Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Sinergi Pencegahan TB dan Stunting di Indonesia

Ferdian Ananda Majni
27/3/2022 10:15
Sinergi Pencegahan TB dan Stunting di Indonesia
TUBERKOLOSIS: Anak-anak membubuhkan tanda tangan dalam rangka memeringati Hari Tuberkolosis Sedunia pada 24 Maret di Bundaran HI, Jakarta(MI/ Atet Dwi Pramadia)

TINGKAT mortalitas yang cukup tinggi akibat tuberkolosis di Indonesia harus disikapi dengan kehati-hatian. Dengan jumlah kasus 824 ribu dan kematian 93 ribu setiap tahunnya, Indonesia saat ini menempati peringkat ketiga setelah India dan Tiongkok dalam hal jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TBC). Data yang merujuk Global TB Report 2021 ini menjadi merah karena setiap jam-nya di Indonesia, ada 11 kematian akibat TBC.

TBC merupakan penyakit menular yang menyebabkan masalah kesehatan terbesar kedua di dunia setelah HIV. Tuberkulosis sendiri dapat menyerang bagian tubuh manapun, tetapi yang paling umum adalah infeksi tuberkulosis pada paru-paru.

Penyebaran penyakit ini dapat terjadi melalui percikan air ludah dari pasien TBC, batuk atau bersin orang-orang yang berada di dekat pasien tersebut. Walaupun biasanya menyerang paru-paru, tetapi penyakit ini dapat mengenai tubuh lainnya, seperti sistem saraf pusat, jantung, kelenjar getah bening, dan lainnya.

Seseorang yang menderita TBC harus minum obat secara teratur dan lengkap selama minimal 6 bulan. Apabila tidak mendapat pengobatan, maka lebih dari 50% orang yang mengidap penyakit ini dapat meninggal.

Sementara stunting merupakan masalah gizi yang bersifat kronis yang disebabkan oleh banyak faktor baik dari masalah kesehatan maupun di luar kesehatan dan berlangsung lama. Stunting berdampak pada gangguan kognitif dan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa.

Terjadinya stunting dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain asupan gizi yang tidak adekuat, pola asuh yang salah, kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat dan adanya penyakit penyerta seperti TBC, penyakit jantung bawaan serta penyakit kronis lainnya.

Dengan demikian, perlu dilakukan tata laksana yang terintegrasi dalam menangani stunting, mulai dari pelacakan kemungkinan penyebab dan faktor-faktor yang mungkin meningkatkan risiko stunting sampai memberikan tata laksana yang komphrehensif diadasarkan pada penyakit penyerta, faktor lingkungan dan lain-lain yang ada pada anak stunting tersebut.

Dalam rangka Hari Tuberkulosis Sedunia yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menggelar Pekan TBC Anak dengan berbagai kegiatan, salah satunya berupa skrining TBC terhadap balita stunting. Kegiatan ini telah dilaksanakan di beberapa daerah termasuk di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilaksanakan sejak 21 hingga 28 Maret 2022 di beberapa kapanewon.

Kegiatan yang dilaksanakan di Puskemas Pengasih II merupakan kolaborasi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), IDAI, Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dan Zero TB Yogyakarta.

“Tuberkulosis dan stunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Jika dibandingkan dengan balita gizi normal maka balita dengan gizi buruk dan berkategori stunting beresiko lebih tinggi menderita sakit TB. Demiikian juga dengan balita yang menderita TB, dengan masalah gizi yang kronik dan kekebalan yang rentan, potensi stuntingnya juga besar. Balita merupakan kelompok risiko tinggi terinfensi dan sakit TB. Risiko ini semakin meningkat pada mereka yang kontak erat dengan pasien TBC paru terkonfirmasi bakteriologis,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangannya Minggu (27/3)

Menurut Hasto yang juga Ketua Tim Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting Nasional, kolaborasi antara BKKBN, IDAI, Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dan Zero TB Yogyakarta adalah wujud konvergensi dari berbagai pihak agar persoalan TB dan stunting bisa ditangani bersama. Skrining TB terhadap balita merupakan bentuk pendekatan terhadap keluarga beresiko stunting sehingga intervensi di sektor hulu ini bisa menjadi pencegahan sekaligus penanganan melalui intervensi kuratif.

Adapun 60 balita yang dilakukan skrining TB hari ini meliputi identifikasi gejala TB, pemeriksaan fisik, pemeriksaan uji tuberculin (telah dilakukan sebelumnya), dan foto Rontgen dada di mobil Rontgen Zero TB Yogyakarta jika memang terindikasi. Selama 5 hari pelaksanaan skrining TB yang telah dilakukan di Kulon Progo oleh Zero TB Yogyakarta sebelum kegiatan hari ini, berhasil menskrining sebanyak 273 balita dan 118 balita di antaranya terduga sakit TBC. Dari sejumlah balita tersebut, belum ada yang terdiagnosis sakit TBC.

“Jika ada balita yang terdiagnosis sakit TBC maka akan segera dirujuk ke puskemas untuk mendapatkan pengobatan sedangkan untuk tata laksana stunting, dokter puskemas bisa merujuk ke dokter anak di rumah sakit daerah,” sebut Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi IDAI dr. Rina Triasih yang juga Project Leader Zero TB Yogyakarta

Rina Triasih berharap model kolaborasi antara BKKBN, IDAI, Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo dan Zero TB Yogyakarta bisa dilanjutkan dan dikembangkan untuk daerah-daerah lain agar terjadi penguatan sekaligus pemberdayaan pendamping keluarga cegah stunting. "IDAI sendiri siap menjadi partner BKKBN dalam kegiatan akselerasi percepatan penurunan stunting," jelasnya.

Zero TB Yogyakarta sendiri merupakan proyek kolaborasi antara Fakultas Kedokteran, Kesahatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada, RSUP Dr Sardjito, Pemprov DI Yogyakarta, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Kulon Progo dan Burnet Institute Australia. Zero TB Yogyakarta melakukan kegiatan yang inovatif dan komprehensif dengan pendekatan search, treat and prevent. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah melakukan pencarian kasus YBC secara aktif di masyarakat menggunakan mobil Rontgen yang dilengkapi dengan alat kecerdasan buatan (artificial intelegent).

Visi Zero TB Yogyakarta yang berharap bisa mengeliminasi tuberkulosis di DI Yogyakarta pada 2030 layak menjadi “pemantik” di daerah-daerah lain.

Bagi BKKBN, kegiatan skrining TBC bagi balita stunting menjadi momentum strategis untuk Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana atau Program Bangga Kencana. Aktivisme ini juga memberi kontribusi bagi upaya akselarasi percepatan penurunan stunting yang ditargetkan di 2024 nanti bisa mencapai angka 14%.(H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya