Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Vital, Layanan Digital Korban Kekerasan Gender saat Pandemi

Ferdian Ananda Majni
30/11/2020 18:20
Vital, Layanan Digital Korban Kekerasan Gender saat Pandemi
Pegiat perempuan merapikan sepatu saat aksi diam 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Jakarta, Rabu (25/11).(ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Layanan digital terkait kekerasan berbasis gender dapat ditingkatkan di masa pandemi covid-19 ini untuk mengantisipasi kendala keterbatasan mobilitas akibat pembatasan selama pandemi berlangsung.

Pasalnya, selain berdampak pada kesehatan dan ekonomi, pandemi covid-19 juga berdampak pada sosial yang salah satunya adalah peningkatan kekerasan berbasis gender. Dalam laporan yang dihimpun Komnas Perempuan, kekerasan berbasis gender meningkat 63% selama masa pandemi.

Baca juga: KPAI: 83 Persen Sekolah Belum Siap Pembelajaran Tatap Muka

Dampak nyata dari peningkatan kekerasan ini dapat dilihat dari meningkatnya angka perceraian dan angka pernikahan anak. Physical distancing dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditengarai berperan dalam peningkatan angka kekerasan ini, terutama karena waktu perempuan Indonesia yang lebih banyak dihabiskan di rumah.

“Dari kajian yang kami lakukan, perempuan di Indonesia menghabiskan waktu lebih dari tiga jam untuk melakukan tugas rumah tangga, dimana hal itu sama dengan empat kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Dan ketika perempuan dianggap tidak mampu memenuhi tugasnya dengan baik, mereka menjadi lebih rentan dan menjadi target tindak kekerasan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah.

Alimatul menyampaikan pandangannya dalam diskusi daring bertema Upaya Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang Efektif di Masa Pandemi Covid-19 yang digelar oleh LOCALISE SDGs, sebuah program kolaborasi UCLG ASPAC (United Cities and Local Governments Asia Pacific) bersama APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) didanai oleh Uni Eropa.

Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di 16 provinsi dan 14 kota di Indonesia. Kasus kekerasan berbasis gender ini menjadi topik diskusi karena sangat terkait dengan terhambatnya pencapaian target TPB kelima yaitu Kesetaraan Gender.

Disebutkan juga oleh Alimatul, bahwa sampai dengan Oktober 2020, Komnas Perempuan telah menerima sebanyak 1.617 laporan, terdiri dari 1.458 kasus kekerasan berbasis gender dan 159 non-kekerasan berbasis gender. Kekerasan yang dilaporkan terjadi di ranah personal sebanyak 960 kasus, komunitas 480 kasus dan negara 18 kasus.

Bentuk kekerasan tertinggi merupakan kekerasan psikis dengan jumlah 964 kasus dan kekerasan seksual sejumlah 888 kasus yang terjadi di rumah tangga atau KDRT, maupun di komunitas. Salah satu modus kekerasan yang paling banyak juga dilakukan adalah melalui dunia maya.

“Hal yang perlu mendapat perhatian adalah kekerasan gender berbasis siber yang didominasi dengan kekerasan seksual. Dari laporan yang kami terima, modus kekerasan ini berbentuk penyebaran foto atau video korban yang tidak pantas dengan motif balas dendam. Kasus yang dilaporkan per Oktober ini ada 659 kasus, sementara tahun lalu laporannya hanya 281 kasus,” sebutnya.

Menurutnya, tingkat angka kekerasan yang terjadi di masa pandemi ini dapat digunakan sebagai momentum penting untuk mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) segera disahkan untuk mengakomodir keberadaan payung hukum. Temuan Komnas Perempuan juga menunjukkan, sebanyak 80,3% korban enggan melaporkan kasus yang mereka alami ke layanan pengaduan, dan sekitar 68,8% tidak memiliki atau menyimpan nomor pengaduan.

Oleh karena itu, layanan pengaduan atau call center secara online dan offline menjadi sangat penting. Pemerintah memiliki peranan besar dalam menetapkan kebijakan untuk mendukung dan melindungi perempuan dan anak, khususnya di masa pandemi ini, tetapi masih banyak terdapat kebijakan yang belum dapat diimplementasikan. Alimatul sangat berharap, layanan digital terkait kekerasan berbasis gender dapat ditingkatkan di masa pandemi Covid-19 ini.

“Kekerasan berbasis gender merupakan masalah krusial yang terjadi pada saat pandemi ini. Dan kita masih ada di tahap penyadaran, kekerasan berbasis gender belum dianggap sebagai problem, belum dianggap oleh Satuan Tugas pandemi sebagai masalah yang krusial di masa pandemi ini,” kata Direktur Institut Kapal Perempuan Misiyah.

Dia menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara penyumbang terbesar dari sekitar 13 juta kasus global perkawinan anak di bawah umur pada tahun 2020.

Dimana kekerasan gender di Indonesia tidak hanya tentang kekerasan seksual terhadap perempuan tetapi juga mencakup empat aspek penting lainnya seperti perkawinan anak di bawah umur, perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, perempuan sebagai korban kekerasan oleh pasangannya dan mutilasi alat kelamin perempuan.

“Empat hal ini ada di Indonesia dan empat hal ini sangat lekat dengan tradisi-tradisi maupun kebiasaan yang dipegang erat, dipertahankan dan dijalankan di masyarakat kita dengan berbagai alasan norma-norma,” sebutnya.

Dari semua temuan ini, Misiyah berharap ada sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk memastikan kualitas pelayanan terhadap korban kekerasan, karena problem kekerasan berbasis gender bersifat multi-dimensi.

Temuan lain soal kekerasan berbasis gender ini juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Bernadia Irawati Tjandradewi, dimana dalam temuan UCLG di Asia Pasifik, angka kekerasan berbasis gender juga meningkat di beberapa tempat.

“Kekerasan meningkat 300% di beberapa tempat. Ini memang merupakan hal yang sangat serius. Pandemi telah membuat orang harus bertahan di rumah, tidak hanya physical distancing, pemberlakukan PSBB juga membatasi ruang gerak hingga perempuan dan anak sangat rentan dalam kekerasan yang terjadi di ranah privat yang cenderung dipicu persoalan ekonomi,” jelas Bernadia. (H-3)


 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya