Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

KPPPA: Kenali Modus Eksploitasi Seksual di Media Daring

Ihfa Firdausya
30/7/2020 12:10
KPPPA: Kenali Modus Eksploitasi Seksual di Media Daring
Massa Aliansi Gerakan Perempuan Anti Kekerasan berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/7).(ANTARA/NOVRIAN ARBI)

Eksploitasi seksual anak di media daring (online) terhadap 305 anak yang dilakukan seorang WNA Perancis beberapa waktu lalu telah meningkatkan kekhawatiran masyarakat. Pada 2016, masyarakat juga sempat digemparkan dengan terungkapnya kasus prostitusi online yang melibatkan hampir 100 anak laki-laki di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menyebut maraknya kasus perdagangan orang dengan modus eksploitasi seksual melalui media daring menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak.

Menurutnya, edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas terkait perkembangan modus perdagangan orang ini sangat penting. Hal tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan dini masyarakat dalam mencegah dan menangani berbagai modus baru TPPO di Indonesia.

Baca juga: Wamen LHK: CSR Harus Beri Manfaat Ekonomi bagi Warga

Selain itu, lanjutnya, dibutuhkan pemahaman masyarakat yang baik terkait teknologi dan isu yang terbilang baru tersebut. Di sisi lain, koordinasi terpadu dalam mengungkap kejahatan juga perlu diperkuat.

"Tidak hanya dari sisi penegakan hukum dan penjeratan pelaku, tetapi juga pada proses pemulihan dan reintegrasi bagi korban yang komprehensif," kata Pribudiarta dalam sebuah webinar, Rabu (29/7).

Dia mengatakan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada Januari - Juni 2020 menunjukkan terdapat 50 kasus eksploitasi seksual pada perempuan dewasa dan 60 anak korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual. Sementara data dari Bareskrim Polri menyebut ada 297 kasus perdagangan orang untuk eksploitasi seksual yang terungkap melalui media internet.

"Tingginya kasus perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual melalui media daring ini, menjadi peringatan dan tantangan bagi semua pihak, khususnya bagi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT PP TPPO),“ ujarnya.

Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dari TPPO, Destri Handayani, menegaskan kejahatan eksploitasi seksual melalui media daring merupakan bentuk adaptasi cepat dari pelaku dalam mengikuti perkembangan teknologi dan informasi, terutama di masa pandemi ini.

“Ini merupakan salah satu ciri dari pelaku TPPO. Sebaliknya, dari sisi kita sendiri dan masyarakat luas, tidak mudah beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi secepat pelaku, inilah salah satu dari banyaknya persoalan yang kami hadapi,” terang Destri.

Terkait pencegahan, katanya, KPPPA akan memperkuat koordinasi dan sinergi antaranggota GT PP TPPO, salah satunya bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika. Antara lain untuk memperkecil akses ke platform berbahaya dengan memperkuat sanksi terhadap pelanggar.

"Namun, berbagai upaya ini tidak akan berarti tanpa adanya peran dari keluarga dan masyarakat luas untuk membatasi serta mengawasi anak saat mengakses media daring. Mari bersama kita bersinergi memberantas perdagangan orang, khususnya dengan modus eksploitasi seksual di media daring,” tegas Destri.

Sementara itu, Komisioner KPAI Ai Maryati mengungkapkan hasil Survei KPAI pada 2020 terkait aktivitas penggunaan gawai/gadget pada anak khususnya di masa pandemi ini. Hasil survei menunjukan ada 71,3% anak memiliki gadget sendiri dan 79% atau mayoritas anak tidak memiliki aturan bersama orangtua saat menggunakan gadget tersebut.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa di masa pandemi ini, banyak anak yang menggunakan gadget di luar kepentingan belajar. Di antaranya yaitu 52% anak menggunakan gadget untuk chatting dengan teman, 52% mengakses youtube, 50% mencari informasi, dan 42% bersosial media.

“Jika melihat hasil survei ini, selama pandemi covid-19 secara umum orangtua cenderung tidak mendampingi anak saat main gadget. Inilah yang menyebabkan adanya potensi gap (kesenjangan) antara pengasuhan yang dilakukan orang tua dengan apa yang diterima anak," jelas Ai.

"Untuk itu, kualitas komunikasi dalam pengasuhan perlu dikuatkan, perlu ada edukasi bagi orangtua dan anak itu sendiri mengenai penggunaan gadget yang baik bagi anak,” imbuhnya.

Untuk mengatasi hal ini, Ai menjelaskan pentingnya melakukan advokasi berkelanjutan dengan berbasis pemenuhan hak anak. Antara lain melalui aspek pencegahan dengan memberikan edukasi dan pendidikan literasi digital kepada keluarga, masyarakat dan anak itu sendiri untuk menjalankan internet sehat.

Selanjutnya adalah mengoptimalisasi penanganan korban melalui rehabilitasi sosial dan pemulihan anak dengan mengacu pada standarisasi pemulihan anak korban eksploitasi.

"Selain itu, melakukan advokasi dan pengawasan terhadap para penyedia platform online agar berkomitmen kuat untuk memproteksi anak di dunia siber dan memperkuat aspek penegakkan hukum kasus TPPO melalui peningkatan kualitas penanganan dan sumber daya manusia," pungkasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya