Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Jangan Abaikan Hak Pendidikan untuk Penyintas Kekerasan Seksual

M. Iqbal Al Machmudi
21/10/2021 10:00
Jangan Abaikan Hak Pendidikan untuk Penyintas Kekerasan Seksual
Pegiat perempuan merapikan sepatu saat aksi diam 500 Langkah Awal Sahkan RUU PKS di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/11/2020).(ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

PEMBERIAN hak pendidikan kepada penyintas juga wajib diberikan karena upaya penanggulangan kasus kekerasan seksual tentunya sangat berdampak masa depan anak terutama pada masa depan pendidikannya, sekolah anak dipastikan akan terhambat karena kasus yang menimpanya. Sehingga perlu adanya upaya dari lingkungan sekitar untuk mendukung dan membantu memenuhi hak penyintas kekerasan seksual mendapatkan pendidikan yang baik.

Pemerhati pendidikan Doni Koesoema melihat pemerintah sejatinya sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sekolah diminta untuk membentuk tim penanggulangan namun sayangnya hal seperti itu tidak banyak sekolah miliki untuk menjadi sistem pencegahan.

"Jadi aturan-aturan di Permendikbud itu tidak banyak dilanjutkan sebagai sebuah sistem warning dan mekanisme untuk pencegahan dan penanggulangan di satuan pendidikan," kata Doni.

Baca juga: Budaya Menyalahkan Sebabkan Korban Perkosaan Bungkam

Ini juga perlu disokong oleh pemerintah daerah untuk optimalisasi hingga di masing-masing sekolah harus ada tim penanggulangan yang menangani perkara tersebut.

Dalam Pasal 13 Permendikbud 82/2015 tim penanggulangan bersifat ad hoc (sementara) yang berasal dari tokoh masyarakat serta berasal dari luar daerah.

"Dan orang-orang Satgas ini harus disumpah tidak membocorkan pribadi anak dan memiliki integritas bukan malah memanfaatkan. Karena ada juga kejadiannya seperti anak ada yang melapor diperkosa dan malah diperkosa lagi niatnya melaporkan malah diperkosa lagi," ungkapnya.

Doni menjelaskan jika penyintas mengalami trauma yang sangat parah dan belum bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat maka harus adanya pendampingan dari keluarga dan psikolog anak.

"Jadi apabila penyintas malu dan memilih tidak bersekolah harus ada jalan dari pemerintah daerah dan sekolah untuk memberi jalan hak pendidikan korban, karena pendidikan hak warga negara dan negara harus menyediakan," ucapnya.

Jika penyintas mengalami trauma dan tidak bisa ikut sekolah maka harus ada cara lain seperti bimbingan, homeschooling, atau mentoring yang diketahui oleh pemerintah sehingga anak-anak tetap memperoleh hak pendidikannya.

Jika korban sudah mulai membaik atau pulih dari traumanya dan siap kembali ke ruang publik dan sekolah maka dibantu oleh lingkungan sekitar agar korban tidak mengalami perundungan/bullying.

Baca juga: Kemendikbud Umumkan 10 Pemenang Lomba Cipta Lagu Tradisi NTT

Sementara itu Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi menegaskan bahwa penyintas kekerasan seksual berhak mendapatkan dan melanjutkan pendidikan serta tidak terhenti dan tidak boleh dihentikan.

Memang realitas yang sering ditemukan yakni penyintas kekerasan seksual memilih berhenti dari sekolah dengan berbagai alasan.

"Sebenarnya terkait dengan penyintas kekerasan seksual haknya tidak boleh terhenti untuk mendapatkan pendidikan, intinya korban tidak boleh diberhentikan," ungkap Siti.

Dirinya merekomendasikan yakni korban selama masa pemulihan bisa mengambil cuti pendidikan untuk menyelesaikan kasusnya atau pemulihan dan kembali setelah itu.

"Namun kasus-kasus yang masuk ke Komnas Perempuan ada tapi sebenarnya bentuk kebijakannya bukan diberhentikan tetapi korban tidak ikut ujian dan otomatis terhenti. Dan Kemendikbud-Ristek memiliki tim khusus untuk menangani itu dan Komnas Perempuan juga turut membantu," jelasnya.

Selain itu, kasus yang perlu disorot juga terkait dengan kekerasan seksual yang ada di lingkungan sekolah sehingga pihak sekolah perlu memiliki peraturan untuk pemulihan korban.

Untuk di lingkungan kampus, Komnas Perempuan bekerja sama dengan Kementerian Agama agar rektor UIN membuat peraturan pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Pada tahun 2020 baru 8 Universitas Islam yang baru memiliki peraturan tersebut. Sementara PTN sedang dirancang Permendikbud tersebut. dan tingkat sekolah juga sedang dirancang dengan regulasi serupa.

"Sehingga ke depan sekolah atau kampus menjadi ruang aman untuk korban dan bila terjadi kekerasan bisa memiliki panduan apa yang harus dilakukan," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya