Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jadikan Gereja Sebagai Tempat yang Ramah Anak

Dinda Shabrina
17/9/2022 11:05
Jadikan Gereja Sebagai Tempat yang Ramah Anak
Anak-anak Sumba Timur sedang diajari mengenai soal Hak-Hak Anak oleh Pengurus Gereja dan WVI(Dokumentasi Wahana Visi Indonesia, )

"GEREJA jangan hanya jadi tukang kubur orang mati. Saya mau, ada hidup dari Gereja. Tolong perhatikan anak-anak.”

Itulah kalimat yang disampaikan almarhum aktivis hak anak dari Wahana Visi Indonesia yang sampai saat ini menjadi motivasi para pengurus Gereja Kristen Sumba (GKS) Kombapari, Sumba Timur. Kalimat itu juga terekam dalam ingatan Pendeta Aprianus Meta Djangga Uma. Sebagai seorang pelayan dan ‘penggembalaan’ dalam lingkungan gereja, ia merasa ia punya tanggungjawab yang besar untuk memastikan umatnya menjalankan kehidupan sesuai pedoman Firman Tuhan.

“Saya percaya, isi Firman Tuhan itu salah satunya adalah menyebarkan cinta kasih, termasuk kepada anak-anak,” kata Aprianus dengan nada bergetar kepada Media Indonesia di Waingapu, Sumba Timur, NTT, Kamis (8/9).

Sumba Timur, kata Aprianus punya angka kekerasan terhadap anak yang cukup tinggi. Seiring dengan itu, masalah gizi buruk dan stunting juga menjadi pekerjaan rumah yang hingga saat ini belum juga selesai. Deretan masalah itu diakui Aprianus mengganggu hati dan pikirannya. Jawaban atas kegelisahan itu akhirnya bermuara pada gerakan para pendeta di tahun 2018 untuk mengubah gereja menjadi tempat yang aman bagi anak.

Baca juga: Skema Baru Seleksi Masuk PTN untuk Tingkatkan Kualitas PMB

Baca jugaDukung Pengembangan Potensi Mahasiswa, UB Siapkan Peserta Olimpiade Vokasi 2022

“Kita harus buat sesuatu. Tidak bisa lagi diam. Kita itu di sini masalah terbesar kita adalah penelentaran anak. Penelantaran ini terjadi karena banyaknya anak tanpa ayah yang membuat saya cukup miris. Anak-anak ini hasil dari perbuatan di luar nikah, dan bapaknya tidak mau bertanggungjawab. Selain itu, orangtua di sini juga kerap kali tidak memperlakukan anak sebagai manusia. Anak-anak habis dipukul, ditendang, dimaki. Sudah hari-hari anak-anak itu dapat. Kalau sehari saja tidak pukul anak itu tangan dia orang gatal rasanya,” ungkap Aprianus.

Belum lagi masalah sanitasi dan air bersih, terutama anak-anak yang berada di desa dan jauh dari kota. Mereka harus memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan berjalan kaki sejauh 3-5 kilometer. Ditambah masalah perkawinan anak yang sampai hari ini marak terjadi.

“Masalah pendidikan terlalu parah juga. Bahkan anak-anak di kota pun, yang aksesnya tidak sesulit anak desa, sesuka hati saja. Mau masuk sekolah ya dia masuk, kalau nggak mau ya sudah dibiarkan saja. Mau mandi atau tidak kah dia orang pergi sekolah. Terserah mereka saja sudah,” ujar dia.

Yang paling sulit dari semua tantangan itu, Aprianus menyebut masalah budaya ‘strata sosial’ di Sumba masih sangat kental. Budaya ini diakuinya sebagai salah satu penyebab utama mengapa kekerasan terhadap anak sulit dihilangkan. “Ada budaya strata sosial yang membagi masyarakat sini dalam beberapa kelompok, yaitu bangsawan, kelompok merdeka (atau bebas dari strata sosial) dan hamba. Dari kelompok bangsawan dan hamba inilah yang menyebabkan adanya ketimpangan sosial di kita. Kelompok bangsawan ini juga yang sering memperlakukan kelompok hamba sewenang-wenang,” kata Aprianus.

“Jadi sudah jadi tersistem memang. Setiap orang yang dari nenek moyangnya punya status bangsawan maupun hamba. Maka selamanya sampai keturunannya nanti akan memiliki status itu. Tidak akan pernah bisa berubah. Budaya seperti ini sebetulnya hanya akan jadi budaya saja kalau tidak menimbulkan masalah kekerasan. Yang jadi masalah, kelompok bangsawan sering menyiksa kelompok hamba. Contoh anak bangsawan di sekolah. Anak bangsawan itu kemana pun akan didampingi oleh hambanya, yang juga anak-anak. Jadi pernah ada satu kasus, anak bangsawan ini pergi sekolah, tasnya, botol air minumnya, semua dibawakan oleh si anak hamba itu. Dan anak hamba itu tidak boleh membantah,” tambah dia.

Bahkan dalam beberapa kasus yang ditangani oleh Pendeta Aprianus, banyak anak hamba yang dipukul, dimaki dengan kata tidak pantas hingga mengalami pelecehan seksual dari tuannya. Dan anak hamba itu tidak punya perlawanan apapun dan cenderung menerimanya sebagai takdir. “Sudah diyakini karena dia hamba, ya sudah sepantasnya saya diperlakukan begini. Ini yang membuat kultur kekerasan itu sulit hilang di Sumba. Karena praktik strata sosial itu tadi. Setiap satu keluarga bangsawan, dia punya beberapa hamba di rumahnya untuk dipekerjakan tanpa diberi upah. Hamba yang sudah memiliki anak, seringkali tidak diberikan hak untuk bersekolah. Ini kan sudah merenggut hak anak untuk mendapat pendidikan,” ucapnya.

Baca jugaKampus Merdeka Jadikan Mahasiswa Lebih Siap Masuk Dunia Kerja

Dengan berbagai masalah yang di hadapi di daerahnya itu, para pendeta di Sumba Timur merasa perlu melakukan sesuatu. Gereja Ramah Anak di Sumba ini merupakan sebuah gerakan partispatif umat kristiani untuk pemenuhan hak-hak anak di gereja sebagai kontribusi umat kristiani dalam mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak.

“Ini sebetulnya implementasi saja apa yang sudah dicanangkan pemerintah. Bukan dari program apa, program apa. Karena setiap kabupaten kota harus mengimplementasikan kota layak anak, maka salah satu dari sektor yang harus mendukung itu ada di Gereja, lembaga keagamaan,” kata dia.

Beberapa indikator gerakan gereja ramah anak yang ada di Sumba Timur itu seperti adanya kepemimpinan gereja yang berperspektif anak, adanya kebijakan perlindungan anak di gereja/sinode, dibentuknya forum anak gereja untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan, adanya informasi layanan anak di gereja seperti pemeriksaan kesehatan anak, tambahan gizi untuk anak, disediakan kelompok bermain dan belajar, adanya perpustakaan anak, edukasi bagi jemaat untuk memberikan ASI eksklusif serta tersedianya PAUD yang diintegrasikan di sekolah minggi di gereja. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya