Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
BAYANGKAN seorang anak remaja—keponakan, tetangga, bahkan mungkin anak kita sendiri—menyimpan luka yang tak kasat mata.
Luka bukan karena jatuh saat bermain, melainkan luka akibat bentakan yang menghancurkan harga diri, cubitan yang diklaim sebagai "pendidikan", atau bahkan pengalaman traumatis yang merampas rasa aman mereka. Sayangnya, ini bukan skenario fiksi.
Analisis data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021 menunjukkan kenyataan pahit: hampir setengah (46,2%) anak usia 13–17 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan, berdasarkan survei dengan 4.903 responden.
Temuan ini diungkap oleh Dwi Octa Amalia, praktisi kesehatan masyarakat yang terlibat dalam penelitian ini, yang dipublikasikan dalam jurnal BMJ Open pada tahun 2025.
“Angka ini bukan sekadar statistik. Setiap persen mewakili pengalaman anak-anak Indonesia yang hidup dalam ketakutan, kehilangan kepercayaan diri, dan tidak memiliki ruang aman,” tegas Octa.
Lebih menyedihkan lagi, kekerasan terhadap anak-anak ini bukan terjadi di tempat asing. Justru, rumah dan sekolah—dua ruang yang seharusnya menjadi tempat perlindungan—sering kali menjadi tempat paling rentan.
“Pelakunya sering kali bukan orang asing, melainkan orang tua, guru, atau orang dewasa yang dekat dengan mereka. Bahkan kekerasan emosional sering dinormalisasi dengan dalih mendisiplinkan,” jelasnya.
Menurut analisis lanjut dari SNPHAR, jenis kekerasan yang paling banyak dialami anak-anak adalah kekerasan emosional (41,6%), diikuti oleh kekerasan fisik (13,8%), dan kekerasan seksual (6,9%).
Dampaknya tidak hanya dirasakan pada masa kecil. Kekerasan ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental, penyakit kronis, dan menurunkan kualitas hidup hingga masa dewasa. Yang lebih mengkhawatirkan, siklus ini bisa berulang lintas generasi.
Analisis lanjut SNPHAR juga mengidentifikasi kelompok anak dengan risiko paling tinggi:
Anak yang bekerja: Risiko kekerasan meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan anak yang tidak bekerja (Odds Ratio/OR 1,85). Lingkungan kerja sering kali minim pengawasan, sehingga mereka lebih mudah dieksploitasi.
Anak yang tidak tinggal dengan orang tua kandung: Risiko meningkat 1,3 kali lipat (OR 1,25). Anak yang tinggal terpisah dari orang tua kehilangan pengawasan dan dukungan utama, meningkatkan risiko pengabaian dan kekerasan, terutama jika pengasuh kurang peduli atau tidak teredukasi.
Anak yang pernah menyaksikan kekerasan: Risiko melonjak hampir tujuh kali lipat (OR 6,78). Menyaksikan kekerasan membuat anak terbiasa dengan perilaku tersebut, meningkatkan risiko menjadi korban kekerasan, serta berdampak buruk pada kesehatan mental dan perkembangan sosial mereka.
Fakta-fakta ini menegaskan bahwa kekerasan terhadap anak bukan hanya soal tindakan individu, tetapi juga soal sistem, budaya, dan ketidaksiapan lingkungan dalam memberikan perlindungan yang utuh.
Kekerasan terhadap anak sering dianggap sebagai urusan domestik, bukan masalah publik.
“Masih banyak yang menganggap kekerasan sebagai ‘aib keluarga’ yang tidak boleh dibicarakan. Akibatnya, banyak korban memilih diam karena takut atau malu, dan pelaku tetap bebas tanpa konsekuensi,” kata Octa prihatin.
Ketidaksiapan sistem pelaporan yang ramah anak di sekolah, kurangnya edukasi tentang kekerasan, dan budaya yang menyalahkan korban memperparah situasi ini.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bertanggung jawab, melainkan kapan kita semua akan mulai bertindak?
Menurut Octa, perlindungan anak adalah urusan kolektif yang tidak bisa diserahkan hanya kepada satu pihak.
“Pemerintah memang memegang peran penting. Kita sudah punya Undang-undang Perlindungan Anak, tapi tantangannya adalah bagaimana memastikan implementasinya berjalan konsisten di berbagai level dan menyentuh akar permasalahan di lapangan,” jelasnya.
Sekolah juga harus lebih dari sekadar tempat belajar. Lingkungan pendidikan harus benar-benar aman bagi anak, bukan hanya dari kekerasan fisik, tetapi juga dari perundungan, diskriminasi, dan tekanan psikologis yang bisa berdampak pada kesehatan mental mereka.
“Media dan tokoh masyarakat bisa menjadi agen perubahan dengan menyuarakan nilai-nilai perlindungan anak dan menantang budaya kekerasan yang sering dinormalisasi,” ujarnya.
Peran orang tua juga tak bisa diabaikan. Banyak kekerasan terjadi bukan karena niat jahat, melainkan karena kurangnya pemahaman dan keterampilan dalam mengasuh.
“Itulah kenapa edukasi pengasuhan positif sangat penting. Orang tua perlu diberi dukungan agar bisa membesarkan anak tanpa kekerasan, terutama di tengah tekanan ekonomi dan sosial,” kata Octa.
Di tengah berbagai upaya perlindungan anak, keluarga tetap menjadi aktor paling penting. Keluarga adalah ruang pertama dalam membentuk karakter, empati, dan ketahanan anak menghadapi dunia luar. Dalam keluarga yang hangat, penuh kepercayaan, dan terbuka, anak lebih merasa aman untuk mengungkapkan ketakutan dan pengalaman traumatis yang mereka alami.
“Keluarga adalah tempat pertama anak belajar merasa aman, dihargai, dan didengarkan. Ketika peran ini tidak terpenuhi secara optimal, berbagai intervensi eksternal sering kali belum cukup untuk benar-benar memulihkan rasa aman dan kepercayaan diri anak,” ujar Octa.
Membangun keluarga yang sehat secara emosional, finansial, dan spiritual bukan hanya urusan privat, melainkan langkah strategis membangun generasi emas Indonesia yang kuat sejak fondasinya.
Menurut Octa, perlindungan anak tidak bisa diserahkan pada satu institusi saja. Dibutuhkan gerakan kolektif yang melibatkan semua pihak.
Berikut langkah konkret yang bisa dilakukan:
Anak-anak hari ini adalah wajah Indonesia di masa depan. Melindungi mereka bukan hanya tugas negara, tetapi tanggung jawab setiap individu.
“Jika kita benar-benar ingin membangun generasi emas, maka kita perlu mulai dari memastikan setiap anak tumbuh dalam rasa aman, didengarkan, dan diberdayakan,” pungkas Octa.
Saatnya berhenti bertanya siapa yang harus bergerak. Kita semua—dimulai dari rumah, diperkuat di sekolah, disuarakan lewat media, dan didukung oleh kebijakan yang berpihak pada anak—harus bertindak sekarang. Karena masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan anak-anak hari ini. (Z-10)
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong dilakukan pencegahan terhadap terjadinya tindak kekerasan kepada anak secara berulang atau reviktimasi.
POLISI masih menelusuri keberadaan orangtua anak berusia 7 tahun berinisial MK, yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan di Pasar Kebayoran Lama beberapa waktu lalu.
Berikut fakta-fakta kondisi terkini MK, anak perempuan 7 Tahun yang diduga dianiaya dan dibuang ayahnya di Pasar Kebayoran Lama, Jaksel
KPAI berkoordinasi dengan Tim Subdit Anak Direktorat PPA dan PPO Bareskrim Polri terkait anak yang ditelantarkan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dari gerak-geriknya, sang satpam melihat pria itu menaruh anaknya di lantai beralaskan kardus.
Gaslighting: Kenali manipulasi psikologis berbahaya! Pelajari taktiknya, dampaknya, dan cara melindungi diri dari pelaku gaslighting.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved