Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Pekerja Anak saat Panen Tembakau Capai 70,4%

Ferdian Ananda Majni
24/8/2021 22:25
Pekerja Anak saat Panen Tembakau Capai 70,4%
Warga melintas didekat mural kampung warna-warni tanpa rokok di Jakarta, Rabu (6/11/2019).(ANTARA/NOVA WAHYUDI)

Emancipate Indonesia bersama Lentera Anak dengan didukung Southeast Asia Tobacco Control Alliance memaparkan hasil penelitian terbaru dalam Diseminasi bertajuk “Industri Rokok Meraup Keuntungan Ganda dari Anak: Save Small Hands secara virtual Selasa (24/8).

Ketua Yayasan Gagas Mataram, Azhar Zaini menyebut kesejahteraan petani masih rendah sehingga secara otomatis banyak anak yang ikut bekerja membantu orang tuanya.

"Pekerja anak ini tidak akan bisa selesai kalau kesejahteraan petani itu kaitannya dengan bagaimana posisi tawar mereka dengan industri rokok itu lemah," ujarnya.

Baca juga: Kurangi Limbah Tekstil dengan Sustainable Fashion

Begitu juga dengan keberadaan CSR industri rokok yang dianggap hanya sebagai pemanis. Hanya beberapa desa yang didampingi dan seolah bahwa industri rokok sudah bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

"Dari hasil penelitian SMERU yang dibiayai ECLT terkait program kesempatan, ditemukan bahwa pekerja anak yang ditemukan pada saat panen tembakau bisa mencapai 70,4%," lanjutnya.

Juru bicara Aliansi Perlindungan Anak untuk Darurat Perokok ini menambahkan kondisi di luar panen tembakau hanya 9,8%. Begitu juga desa yang didampingi juga hanya sedikit.

"Dengan CSR rokok melalui ECLT, seolah-olah industri rokok merasa mereka sudah memenuhi tanggung jawabnya," paparnya.

Seharusnya tidak perlu melibatkan industri tembakau dan harus ada strategi yang dilakukan bersama untuk menyelesaikan persoalan pekerja anak dan menghentikan strategi pemasaran yang menyasar anak tersebut.

Dari data selama periode tanggal 3 – 24 Mei 2021 Lentera Anak mengadakan survei yang melibatkan 180 anak, dengan kriteria anak laki-laki atau perempuan, usia 10-18 tahun, dan anak yang merokok.

Survei didesain sebagai studi kuantitatif dan dilakukan di kota Jakarta, Solo, Jember, Padang, dan Mataram.

Teknik sampling menggunakan Purposive Random Sampling dimana responden didapatkan secara acak, dengan pengumpulan data melalui pengisian kuesioner atau diwawancarai secara langsung, menggunakan instrumen lembar kuesioner.

Tujuan survei untuk mengetahui dua hal sekaligus, yaitu pertama, bagaimana keterpaparan iklan rokok elektronik pada perokok anak, dan kedua, hubungan antara iklan rokok konvensional terhadap preferensi mereka memilih rokok.

Baca juga: LIPI Temukan Fitoplankton Berbahaya di Teluk Kodek

Hasil survei menunjukkan, dari sisi keterpaparan anak terhadap iklan rokok elektronik, ada lebih dari separuh responden (60,6% dari 180 anak) mengaku terpapar iklan rokok elektronik. Dan dari 60,6% responden yang terpapar iklan rokok elektronik tersebut, mayoritas mereka (88,1%) melihat iklannya di media sosial. Hanya 2,8% responden terpapar iklan rokok elektronik di televisi, dan hanya 3,7% anak melihat iklan rokok di media online.

Akibat paparan iklan rokok elektronik tersebut, sebanyak 78,3% responden mengaku penasaran, dan ada 40% dari mereka ingin beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik.

Sedangkan dari sisi hubungan antara iklan rokok konvensional terhadap preferensi memilih rokok, hasil survei menunjukkan hampir 100% responden (99,4%) pernah melihat iklan rokok.

Adapun iklan rokok yang paling banyak dilihat responden adalah Sampoerna (40%) diikuti oleh iklan rokok Gudang Garam (23%), Djarum (26%) dan Bentoel (11%). Setelah itu hasil statistik menunjukan Ada hubungan antara iklan rokok yang diingat dengan merk rokok yang dikonsumsi.

Survei ini merekomendasikan adanya kebijakan pelarangan iklan rokok secara total karena sudah terbukti ada hubungan antara iklan rokok dengan pemilihan anak terhadap merek rokok; perlu kebijakan kuat untuk mengatur rokok elektronik agar anak tidak mendapatkan beban ganda dari rokok; serta perlunya kebijakan komprehensif untuk melarang iklan rokok elektronik di media sosial. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya