Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
GURU Besar Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Budi Setiabudiawan meminta para orangtua untuk mencermati gejala alergi susu pada anak. Pasalnya, selain bisa memengaruhi pertumbuhan, gangguan itu juga bisa menimbulkan kondisi kegawatdaruratan pada si buah hati.
"Kalau kita sedini mungkin menentukan seorang anak ini alergi sehingga dilakukan tatalaksana yang optimal, anak tetap tumbuh kembangnya normal," kata Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unpad tersebut, dikutip Senin (17/7).
Budi menjelaskan, alergi susu sapi merupakan respons sistem imun yang tidak normal atau berlebihan ketika mengenali protein susu sapi yang sebenarnya tidak berbahaya bagi orang lain.
Baca juga: Penderita Alergi Lebih Banyak di Kota Ketimbang di Desa, Ini Alasannya
Menurutnya, gejala alergi susu sapi dapat muncul di tiga organ yaitu saluran cerna, kulit, dan saluran napas.
"Di saluran cerna, biasanya yang akan muncul adalah diare (kasusnya) sekitar 53% dan kolik 27%. Di kulit, bisa berupa urtikaria yang kita kenal sebagai biduran atau kaligata sebanyak 18%, lalu dermatitis atopik atau eksim sekitar 35%. Sedangkan gejala di saluran nafas bisa berupa asma 21% dan rinitis 20%," ujar Budi.
Lebih lanjut, Budi mengatakan, ada juga gejala alergi susu sapi yang sangat berat dan menimbulkan kondisi kegawatdaruratan yang disebut anafilaksis, itu sekitar 11%.
Baca juga: Ini Perbedaan Lupus dengan Alergi
Budi mengatakan, anak yang mengalami alergi susu sapi perlu dipastikan apakah ia mengalami gejala ringan, sedang, atau berat, karena tatalaksananya akan berbeda.
Dikatakan ringan atau sedang apabila anak mengalami satu atau lebih dari gejala seperti regurgitasi berulang, muntah, diare, konstipasi, darah pada tinja, anemia defisiensi besi, dermatitis atopik, angioedema, urtikaria, pilek, batuk kronik, dan mengi.
Kemudian, kolik yang persisten lebih dari tiga jam per hari atau lebih dari tiga hari per minggu selama lebih dari satu minggu.
Sedangkan alergi susu sapi berat ditandai dengan satu atau lebih dari gejala seperti gagal tumbuh karena diare dan/atau regurgitasi, muntah dan/atau tidak mau makan; anemia berat, eksim yang berat, sulit bernafas, hingga anafilaksis.
Sementara itu, gejala alergi susu sapi yang paling sering, menurut Budi, adalah diare, konstipasi, regurgitasi, muntah, darah dalam tinja, ruam, bengkak bibir dan kelopak mata, dan eksim.
Jika anak mengalami gejala-gejala tersebut, Budi mengimbau orangtua untuk cepat-cepat memastikan apakah gejala memang timbul karena alergi atau penyakit lain dan berkonsultasi ke dokter.
"Misal gejalanya berupa batuk pilek. Apakah disertai demam? Apakah munculnya lebih dominan pada siang hari? Apakah ingusnya kental atau berwarna? Kalau ketiga jawaban ini tidak semua, berarti kemungkinan alergi," kata Budi.
Budi mengatakan, jika anak yang menunjukkan gejala alergi susu sapi tidak segera dikonsultasikan ke dokter, akan timbul dampak yang tidak diinginkan, di antaranya meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan gangguan tumbuh kembang akibat salah tatalaksana.
"Biasanya kalau anak makan telur lalu kulitnya merah-merah, ibu berpikir jangan-jangan alergi telur. Lalu makan daging, merah-merah lagi, anak dilarang makan daging. Jadi makanannya terbatas sehingga terganggu pertumbuhannya. Lalu dengan gejala terus-menerus, anak jadi lebih banyak di rumah, jarang main, sehingga perkembangan motoriknya terganggu," tutur Budi.
"Jadi, yang paling utama, kenali dulu, apakah ini benar alergi? Setelah itu, konsultasikan ke dokter untuk memastikan. Jika sudah
dipastikan benar alergi, secepatnya lakukan tatalaksana yang optimal, sehingga anak akan tumbuh kembang dengan optimal," pungkas Budi. (Ant/Z-1)
Ketika anak mengalami kecemasan saat dijauhkan dari gawainya, itu menjadi salah satu gejala adiksi atau kecanduan.
Upaya untuk mewujudkan peningkatan kualitas anak, perempuan, dan remaja masih banyak menghadapi tantangan.
Pada anak usia dini—yang masih berada pada tahap praoperasional menurut teori Piaget—, konten absurd berisiko mengacaukan pemahaman terhadap realitas.
Musik bisa merangsang area otak seperti lobus temporal untuk pendengaran, lobus frontal untuk emosi, cerebellum untuk koneksi motorik.
Menurut sejumlah penelitian, musik bisa dikenalkan kepada anak dari usia di bawah enam tahun.
Kriteria informasi yang layak bagi anak adalah informasi yang bersifat positif, mendukung tumbuh kembang anak, serta sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Menurut Director Learning Development JMAkademi, Coach A Ricky Suroso, orangtua perlu membekali anak-anaknya di usia golden untuk tangguh dalam karakter dan punya daya juang tinggi.
Konsumsi makanan dan minuman dengan kadar gula tinggi dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas serta memicu diabetes dan gangguan kesehatan jantung.
FENOMENA masalah komunikasi antara orangtua dan anak sudah terjadi sejak lama, dan bukan menjadi hal yang asing lagi.
Membangun rutinitas yang konsisten mulai dari bangun tidur hingga kemandirian anak untuk mengurus dirinya sendiri sudah harus menjadi perhatian orangtua sebelum anak masuk sekolah.
Setiap anak memiliki potensi luar biasa dan peran orangtua sangat menentukan bagaimana potensi itu tumbuh.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved