Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
KOMISIONER Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor, mengutarakan bahwa pihaknya bersiap untuk melakukan koordinasi terkait pemantauan dan penanganan kekerasan seksual dengan berbagai pihak. Hal ini sesuai mandat aturan pelaksana UU TPKS yakni PP Nomor 27 Tahun 2024 Tentang Koordinasi dan Pemantauan Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Korban TPKS.
“Untuk pelaksanaan ke depan akan dilaksanakan dengan mengacu pada instrumen pemantauan yang ditetapkan oleh Menteri. Sesuai tugas dan kewenangannya, Komnas Perempuan akan terfokus melakukan pemantauan pencegahan dan penanganan korban TPKS terhadap perempuan,” jelasnya seperti dilansir dari keterangan pers yang diterima Media Indonesia di Jakarta pada Kamis (12/7).
Selain itu, Maria mengatakan bahwa PP yang terdiri dari 4 Bab dan 23 Pasal ini mengatur dua isu utama yaitu pelaksanaan koordinasi pencegahan dan penanganan korban pelaksanaan pemantauan pencegahan dan penanganan korban. Hal yang diutamakan dalam pemantauan kriteria tertentu salah satunya melihat situasi dan keadaan korban dengan berbagai faktor.
Baca juga : Harmonisasi Aturan Turunan UU TPKS Lambat
“Yaitu pencegahan dan penanganan korban pada situasi konflik, bencana, letak geografis wilayah, dan situasi khusus lainnya; di panti sosial, satuan pendidikan, dan tempat lain yang berpotensi terjadi tindak pidana kekerasan seksual,” tuturnya.
Selain itu, Komnas Perempuan akan segera menyusun instrumen pemantauan pencegahan dan penanganan TPKS khususnya yang menyasar perempuan dan bersama Komnas HAM, KPAI dan KND. Nantinya, hasil pemantauan tersebut akan disampaikan sebagai saran dan masukan kepada Kementerian PPPA agar dapat diadopsi dalam instrumen pemantauan yang disusun.
“Komnas Perempuan merekomendasikan agar dalam penyusunan peraturan menteri tentang instrumen pemantauan, KemenPPA membangun dialog dan partisipasi publik khususnya dari lembaga penyedia layanan korban, aparat penegak hukum dan lembaga nasional HAM,” pungkas Maria.
Baca juga : Komnas Perempuan dan Pengawasan UU No 12/2022 tentang TPKS
Komisioner Siti Aminah Tardi menyampaikan bahwa Komnas Perempuan bersama Komnas HAM, KPAI dan KND setelah pengundangan UU TPKS telah memberikan saran dan masukan sejak perumusan konsepsi, terlibat dalam pembahasannya selaku anggota tim Panitia Antar Kelembagaan, dan terus mendorong percepatan pengesahannya di setiap tahapan.
“PP ini dapat memastikan pendapat, suara korban dan penyintas diintegrasikan secara bermakna, juga dengan memperhatikan gender, usia, kondisi dan ragam penyandang disabilitas, geografis, kebutuhan dan inklusivitas. Ketentuan ini menempatkan korban atau penyintas sebagai subyek dan pemantauan mengedepankan kepentingan terbaik untuk korban,” ujarnya.
Terpisah, Aktivis Perempuan dan Anak sekaligus Direktur Utama Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari menjelaskan bahwa pemerintah sudah seharusnya melibatkan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam melakukan pemantauan pencegahan dan pelaksanaan UU TPKS.
Baca juga : Kasus Asusila Ketua KPU, Komnas Perempuan Dorong Implementasi UU TPKS
“Sepatutnya PP tentang koordinasi harus melibatkan sipil sebagai tangan pertama karena selama ini laporan selalu dari sipil, bahkan penanganannya juga dari sipil karena negara belum punya fasilitas krisis center. Dulu kegiatan pemantauan, pencegahan dan pelaksanaan ini dimulai oleh LSM dari pendataaan atas sumbangan kelompok sipil yang basisnya pada pelaporan sipil dan analisis media,” ujarnya kepada Media Indonesia.
Eva menjelaskan bahwa koordinasi penanganan kekerasan seksual tak hanya bisa mengandalkan lembaga negara yudisial, terlebih lagi koordinator yang ditunjuk dalam kegiatan koordinasi ini adalah kementerian yang meskipun memiliki potensi tapi masih terbatas dalam menjangkau korban kasus kekerasan di berbagai daerah.
“Pada kenyataannya task force yang dipimpin oleh berbagai lembaga terutama khususnya berkaitan dengan TPPO ini tidak berjalan efektif. Dan ketika kita melihat kasus kekerasan yang dialami oleh PRT, yang banyak berbicara, mendukung, membangun dan membuat kesadaran adalah masyarakat sipil. Jika PP ini harus melibatkan masyarakat sipil agar lebih kuat dan implementatif,” jelasnya.
Baca juga : Implementasi UU TPKS Terhambat dan Belum Efektif, Aturan Pelaksana Mendesak Disahkan
Selain itu, Eva mengatakan bahwa salah satu tantangan sulit dalam koordinasi penanganan kekerasan seksual ialah berkenaan Aparat Penegak Hukum (APH) khususnya SDM kepolisian yang sering dipindahkan dan berganti-ganti sehingga pelaksanaan pelatihan yang berkelanjutan tidak berjalan efektif.
“Problemnya adalah sering ada pergantian dan perpindahan staf atau personalia di APH yang menangani masalah kekerasan seksual. Sementara untuk menangani kasus kekerasan itu harus ada pelatihan dulu agar paham tentang prinsip penanganan dan perspektif korban, tapi pergantian staf ini seringkali menghambat pelatihan yang berkelanjutan sehingga tidak efektif,” ujarnya.
Eva juga mengungkapkan bahwa para personalia APH dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sering kali sulit mendapat promosi jabatan, tidak ada jenjang karir hingga pelayanan sering kali tidak efektif.
“Jadi yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan itu jarang naik pangkat, sehingga perlu dipikirkan juga untuk sistem karir. Jangan sampai terganggu pelayanannya karena personalia sering berganti dan tidak paham apa yang sedang dikerjakan, itu yang terjadi di APH,” katanya.
PEMBENAHAN mutlak diperlukan di sejumlah sektor untuk mendorong efektivitas penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
KETUA Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono mengatakan terdapat implikasi jika tidak memaksimalkan UU TPKS.
SEJAK disahkan 9 Mei 2022, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum optimal ditegakkan dalam melindungi korban kekerasan seksual.
selama ini lebih dari 50% lembaga di Indonesia sudah memberikan layanan menggunakan UU TPKS.
Sanksi pemberatan harus dilakukan karena oknum-oknum tersebut seharusnya pihak yang harus memberikan perlindungan terhadap perempuan.
KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyampaikan progres sisa peraturan turunan UU TPKS.
Komnas Perempuan mengecam dan menyayangkan mediasi damai dalam kasus kekerasan seksual terhadap N.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa selain proses hukum pada pelaku, pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan bagi korban harus dilakukan.
Komnas Perempuan menyoroti praktik penyiksaan seksual yang melibatkan aparat penegak hukum. Laporan tahunan lembaga tersebut mencatat setidaknya ada 13 kasus penyiksaan seksual di 2024
Langkah itu, kata dia, juga bentuk keseriusan Polri dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan yang yang cenderung meningkat secara sistematis.
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana dan Komnas Perempuan menanggapi pernyataan Fadli Zon soal pemerkosaan massal.
Komnas Perempuan meminta DPR dan pemerintah segera mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved