehkan operasi di rumah sakit Iran itu hanya ortoped saja. Mengapa? Karena ortoped punya kualifikasi internasional. Ujian ortopedi kan ujian internasional sudah dari dulu. Nah, dari situlah kemudian minatnya memang di ortopedi. 

Apa pengalaman menarik Anda sebagai dokter ortopedi?

Kalau di dokter bedah itu kan kita bicara tentang emergensi, jadi itu framing mindset kita sebagai dokter bedah. Ditambah lagi, sebagai dokter emergensi dan dokter disaster, maka kita diberikan kemampuan untuk melakukan decision making yang harus cepat.

Baca juga : Adib Pimpin IDI di Tengah Gejolak

Ada satu cerita lagi, saat tsunami di Aceh, saya diberikan amanah oleh Prof Moeloek (Ketua Umum PB IDI) sebagai ketua pelaksana harian. Tapi waktu itu saya belum dokter spesialis. Saat di Aceh , ditanyalah oleh Prof Moeloek, “Ini bagaimana Dib, sudah kamu koordinasikan?”  “Bagaimana ini, sudah ketemu?”  “Ini kamu koordinasikan dulu di sana ya,” dan lain-lain.

Lalu ada pernyataan Prof Moelok kepada saya saat itu, “Dib, kalau kamu bisa selesaikan ini, atau kamu bisa koordinasikan pelaksanaan bantuan medis di tsunami ini, kamu nanti bisa jadi ketua IDI.” Itu pernyataan beliau dan ternyata terjadi. Saya enggak tahu gimana, yang pastinya saya ini mengalir saja.

Jadi  sebenarnya enggak ada niat untuk menjadi ketua umum IDI, semua mengalir saja.

Baca juga : Bullying Sekolah Dokter

Pengalaman menarik apa selama menjadi dokter bedah ortopedi?

Senang rasanya kalau saat turun ke daerah-daerah bencana kita bisa membantu orang lain. Kesenangan lainnya, misalnya ketika ada orang dengan kecacatan tertentu, lalu kita lakukan tindakan, lalu hasilnya lurus lagi, bisa berjalan dengan baik lagi, kembali berfungsi baik, itu hal yang memuaskan. 

Bagaimana dukungan keluarga dalam karier Anda, terutama peran istri?

Baca juga : Sambut HUT RI Ke 78, PB IDI Kenang Letkol Dr RM Soebandhi

Sebenarnya anak-anak yang paling banyak berkorban untuk saya. Istri pun sangat paham bahwa saya ini seorang aktivis.  Ada komitmen di antara kami, walaupun istri saya seorang dokter juga. 

Pada saat saya selesai sekolah spesialis, saya bilang agar dia fokus di keluarga saja, yang bertugas mencari rezeki adalah saya. Karena jangan sampai anak-anak kami kurang perhatian. 

Walaupun ada satu kondisi tertentu ketika anak-anak membutuhkan perhatian dan saya harus ada. Umpamanya saat anak mau masuk sekolah ke SMP, atau SMP mau ke SMA, saya harus ada saat itu.  

Baca juga : Menuju Generasi Dokter Milenial Multilayer Oversight

Kalau saya ada waktu, atau sedang tidak ada acara, saya selalu mengajak untuk jalan, untuk makan bareng. Mungkin  saya nggak bisa memberikan mereka waktu yang banyak, tapi selalu berupaya memberikan waktu yang berkualitas. 

Bagaimana dengan anak-anak Anda, adakah yang mengikuti jejak ayahnya untuk jadi dokter?

Anak saya yang pertama sekolah manajemen bisnis di ITS, yang kedua di arsitek UI. Anak yang nomor 3 ini ya mungkin agak mirip dengan saya karena aktif di organisasi di SMA, dia kelas 3. Saya tidak pernah memaksa anak untuk jadi dokter, walaupun sebenarnya kami orangtua berharap juga sih.  

Baca juga : Tommy Dharmawan Terpilih Sebagai Ketua Umum Junior Doctors Network Indonesia

Tapi kuncinya satu, saya bilang ke anak, kalau mau jadi dokter jangan berpikir untuk jadi orang kaya. Kalau mau kaya jangan sekolah jadi dokter, dokter harus sosialnya yang lebih tinggi daripada yang lain.

Hobi apa yang Anda lakukan saat mengisi waktu senggang?

Saya manfaatkan waktu senggang untuk bersama keluarga. Kadang-kadang juga saya sempatkan di sela-sela waktu untuk bertemu dengan teman-teman (pengurus IDI) di seluruh daerah. 

Baca juga : IDI: Pendulum Transformasi Kesehatan dan Ketahanan Bangsa 

Suka dengar musik? Lagu apa yang disenangi?

Saya suka menyanyi, terutama live music. Saya senang menyanyikan lagu-lagu band Dewa, Padi, Kerispatih. Hal seperti itu salah satu pola yang membuat kita bisa lebih komunikatif.  

Anda hobi mengoleksi benda? 

Baca juga : IDI Serukan Kampanye Dokter untuk Rakyat dalam HBDI ke-115

Saya penyuka anggrek. Saya punya koleksi. 

Saya juga punya langganan Anggrek di Lembang, Bandung, dia seorang kolektor juga. 

Kebetulan, bisa dibilang background saya kan petani ya, dari dulu saya suka berkebun. Cuma repotnya kalau kita lagi sibuk kadang tanaman jadi kurang terurus.

Baca juga : Perlu Regulasi yang Kuat Cegah Kekerasan kepada Dokter

Anda sukses sebagai seorang dokter, apa target selanjutnya dalam hidup Anda?

Saya terus terang tidak pernah ada target. Sejak sekolah pun tidak pernah berpikir bahwa saya akan menjadi dokter spesialis, bahkan juga enggak pernah menargetkan akan menjadi doktor, sekolah S3. Saya enggak pernah berpikir ke arah sana, semuanya mengalir.  

Termasuk di jabatan sebagai ketua umum IDI pun, itu bukan saya yang minta. 

Baca juga : DPR Minta Usut Tuntas Penganiayaan Dokter di Lampung

Saya selalu tegaskan bahwa kalau umpama memang ada orang yang percaya dan memberikan amanah, maka saya akan siap, tapi saya enggak akan meminta agar dipilih. Itu satu prinsip buat saya. 

Dan, setiap diberikan amanah, di mana pun, saya akan selalu berusaha bahwa saya mempunyai nilai di situ, saya harus memberikan sebuah warna positif, memberi nilai-nilai positif. Walau sekecil apapun, saya harus selalu memberi warna positif. (Z-1)

Baca juga : IDI Kecam Pemberhentian Prof Zainal Muttaqin dari RS Kariadi



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya